"...Pesanan atas nama Karamel!" Panggilan dari barista coffee shop di salah satu Mall membuatku sigap mengambil pesanannya. Rayyan disamping ku turut membantu membawa cup holder dari tangan ku.
Kami saat ini sedang ada di Mall menikmati waktu sejenak setelah selesai menemani Rayyan pangkas rambut. Sejenak aku tatap kembali penampilan Rayyan saat ini.
Jika sebelum pangkas rambut level ketampanannya 50, nah sekarang naik menjadi 100. Semakin tampan dan rapih, seperti Rayyan yang biasanya.
Kami memutuskan untuk duduk sebentar menikmati pesanan kami. Americano buat Rayyan dan Matcha latte untuk ku.
" Kemarin aku dengar besok sudah mulai persiapan keberangkatan untuk olim. " kata ku memulai percakapan.
Binar di wajah Rayyan hilang, aku masih gak ngerti kenapa dia gak keliatan excited setelah terpilih menjadi salah satu perwakilan sekolah.
" Kamu kayaknya gak semangat banget setiap kita bahas olimpiade, kamu ada masalah?" Tanya ku akhirnya tak lagi bisa menahan rasa penasaran.
Rayyan memalingkan wajahnya, raut wajahnya mengeras tampak menahan emosi.
" Sejak awal aku gak ada niat buat kepilih kayak gitu Mel." Jawab nya setelah akhirnya menatapku.
Alis ku menyatu, " Aku gak ngerti Ray."
Rayyan kembali menikmati kopi nya, pemandangan kopi hitam pekat dan pahit itu tampak lebih menggiurkan dibanding menjawab pertanyaaan ku.
" Itu manipulasi Mel."
Aku terhenyak ditempat.
"....Hasil itu manipulasi. Ada campur tangan Ayah disana. Sejak awal aku gak pernah ada daftar ikut hal seperti itu. Selayaknya orang tua lain yang ingin anaknya sukses, Ayah merasa privilege yang Ayah miliki bisa digunakan buat bantu aku lolos seleksi meski aku dengan sadar diri gak berniat ikut itu."
Ada nada lelah dan frustasi di setiap kata yang keluar dari bibir Rayyan. Ku pikir hanya aku sendirian yang merasa sangat berat menerima tuntutan dari bunda, ternyata ada orang lain yang mengalami nasib serupa dengan ku. Terlebih lagi itu orang terdekatku.
" Kenapa kamu gak menolak?" Tanya ku
Rayyan tersenyum getir, menggeleng.
" Aku gak tega Mel, aku gak bisa."
Persis, sepertiku. Meski berat menjalaninya, terbiasa mengalami hal demikian sejak kecil membuat kesempatan untuk mengeluarkan pendapat menjadi hilang. Tidak ada tenaga dan hati untuk menentang. Lebih ke tidak tau bagaimana cara untuk menolak nya karena tidak terbiasa berkata tidak.
" Tapi, walau begitu. Terpilih nya kamu ya tetap karena hasil usaha mu juga Ray. Panitia gak akan bisa tutup mata ngeliat hasil kerja keras kamu selama seleksi kemarin, you've got what you really deserve." Jelas ku mencoba mengambil sisi positif dari kejadian ini.
Aku gak akan menutupi kekecewaan ku kepada Ayah nya Rayyan tentang apa yang beliau perbuat, menyalahgunakan kekuasaan untuk membantu anak anak nya. Tak terkecuali kasus Rafka yang selalu tertutupi rapih tanpa noda.
" You more to deserve it Mel, not me." Sanggah Rayyan menggenggam tangan ku diatas meja.
Aku tersenyum menenangkannya, mengelus punggung tangan Rayyan yang menggenggam tangan kiri ku.
" Nope. Apa yang udah ditakdirkan buat kamu, gak akan melewatkan kamu. Aku percaya sama kata - kata itu Ray. So maybe this is your time to shine. I know you worth, i know you can do it." Terang ku meyakinkan Rayyan yang terlihat sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Million Feeling (COMPLETED)
Fiksi Remaja((ON GOING)) ((Warning 16+ banyak umpatan/ucapan kasar )) Menjadi anak tunggal tapi gak kaya raya gak selalu hidup-nya enak. Adakala nya aku merasa jenuh, kesepian gak punya teman curhat atau teman bermain, tapi di sisi lain aku buuuaaaahagiaa karen...