Bab 44

14 3 2
                                    

Hujan masih mengiringi sore hari ini, langit sangat amat gelap memayungi. Pedih terus mengisi ruang hati, mengiris dengan teramat perih. Rasanya sangat menyakitkan saat ditinggal pulang kekasih hati.

Tak ada yang bisa ku lakukan, hanya mampu berdiri dan menangisi dua orang remaja laki-laki yang nampak sangat terpukul, meratap pilu dan rindu kepada kekasih hati yang sudah tenang dalam tidur nya yang abadi.

Tak terhitung rasa sakit bertubi-tubi yang ku rasakan saat mendengar tangisan teriakan Rafka ditengah gemuruh hujan. Serta tatapan nestapa Rayyan, terlihat sangat linglung kehilangan arah, dengan mendekap batu nisan.

Raline kami, telah berpulang.

Adik perempuan cantik dan manis yang baru saja ku punya, yang baru saja aku sayangi sudah lebih dulu berpulang dan menyerah, berpulang dan berkumpul dengan sang ibu di surga.

Keluarga ku menguatkan pundak ku, namun bukan aku yang bersedih disini, bukan aku yang kehilangan disini, bukan aku yang seharusnya mereka kuatkan.

Adalah Rafka dan Rayyan, serta keluarga mereka yang berduka. Dan aku hanya bisa memandangi mereka tanpa melakukan apapun, bahkan untuk menghapus jejak lara di masing-masing hati mereka.

" Nak, sudah. Kita pulang, sudah hampir maghrib." Saran Om Martin, duduk di kursi roda. Di sebelahnya tante Faradita mendampingi.

Jika saja aku tidak terlebih dahulu mendengar lirihan tangisan Rafka tadi pagi, mungkin aku sangat mendukung om Martin untuk meminta mereka segera pulang.

Rayyan bahkan dari bandara langsung ke pemakaman setelah di kabari, tanpa sempat kemanapun. Aku hancur melihat lelaki ku hancur sedemikian rupa, saat Rayyan menumpukan tangisannya di bahu ku tadi.

" Raline udah gak ada Mel, Raline udah gak ada."

Begitu kacau diselingi tangis Rayyan di pelukan ku saat bertemunya di depan makam. Sangat menusuk hati ku, aku gak kuat melihat Rayyan versi seperti ini, sangat lemah dan rapuh. Aku sangat amat ikut kesakitan dibuatnya.

Tak ada yang menggubris permintaan om Martin, Rayyan dan Rafka nampak masih terlihat enggan meninggalkan rumah baru bagi sang adik tersayang.

Ayah mengusap bahu ku, " Kita pulang Ra. Kasih keluarga mereka waktu untuk berduka ya."

Aku enggan menurut, namun apa yang Ayah tuturkan benar, aku tak sepantasnya terus berada disini. Mungkin mereka butuh waktu keluarga.

Lantas aku mengangguk, kemudian pamit kepada keluarga duka. Hanya om Martin dan tante Faradita yang menanggapi pamitan keluarga ku, kedua orang remaja di depan sana, tampak tidak terganggu.

Sekali lagi aku melihat ke arah mereka, sebelum mengikuti jejak orang tua ku untuk keluar dari area pemakaman. Dan baru saja sepuluh langkah kami berjalan, teriakan sudah terdengar dari makam.

" Rafka!!"

Aku berlari kencang kembali ke arah makam Raline, mencoba menghalau Rafka yang kembali ingin menyerang Ayahnya sendiri.

Rayyan dengan sekuat tenaga memisahkan mereka, dan memeluk Rafka kencang, meski Rafka masih memberontak minta dilepaskan.

" Kenapa Ayah? Kenapa Ayah tega bunuh Ibu? Kenapa gak cukup Ayah bunuh ibu sekarang Ayah rebut Raline dari aku!?! KENAPA?!"

Om Martin hanya bisa menangis, mencoba mengatur nafas sebelum berucap,

" Ay-Ayah gak bermaksud nak, ayah gak ada maksud sama sekali. Ibu kamu istri ayah, gak pernah terlintas sedikit pun untuk melenyapkan istri ayah sendiri." Lelah nya suara om Martin terdengar, nampak sudah tidak memiliki banyak kekuatan untuk berbicara.

A Million Feeling (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang