Ruangan persidangan itu penuh sesak, dipenuhi oleh orang-orang yang menanti dengan tegang. Dinding-dinding kayu yang megah dan lampu gantung kristal yang bergelantungan dari langit-langit menciptakan suasana yang serius dan mencekam. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja besar dari kayu mahoni yang di atasnya terletak tumpukan berkas-berkas penting. Di satu sisi meja, hakim yang berwibawa duduk dengan tatapan tegas di balik jubah hitamnya, memegang palu keadilan di tangannya.
Di sebelah kanan hakim, jaksa penuntut berdiri dengan pandangan tajam, siap untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dia mengenakan setelan formal, dengan ekspresi wajah yang serius dan penuh keyakinan. Di sebelah kirinya, pengacara pembela duduk dengan tenang, menyiapkan argumen-argumen yang akan membela kliennya. Tatapan matanya penuh ketenangan dan perhitungan, mencerminkan pengalaman dan kecerdikan yang tinggi.
Terdakwa duduk di kursi kayu yang sederhana, tampak gelisah dan cemas. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, sementara matanya terus melirik ke sekeliling ruangan, mencari-cari dukungan dari wajah-wajah yang dikenalnya. Di belakangnya, deretan kursi dipenuhi oleh keluarga, teman, dan penonton yang datang untuk menyaksikan jalannya persidangan. Wajah-wajah mereka mencerminkan campuran emosi—kekhawatiran, harapan, dan rasa ingin tahu.
Hakim memukul palu ke meja, mengirimkan suara keras yang memantul di seluruh ruangan. "Sidang dimulai," suaranya bergema dengan kewibawaan. Semua orang di ruangan itu segera diam, menahan napas mereka, siap untuk mendengarkan setiap kata yang akan diucapkan.
Jaksa penuntut maju ke depan, memulai dengan suara lantang dan tegas, "Yang Mulia, hadirin sekalian, hari ini kita akan membuktikan bahwa terdakwa bersalah atas tuduhan yang diajukan kepadanya." Dia lalu memaparkan bukti-bukti yang telah dikumpulkan, menunjukkan foto-foto, dokumen, dan kesaksian yang memberatkan.
Pengacara pembela berdiri dengan tenang, membalas setiap argumen dengan ketenangan dan kecerdikan. "Yang Mulia, bukti-bukti ini tidak cukup untuk membuktikan kesalahan klien saya di luar keraguan yang masuk akal," katanya, suaranya lembut namun penuh keyakinan. Dia lalu memanggil saksi-saksi yang memberikan keterangan yang menguntungkan terdakwa, mencoba untuk meruntuhkan argumen jaksa satu per satu.
Di tengah persidangan, suasana menjadi semakin tegang. Setiap pertanyaan, setiap jawaban, dan setiap argumen diikuti dengan seksama oleh semua orang di ruangan. Bisikan-bisikan kecil terdengar di antara penonton, menciptakan suasana yang penuh ketegangan dan harapan.
Hakim memandang ke arah terdakwa, matanya penuh dengan penilaian yang tajam. "Apakah terdakwa memiliki sesuatu yang ingin disampaikan?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh dengan otoritas. Jungkook berdiri, wajahnya datar seolah tak memiliki emosi apapun. Jungkook melirik Jeon Seo Jun yang duduk tak jauh darinya. "Dia pantas mati, Yang Mulia", jawaban singkat nan tenang dari Jungkook, membuat semua orang kian berisik. Yoongi yang sejak tadi mendengarkan, rasanya ingin sekali menyumpal mulut orang-orang itu. Mereka itu tidak tahu apa-apa, jadi tidak seharusnya mereka berkomentar.
Ketika juri kembali, suasana semakin tegang. Ketua juri berdiri dan mengumumkan keputusan dengan suara yang jelas, "Kami, juri, memutuskan bahwa terdakwa..."
Suasana persidangan adalah campuran dari ketegangan, harapan, dan ketidakpastian. Setiap momen dipenuhi dengan drama dan emosi, mencerminkan betapa pentingnya setiap kata, setiap bukti, dan setiap keputusan dalam menentukan nasib seseorang.
Yoongi, Jimin dan juga Taehyung segera menghampiri Jungkook. Sejak awal Jungkook tidak keberatan apabila harus mendekam di dalam penjara, namun di sisi lain ia tahu bahwa teman-temannya tidak akan membiarkan hal ini terjadi padanya. Maka dari itu, ketika dirinya dinyatakan bebas, ia tidak terkejut. Justru Jeon Seo Jun lah yang terlihat terkejut. Ia tidak menduga bahwa teman-teman Jungkook berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah yang fantastis serta menyewa pengacara handal.
Kini, Jungkook tidak lagi tinggal bersama Jeon Seo Jun, yang membuat Jimin dan Taehyung menawarinya untuk tinggal bersamanya. Jungkook menatap satu persatu temannya dan memeluk mereka satu persatu, sebagai ucapan terimakasihnya. "Maaf, telah merepotkan kalian"
Yoongi tersenyum dan mengusap rambut Jungkook yang mulai memanjang hingga menutupi matanya. "Kau tidak akan pernah merepotkan kami"
"Bagaimana kalau kita makan siang?", tawar Jimin untuk mencairkan suasana. Keempat orang itu akhirnya setuju untuk merayakan kebebasan Jungkook serta bersatunya kembali pertemanan mereka dengan menyantap makan siang di salah satu kedai terkenal di daerah tersebut.
Seperti biasa, Jimin bertugas mengemudikan mobilnya, disampingnya ada Yoongi, sedangkan Taehyung dan Jungkook duduk di belakang. Yoongi sendiri tampak sangat lega dan bahagia semuanya bisa berakhir sesuai harapannya. Ia hanya berharap kehidupan mereka berempat akan membaik seiring berjalannya waktu.
"Wah, kau tampak semakin besar saja, Jungkook. Sepertinya kau makan banyak saat di penjara, huh?", celetuk Jimin yang sedang fokus dengan jalanan di depannya, sesekali melirik Jungkook dan Taehyung yang duduk di bangku belakang. Dua orang itu hanya fokus memperhatikan jalanan.
Mendengar celetukan Jimin, Yoongi otomatis menoleh ke belakang. Memperhatikan Jungkook yang kini juga menatapnya. Yoongi memberikan senyum tipis pada Jungkook. "Setelah makan siang, bagaimana kalau kita antarkan buronan ini ke salon"
"Setuju, aku risih sekali dengan rambutmu, Jung", sambar Taehyung, yang gila kerapian.
"Baiklah, buronan ini akan menurut saja"
Mobil yang mereka tumpangi akhirnya tiba di sebuah kedai sederhana yang mereka temukan di pinggir jalan. Kebetulan hanya ada satu mobil yang terparkir disana, menandakan bahwa kedai tersebut tidak ramai sehingga mereka tidak perlu mengantri.
Jimin sebagai yang memimpin akhirnya masuk lebih dulu untuk memesan, diikuti Taehyung dan Jungkook di belakang, sedangkan Yoongi masih berjalan teramat pelan di belakang sembari melihat-lihat. Iseng, Yoongi mengeluarkan ponselnya dan memotret ketiga temannya dari belakang. Ia tersenyum melihat hasilnya. "Akhirnya kita bisa berkumpul lagi. Inikah akhir yang kuinginkan?", gumamnya pada dirinya sendiri.
Ia cukup bahagia ketika ia dan Jimin akhirnya bisa berdamai dengan keadaan, ketika Taehyung akhirnya mempercayai ceritanya dan mengirim Seokjin agar tidak muncul lagi di hadapan Yoongi, dan ketika Jungkook akhirnya mengetahui kenyataan pahit mengenai keluarganya, dan bebas dari tuntutan.
Ingin sekali rasanya menjebloskan Jeon Seo Jun dan Kim Seokjin ke dalam penjara, namun Yoongi tahu itu bukan hal yang mudah. Jadi, lebih baik ia fokus dengan apa yang bisa ia perbaiki saat ini.
Miaw
Mendengar suara lirih itu, Yoongi berbalik dan melihat seekor kucing kecil berada di tengah jalan raya. Hatinya tercubit, ketika melihat satu kaki kucing tersebut terluka parah hingga kucing itu tak bisa berjalan dengan normal. Beruntung jalanan tidak begitu ramai siang itu, Yoongi memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan berjalan menuju jalan raya untuk menyelamatkan kucing kecil berbulu abu itu.
Kucing itu tepat berada di tengah jalan. Yoongi rasanya ingin menangis ketika menggendong kucing tersebut. "Aw, siapa yang membuatmu menjadi seperti ini?", bisiknya pada kucing di gendongannya. Tak peduli kemeja putihnya menjadi kotor karena darah dari si kucing, Yoongi terus memeluk dan mengusap sayang makhluk kecil itu.
Tidak sadar bahwa ada satu mobil abu-abu gelap tengah melaju dengan sangat cepat dari arah depan, membuat Yoongi tak sempat menghindar. Ia begitu terkejut, karena mobil itu sudah berjarak beberapa senti darinya. Dan semua kejadian yang kalian takutkan, tidak dapat terelakkan.
"Yoongi!"
Jadi, apakah ini akhir yang kau inginkan, Yoongi?
[]
sedi ga si:(
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Chaos [NEW VERSION] [✔]
Short Story[genderswitch] Seorang gadis yang jauh dari kata baik. Pun sejak dulu hidupnya tak pernah baik-baik saja. Dan kini semakin runyam. Kehadiran 6 pemuda di sekelilingnya tak membuat segalanya membaik. yoongi gs