41. SELESAI

127 21 0
                                    

"Y/n."

Kamu memutar kepala, mendapati Jeno berjalan ke arahmu yang sedang duduk di kursi tunggu lobi rumah sakit.

Setelah keluar dari ruang rawat Eric, kamu bilang ingin sendiri dulu. Kamu meninggalkan Jeno dan Lia yang masih di depan ruang rawat Eric dan memilih duduk di lobi yang tidak terlalu ramai.

"Lo udah ngabarin orang rumah?" tanya Jeno, duduk di sebelahmu, berjarak satu kursi. "Nanti Mama lo khawatir."

Kamu menggeleng, bahkan itu juga yang sedang kamu pikirkan. Bagaimana kamu bisa memberitahu Mama kalau sekarang sedang ada di luar kota? Terlebih alasannya adalah Eric.

"Mau pulang sekarang?"

Alih-alih menjawab, kamu justru menunduk. Harusnya kamu mengangguk karena sudah tidak ada urusan di tempat ini, tapi ada satu sisi dalam dirimu yang merasa tidak rela untuk pergi sekarang.

"Mau pamit ke Eric dulu?"

"Enggak." Kamu menggeleng pelan. "Nanti malah nggak tega buat ninggalin dia," gumammu. Sebenarnya meluncur begitu saja dari bibirmu, sangat lirih, tapi Jeno yang sedang menatapmu bisa membaca gerakan bibir itu.

"Kalau gitu, gue pinjam hp."

"Buat apa?"

"Ngabarin Mama lo. Hari ini ada makan malam bareng anak-anak lomba, kalau lo berani bohong, pakai alasan itu aja."

Mendengarnya, kamu langsung menggeleng. Mama memang tidak akan marah sekalipun kamu berbohong sekarang, Papa juga, tapi kamu yang selama ini tidak pernah melakukannya tentu saja harus berpikir berkali-kali.

Dasar dari kepercayaan adalah kejujuran, sementara itu yang meruntuhkannya adalah kebohongan. Kamu tidak mau setelah berbohong ini justru membuat Mama dan Papa tidak percaya lagi padamu nanti.

"Ayo pulang aja," ajakmu, berdiri lebih dulu.

Jeno ikut berdiri, dia mengangguk setuju. Kalian melangkah menuju pintu keluar, tapi sebelum itu kamu sempat menoleh ke arah lorong yang akan membawamu ke ruang rawat Eric tadi.

"Eric akan baik-baik aja, cewek tadi udah dibolehin masuk ruangan," kata Jeno, membuatmu menatapnya. "Bahkan sampai sekarang, Eric nggak punya keberanian buat ngebantah perkataan gue, Y/n."

"Lo?"

"Gue nggak maksa atau marahin dia, cuma bilang kalau cewek di depan pintu mau ketemu buat ngejelasin sesuatu."

"Ooh."

Kalian melanjutkan langkah. Jeno memintamu menunggu di depan lobi, sementara dia mengambil motor.

"Kita cari makan dulu," katanya setelah kamu naik ke boncengan motor cowok itu. "Walau pakek pakaian yang nggak seharusnya dipakek buat perjalanan jauh, setidaknya perut enggak kosong biar nggak masuk angin."

Kamu mengangguk menyetujui. Kalian adalah dua remaja yang nekat menempuh dua jam perjalanan ke luar kota masih mengenakan seragam sekolah lengkap dengan tas ranselnya.

Hari sudah gelap, mungkin kamu akan sampai di rumah sekitar pukul sembilan malam lebih.

Motor Jeno berbelok ke sebuah rumah makan yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit, kamu langsung turun begitu motor berhenti. Jeno memarkirkan motornya kemudian menyusulmu yang menunggu di dekat pintu masuk.

"Makanan di sini enak," kata Jeno. "Dulu gue langganan."

Kamu hendak bertanya bagaimana Jeno bisa tahu, tapi urung karena ingat cowok itu menghabiskan masa kecilnya di kota ini.

Rasanya masih belum bisa percaya bahwa Jeno dan Eric adalah saudara kembar, terlebih cerita mengenai sketsa yang kamu terima dari Eric. Saat itu kamu sangat senang karena tahu bawah kamu dan Eric memiliki hobi yang sama. Tapi karena kesibukan di karate, futsal, dan mengurus Bunda membuat Eric tidak sempat membuat sketsa lagi.

Cukup Tau - Eric Son [00L Imagine][SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang