Bab 26 Author's POV

16 3 0
                                    

Author's POV

Flashback

Di tengah terik nya siang hari, disaat bel pulang sekolah sudah berbunyi. Remaja dengan bekas luka yang membelah alis sebelah kiri yang sudah mulai memudar itu mulai memacu motor nya menuju sebuah tempat, yang selama 17 tahun ia hidup masih terhitung jari berapa kali ia menginjakan kaki nya ke tempat tersebut.

Menjadi lancang dan kurang ajar sudah menjadi nama tengah nya, memangnya apa yang bisa dia harapkan? Luka menganga di dada nya masih terus berdarah, bahkan belaian angin tidak mampu membantu nya yang kebingungan untuk mencari cara agar bisa menghilangkan rasa sesak yang ia rasakan selama bertahun tahun ini.

Tiba di sebuah perumahan elite dengan penjagaan yang sangat ketat, anak remaja yang masih menggunakan seragam putih abu abu itu lanjut melajukan motor nya dan berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan rindang.

Remaja itu mengklakson motor nya hingga tak lama kemudian pagar otomatis terbuka lalu ia melanjutkan memarkirkan motor nya di halaman luas dan asri.

Anak remaja itu menatap kosong ke arah rumah di depan nya, menata hati nya yang sering berdetak tak karuan dikala ia harus masuk ke dalam rumah tersebut.

Rumah. Ya. Tapi dia gak pernah menganggap nya rumah. Dia sudah lupa rasanya mempunyai tempat untuk pulang.

Anak itu masuk ke dalam rumah bergaya Eropa klasik, masuk melewati luas nya ruang tamu dengan desain ornamen yang sangat kental. Lalu ia membuka pintu penghubung ke Taman lalu menyeberang di jembatan kecil yang di bawah nya terdapat kolam ikan besar.

Remaja laki laki itu mantap membuka pintu setelah sampai di depan bangunan utama, masuk ke dalam dan melihat seorang laki laki paruh baya yang tampak duduk di atas sebuah kursi roda.

Laki - laki paruh baya tersebut sedang menyeruput kopi hitam panas di cangkir dan langsung menatap ke arah depan saat merasa ada yang datang dan dengan santai ia kembali menaruh cangkir kopi di meja.

"Akhirnya kamu pulang"

Remaja itu bergeming, mengusap rambutnya kebelakang lalu dengan tidak tahu diri duduk di sofa dengan kaki yang ia angkat ke atas dengan sepatu masih terikat rapi.

" Katanya mau ada yang di omongin, mau ngomong apa? "

Laki - laki paruh baya tersebut mengernyitkan dahi dan menghela nafas pelan, tampak sudah terbiasa dengan kelakuan remaja di depan nya.

" Kamu buat Ayah gila dengan berita penangkapan mu beberapa bulan lalu, Tim kuasa hukum keluarga kita kalang kabut membereskannya. Sementara kamu baru saja datang untuk sekedar mengucapkan kata maaf dan terima kasih aja Ayah gak dengar?! Ayah bahkan gak minta kamu tanya kabar Ayah nak"

Hening. Tak ada satupun yang bersuara

" Saya lihat Ayah baik baik aja "

Remaja itu menatap seseorang yang disebut Ayah ini dengan tatapan tajam nya. Tampak tidak terpengaruh dengan kalimat kalimat yang Ayah nya katakan barusan.

" Ayah meminta saya kesini sampai mengancam akan mengambil adik saya dari saya hanya untuk obrolan yang sama sekali gak penting kayak gini? Buang buang waktu" Jawabnya hendak berdiri untuk keluar

" Rafka! Ayah ini orang tua mu, tolong hormati Ayah." Tekan Ayah

Anak itu, Rafka, yang sedikit terpancing emosi lalu berdiri dari duduk nya,

" Kurang hormat apalagi Rafka selama ini Yah?! Semua yang Ayah mau udah Rafka lakuin, Ayah minta aku sekolah di sekolahan yang sama sama anak pelac-"

"RAFKA WIRAATMADJA!! Tolong nak, hargai Ayah sebagai orang tua kamu! " Pinta Ayahnya

" ORANG TUA SAYA SUDAH MENINGGAL!! AYAH YANG BUAT ORANG TUA RAFKA PERGI" Marah Rafka lalu mengepalkan kedua tangan nya.

" Mau sampai kapan kamu begini? Ayah akan terus minta maaf sampai kamu mau memaafkan Ayah" Mohon Ayah

Rafka berjalan ke depan jendela menatap ke arah depan kolam di taman sana, " Kesepakatan kita masih tetap sama, saya dan Raline hanya akan sudi kembali ke rumah ini kalau anak haram itu sudah gak ada disini."

" Tidak ada anak haram di rumah ini, Rafka. Kalian semua anak anak Ayah, kalian lahir dari pernikahan yang jelas--"

" TAPI AYAH MENIKAHI SEORANG PELACUR "

" JANGAN KURANG AJAR KAMU"

Sebuah tongkat dilempar ke arah nya dengan keras, refleks Rafka sedang tidak bagus menyebabkan hidung bangir nya mengeluarkan darah segar, tapi Rafka hanya terkekeh sinis, ia terdiam cukup lama lalu berkata dengan nada yang sangat dingin,

" Ibu kurang apa sih Yah? Ayah bilang Ayah mencintai ibu, dimana bukti nya Yah?? "

"--- Bahkan sampai Ibu udah gak ada Ayah masih belum puas juga nyakitin Ibu lewat Rafka dan Raline yang ikut Ayah siksa, sebenernya apa yang Ayah mau? " Rafka bersandar di bawah sofa, memainkan tongkat kayu ditangan nya, tatapan nya sekosong isi kepala nya saat ini.

Lama mereka terdiam sampai akhirnya Ayah mencoba bersuara,

" Pulang nak " Ucap Ayah nya lelah dan putus asa

" Rumah Rafka sudah pergi, Ayah kan yang membuat-nya pergi. Terus sekarang Ayah mau Rafka pulang kemana? Menyusul ibu? "

" Rafka... "

" Apa salah ibu yah.... " Ucap nya sangat pelan dan tertunduk.

" Ibu mu baik sekaliii, Ayah... Ayah yang salah.. Ayah yang berdosa nak"

" Lalu kenapa Ibu, Ayah biarin pergi? Kenapaaa? Kenapa Ayah lebih memilih anak dan ibu nya itu dibanding ibu Rafka " Ucapnya putus asa.

Ini adalah percakapan berulang yang selalu ia tanyakan selama bertahun tahun, yang sampai sekarang ia masih belum mendapatkan jawaban nya untuk memuaskan rasa sakitnya.

"Kalian bukan untuk dipilih, kalian semua adalah keluarga, kita ini keluarga Rafka"

" MEREKA BUKAN KELUARGA RAFKA" Teriak Rafka, muak sudah. Kali ini ia bangkit dari duduk nya menghampiri pria yang kini telah sama kosong pikiran-nya dengan nya.

" Bagaimana bisa.. Bagaimana bisa anda, seorang yang menganggap dirinya seorang Ayah ini bisa bersikap sangat tidak bertanggung jawab???" Tanya Rafka lelah, entah kemana pertanyaan ini tertuju, tapi emosi di dalam dada nya seakan tumpah ke permukaan,

"..... Gimana bisa Ayah masih bisa hidup tenang sampai saat ini setelah apa yang udah Ayah lakukan? SEHARUSNYA... SEHARUSNYA AYAH YANG MATI !! BUKAN IBU !! SEHARUSNYA IBU MASIH DISINI SAMA RAFKAAA, TAPI AYAH MALAH MILIH KELUARGA PELACUR ITUU--"

"RAFKA CUKUP !! LO KETERLALUAN"

Seorang remaja laki - laki yang masih mengenakan seragam yang persis seperti Rafka memasuki ruangan dan menahan tangan Rafka yang mengarah ke orang tua di kursi roda yang kini menangis dalam diam.

Rafka menyentak tangan nya hingga terlepas dari tangan remaja itu lalu mundur beberapa langkah.

" Harusnya... Harusnya lo dan Ibu lo gak pernah dateng kesini.. Harusnya lo dan ibu lo tau diriiii " Ucap Rafka penuh penghakiman.

Pria yang disebut Ayah semakin deras menangis, sementara remaja yang baru beberapa lalu datang itu tergugu, kehabisan kata. Setelah ucapan nya itu Rafka mengambil kembali tas nya di sofa lalu berjalan keluar dari ruangan memuakkan itu. Selalu seperti ini pada akhirnya. Selalu dia yang kalah dan mengalah. Demi tuhan ia sangat lelah

Sebelum keluar, ia kembali menoleh kepada kedua orang yang menurutnya menjadi tersangka utama dia dan adiknya, Raline merasakan pedih kesakitan yang teramat sangat sampai sekarang.

"Harusnya Ibu masih ada disini, harusnya kalian gak misahin seorang Ibu dengan anak anak nya. Kenapa bisa? Kenapa bisa kalian setega itu"

-------------

Special Chapter for Special Readers...

Thank you for always trusting me and choosing to stay here, reading my stories. I acknowledge that these stories may not be perfect yet, but I am committed to improving every day to create better stories for you.

Thank you for still here.

Xoxo

Beels

A Million Feeling (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang