08. Thirst and Crazy Conversations

142 21 0
                                    

09.00 KST (Malam)

Mereka semua tengah bersiap-siap untuk segera tidur. Meski begitu, tidak ada yang tenang seperti biasanya. Mereka gelisah setelah ucapan yang dilontarkan pemuda bernama Yoon Jaehyuk tersebut.

Tentang fakta bahwa tempat ini adalah tempat di mana para pejabat rakus itu menciptakan uang. Salah satu caranya adalah menciptakan virus sialan yang menyiksa ini. Tapi, mereka juga yakin bahwa ada cara lain bagi mereka menghasilkan uang selain menjual obat-obatan. Karena mereka tidak akan mengkun menyia-nyiakan rakyat rendahan yang mereka kurung di sini. Apalagi setelah mengeluarkan banyak dana untuk mengurus ratusan orang di dalam gedung.

Dan sayangnya, mereka tidak tahu harus mencari informasi tentang hal itu dari mana.

"Kita hari ini belum diberikan obat, ya?" Kai bertanya, rasa haus yang mencekik menggerogoti tenggorokannya. "Oh, iya. Benar juga. Ke mana jatah obat kita hari ini?" timpal Yeonjun keheranan.

Makanan tidak ada dan obat pun juga tidak ada. "Begini .... aku takut terjadi hal yang buruk jika kita absen meminum obat itu ...," khawatir Beomgyu.

Kemudian, Soobin di samping Beomgyu mengangguk perlahan, setuju dengan apa yang baru saja diucapkan pemuda itu. "Apa ada yang merasakan gejala aneh?" Soobin menginterupsi. "Aku pribadu belum ada gejala yang aneh pada tubuhku. Hanya saja sejak tadi aku merasa sangat haus," katanya menambahkan.

"Aku juga merasakan haus sejak tadi." Kai yang pertama kali merespons, "Yang lain?" Beomgyu dan Yeonjun mengangkat tangan secara bersamaaan, sedangkan Taehyun yang tidak mengangkat tangannya sama sekali. "Besar kemungkinan, rasa haus berlebihan yang kita rasakan adalah efek samping dari obat itu," duga Yeonjun berpikir keras.

"Apa ini akan berbahaya ......?" Jari jemari Beomgyu saling tertaut untuk menyakiti. Dia menekan-nekan kukunya pada jarinya yang lain, kecemasan benar-benar membiatnya lupa akan rasa sakit. "Semoga saja tidak," imbuh Yeonjun

***

00.00 KST (Tengah malam)

Di tengah malam yang sunyi, Soobin terbangun dengan tiba-tiba. Matanya yang masih setengah terpejam mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan di sekitarnya. Ada sesuatu yang aneh di tenggorokannya, seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang mencekik erat. Rasa panas menjalar dari tenggorokannya, membuatnya terbatuk pelan. Ia menyadari bahwa dirinya sangat haus. Haus yang begitu menyiksa, seakan-akan seluruh cairan dalam tubuhnya menguap. Dengan susah payah, ia bangkit dari tempat tidur, berharap seteguk air dingin bisa meredakan deritanya.

Setelah menegak habis air di dalam gelas besarnya, Soobin belum merasa cukup.

Dengan langkah sempoyongan, ia meraba-raba dinding kamar untuk mencari pegangan. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tubuhnya menolak untuk bergerak. Kepala yang pusing dan pandangan yang kabur semakin menyulitkannya. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mencapai kamar mandi.Tangannya gemetar saat memutar keran, suara air yang mengalir terdengar seperti musik yang menenangkan. Ia menangkupkan kedua tangannya di bawah keran, menampung air yang dingin dan segar. Tanpa pikir panjang, ia segera meneguk air itu, merasakan setiap tetesnya yang dingin mengalir di tenggorokannya yang panas, memberikan sedikit kelegaan pada rasa haus yang mencekiknya.

"Kak Soobin—?" Beomgyu terbangun dari tidurnya, melihat sosok yang lebih tua itu terduduk di atas lantai kamar mandi yang basah. Sama seperti Soobin, Beomgyu juga terbangun karena rasa haus yang mencekik lehernya.

Setelah beberapa teguk air, rasa panas di tenggorokan Soobin mulai mereda. Perlahan, ia merasa sedikit lebih baik. Dengan napas yang masih tersengal, ia mematikan keran dan mengusap sisa air dari bibirnya.

Ia berbalik dan mulai berjalan kembali ke arrah ranjangnya. Langkahnya masih goyah, namun lebih mantap dibandingkan sebelumnya. Dinding-dinding kamar yang tadi terasa jauh, kini seperti menyambutnya kembali. Setiap langkahnya membawa rasa lega, sedikit demi sedikit.

Akhirnya, Soobin mencapai ranjang dan duduk di tepinya. Matanya kembali berat, dan rasa kantuk yang sempat hilang mulai datang lagi. Ia merebahkan diri perlahan, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelembutan bantal dan selimut. Dalam sekejap, kegelapan yang menenangkan menjemputnya kembali, membawanya ke dunia mimpi.

Berbeda dengan Beomgyu, anak itu masih kebingungan untuk mengatasi rasa mencekik pada tenggorokannya.

Mulutnya kering, seperti gurun yang gersang. Setiap napas yang diambilnya terasa menyakitkan, panas, dan membuat tenggorokannya semakin perih. Ketika ia bangkit dari tempat tidur, cermin di sudut kamar memantulkan bayangan yang mengkhawatirkan.

Wajahnya tampak pucat, dengan urat-urat yang menonjol di bawah kulit yang kering. Mata yang biasanya cerah kini tampak suram dan cekung. Bibirnya pecah-pecah, menunjukkan betapa parahnya dehidrasi yang dialaminya.

"Air, air, air." Beomgyu meracau bagai orang gila. Merangkak menuju kamar mandi untuk mengak air sebanyak-banyaknya.

Usai meneguk air sebanyak-banyaknya dari air keran kamar mandi, kelembapan air tersebut memberi sedikit kelegaan pada tubuhnya yang dehidrasi. Dengan napas yang lebih tenang, ia mematikan keran dan mengusap bibirnya yang basah.

Saat Beomgyu bersiap kembali ke ranjang, telinganya menangkap suara samar-samar dari luar ruangan. Ia berdiri diam, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara-suara itu ternyata adalah percakapan para perawat yang sedang bertugas di koridor.

"Bagaimana keadaan anak itu?"

"Yoon Jaehyuk?"

"Iya."

"Dia sudah mati. Organnya sudah dijual ke luar negeri dengan harga yang sangat fantastis. Katanya, organ anak itu terlampau sehat. Makanya harga organnya sungguh mahal."

Mendengar percakapan itu, Beomgyu terkejut sampai mulutnya refleks menutup, menahan napas sejenak. Ia tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Jantungnya berdebar lebih cepat, pikirannya terlampau berkecamuk.

Perlahan, ia kembali ke ranjang, pikiran dan perasaannya campur aduk oleh informasi yang baru didengarnya.

Di tengah kekhawatiran yang muncul, ia mencoba menenangkan diri, bersyukur bahwa setidaknya rasa hausnya sudah teratasi untuk sementara. Dengan tubuh yang mulai melemah lagi, ia membaringkan diri di ranjang, berharap bisa beristirahat dengan tenang meski pikirannya tak henti-hentinya berputar.

"Besok aku harus memberi tahu mereka semua tentang yang aku dengar ini," gumamnya.

lockdown, txt ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang