30.

82 22 0
                                    

Begitu sampai rumah, kamu bilang ke Mama mau langsung istirahat. Untung saja tadi kamu sempat mampir membeli beberapa obat luka dan merapikan penampilan agar Mama tidak khawatir. Karena Mama sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam, beliau tidak terlalu memerhatikan penampilanmu yang tidak seperti biasa.

Setelah mandi, kamu duduk selonjoran di atas kasur. Kamu memegang ponsel, tapi benda itu tidak kamu mainkan sama sekali. Justru yang kamu lakukan hanya menatap lurus pada jendela kamar tapi sambil melamun.

Kamu menghela napas, hari ini terasa melelahkan. Pikiranmu tertuju pada Jaemin dan Jeno yang sekarang berada di rumah sakit, entah bagaimana keadaan mereka, sudah sadar atau belum. Kamu tidak tahu, dan takut untuk mencari tahu.

Kamu mengetuk layar ponsel dua kali, membuat benda itu menyala. Tidak ada notifikasi yang muncul, artinya tidak ada yang mengabari atau bertanya. Padahal kamu pikir, salah satu dari mereka akan mengirim pesan.

Ah, mikirin apa sih?

Setelah apa yang kamu katakan pada Renjun tadi, cowok itu pasti kesal padamu dan mungkin menganggapmu egois. Atau lebih parah, menganggapku tidak tahu terima kasih karena pergi begitu saja dan mengatakan hal seperti itu.

"Tapi, emang nggak seharusnya gue ada di antara kalian, kan?"

Pandangan kamu mengedar, menatap kamar yang baru kamu tinggali selama dua bulan ini. Rasanya baru saja kemarin pindah, tapi entah kenapa kamu sudah terlibat begitu banyak hal yang melelahkan. Parahnya, semua melibatkan mereka— Dream Squad.

Mengingat nama itu membuatmu terbayang apa yang sudah kamu lewati bersama mereka, apalagi kamu sudah beberapa kali ikut ke kegiatan rutin mereka bersama anak-anak itu. Bersenang-senang dan berbagi.

"Eh? Kenapa?" Kamu mengusap air yang menetes di pipi, bingung kenapa tiba-tiba menangis begini. Tapi kemudian, rasa hampa tiba-tiba menyerangmu. Apa yang kamu katakan pada Renjun tadi terngiang kembali, membuat rasa sesak itu perlahan menguar.

Kamu membekap mulut, lalu mulai terisak. Air mata menetes semakin deras, raungan yang tertahan sangat menyakitkan ketika terdengar. Faktanya, kamu memang sedang merasakan sakit itu.

Kamu memutuskan untuk mundur sebelum terlibat terlalu jauh dengan mereka, tapi sekarang kamu sendiri yang uring-uringan karena mengingat semua kenakan itu.

Plin-plan dan egois.

Ponselmu menyala, muncul nama Jihoon di sana. Kamu segera menghapus air mata di pipi sebelum memeriksanya. Kalau tidak cepat dibaca dan dibalas, cowok itu pasti langsung menelepon.

Jihoon : Biar gue tebak
Jihoon : Pasti lagi galau

Kamu berdecak, lalu mengetik balasan dan mengirimnya dengan cepat.

You : Sok tau

Balasan dari cowok itu masuk dengan cepat pula.

Jihoon : Tau
Jihoon : Gue denger lo nangis kok

Setelah membacanya, kamu reflek menoleh ke arah pintu yang tertutup rapat. Seolah kamu bisa menerawang sosok Jihoon berdiri di balik pintu kayu itu.

Kamu meringsut turun dari kasur, berjalan cepat menuju pintu, lalu membukanya. Dan benar saja, hal pertama yang kamu lihat begitu terbuka adalah sosok Jihoon yang menatapmu tanpa ekspresi.

Kamu menunduk, lalu mundur dan kembali masuk kamar. Jihoon membuka pintu itu lebih lebar, kemudian menyusul. Dia menyalakan lampu kamarmu yang sengaja tidak dinyalakan karena kamu ingin meringkuk di tengah kegelapan. Cowok itu juga menutup jendela karena angin bertiup lumayan kencang sampai menerbangkan tirai.

Cukup Tau - Eric Son [00L Imagine][SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang