☠️☠️☠️
Benda pertama yang aku cari untuk membuka gembok yang mengunci kotak hitam ini adalah lilin. Di mana Jay menyimpan lilin? Sedari tadi aku mencarinya di dapur sampai di lemari piring pun tak kunjung jumpa.
Jay sialan! Mana mungkin di rumahnya tidak ada lilin sama sekali?
Tak pantang menyerah, aku terus mencari di mana lilin itu berada. Mulai dari lemari makanan yang tingginya dua kali tinggi badanku hingga aku harus menaiki tangga.
Ketemu! Ternyata Jay menyimpan banyak lilin di balik toples wadah biji kacang hijau. Aneh, kenapa dia menyimpan lilin begitu tersembunyi?
Tak mau berpikir keras, aku langsung mengambil satu lilin itu. Di sampingnya juga ada korek yang tersusun rapi dengan jumlah yang banyak. Tuh, kan, bertambah aneh saja Jay ini.
Aku lalu menyalakan lilin dan mengarahkan apinya ke lubang gembok. Aku tahu cara ini dari Revan yang sering dapat tugas membuka gembok berangkas. Ada untungnya juga aku berteman dengan manusia itu.
Lama kelamaan gembok terbuka dengan sendirinya. Tak perlu alat bantu yang berat-berat, dengan alat sederhana pun aku bisa. Ini adalah trik dari seorang pencuri andal, seperti Revan misalnya.
Sangat penasaran, aku membuka kotak itu. Pucuk dicinta yang dicari-cari pun tiba! Ada selembar dokumen yang dibalut oleh map berwarna cokelat di dalamnya.
Sebetulnya aku penasaran, tetapi kata Ellgard, aku tidak boleh membaca dokumen ini juga mendengar suara dari perekam suara yang aku temukan nantinya. Katanya, sih, privasi klien. Sial, aku jadi harus menahan rasa penasaranku.
Map yang tersegel rapi ini sangat tipis. Sudah dipastikan kalau di dalamnya hanyalah satu lembar kertas. Cuma mencari benda seperti ini saja harus memakai jasaku? Ini terlalu mudah untuk seorang Joanna!
Aku menutup kotak itu dan membiarkan gemboknya yang rusak tetap di tempatnya. Yang perlu aku lakukan adalah menghilangkan barang bukti, yaitu korek dan lilin yang sudah habis terbakar setengah bagian ini.
Untuk kotaknya, aku kembalikan lagi ke perpustakaan mini milik Jay. Aku menyimpannya di tempat semula, tepatnya di atas rak buku yang paling atas meski harus naik tangga.
Sekarang yang perlu aku lakukan adalah menyimpan dokumen ini di tempat yang aman. Tempat yang Jay tidak bisa merebutnya dariku.
Aku bergegas menuju kamarku yang ada di lantai atas dengan cepat. Dengan membawa lilin dan korek tadi sebagai barang bukti yang harus aku hilangkan.
Aku menaruh dokumen, lilin, dan korek tadi di salah satu saku yang ada di koperku. Jay pasti tidak akan mungkin membuka koperku, kan?
Sekarang aku tenang. Hanya tinggal mencari satu barang lagi dan kemudian membunuh Jay, lalu aku bisa pergi dari tempat menyebalkan ini. Ah, aku tak sabar hal itu akan tiba.
☠️
"Joan, makan, yuk."
Tubuhku rasanya digoncang oleh seseorang sampai bergetar rasanya. Argh! Itu pasti Jay!
"Ngantuk gue! Lo makan sendiri aja sana!" Aku menepis tangan Jay yang memegangi pundakku. Sedang mimpi indah malah diganggu, dasar Jay!
"Yakin? Ada teman kamu di depan." Mataku langsung melotot. Ada temanku di depan? "Nah, kan, langsung bangun. Lap dulu itu ilernya."
Sialan, Jay! Padahal aku sama sekali tidak ngiler kalau tidur! "Mana temen gue? Awas, minggir lo!" Aku turun dari ranjang dan mendorong Jay hingga ia jatuh ke sisi lain ranjang.
Itu pasti Revan! Laki-laki itu kenapa nekat menyusulku ke sini, sih?! Tentu itu akan menimbulkan kecurigaan Jay.
Benar saja. Aku masih berdiri di tengah-tengah tangga, sudah terlihat Revan duduk di teras paviliun sembari meminum kopi. Pasti Jay yang membuatkan kopi untuknya!
Dengan cepat aku langsung berlari ke arah Revan dan duduk di kursi yang ada di depannya. "Lo ngapain ke sini, sih?!" tanyaku berbisik.
"Mau jenguk lo-lah!" jawab Revan sembari berbisik juga.
"Lo nanti bikin Jay curiga, Goblok!" Aku melotot sembari mencubit lengannya.
"Oh ... jadi sekarang lo ngejaga banget perasaan suami lo itu?" tanya Revan lagi seolah meledek. Astaga, siapa juga yang menjaga perasaannya?! Aku hanya panik, takut Jay curiga nantinya. Nanggung, tinggal satu benda lagi yang harus ditemukan.
"Oi, Kak Jo!" Dari kejauhan Rehan mengangkat tangannya dan melambai padaku. Sial, bocah itu malah sekarang berjalan kemari. Dia terlihat membawa papan catur.
"Siapa, Jo?" tanya Revan padaku. Aku hanya menggelengkan kepala.
"Udah sehat, Kak?" tanya Rehan yang langsung duduk di kursi yang ada di sebelah Revan.
"Lo nggak buta. Gue yakin lo bisa lihat dengan jelas kalo gue sehat wal Afiat!" jawabku sinis.
"Biasa aja, dong, Kak. Sensi amat!" jawab Rehan yang juga ikutan sinis. "Halo, Bang! Lo siapanya Kak Joan?" tanya Rehan pada Revan.
"Gue Revan. Temennya Joan." Revan dan Rehan lalu saling berjabat tangan.
"Namanya hampir sama kayak gue, Bang. Gue Rehan, adik sepupunya Bang Jay." Rehan kemudian membuka papan caturnya di atas meja. "Main catur, yok, Bang!" serunya pada Revan.
"Yoklah, gabut gue." Revan melirik padaku yang sedari tadi sinis terhadapnya.
Mereka dengan akrabnya bermain catur bersama. Aku sampai melongo karena melihat mereka begitu cepat akrab. "Jo, lo daripada bengong di sini, mending ambil cemilan, deh," ucap Revan. Sialan! Apa dia kira aku pembantu?!
"Bacot lo!" Aku kemudian ke dapur dan meninggalkan mereka berdua yang asyik bermain catur.
Awalnya aku ingin ke kamar saja dan lanjut tidur, tetapi melihat Jay di dapur, aku jadi ingin mengomelinya. "Oi. Ngapain lo bolehin Revan masuk?" tanyaku pada Jay yang sibuk menimbang tepung.
"Temen kamu itu temen aku juga, Jo. Masa iya aku nggak bolehin temen kamu masuk?" jawabnya enteng sembari masih teliti menimbang tepung.
"Lo liat itu! Rehan malah ngajakin dia main catur!"
Jay kemudian berbalik badan dan parahnya, ia malah mendekat padaku. "Bagus, dong. Jadi kita bisa berduaan."
Aku menelan ludah kasar saat menatap Jay. Tatapannya seakan ingin menerkamku.
☠️☠️☠️
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Shadow [On Going]
Mistério / Suspense[STORY 8] GENRE: ROMANCE - THRILLER TEMA: MARRIAGE LIFE Berawal dari kebencian masa lalu, kini membawanya menjadi gadis yang penuh dendam dan amarah. Joanna Aurifa Stephany, seorang mahasiswa semester akhir yang juga merangkap sebagai pembunuh bay...