3. MATI RASA

71 6 0
                                    

3. MATI RASA

Sebuah tempat ramai namun sepi, Sagara dan Dafa berada pada tempat itu. Salah satu cafe di Bandung yang memang digunakan para mahasiswa atau pelajar untuk mengerjakan tugas-tugas yang menghantui mereka. Maka dari itu, cafe ini sepi, tidak ada yang bergurau ramai karena seluruh pengunjung sibuk masing-masing. 

"Pusing banget gue," gerutu Dafa. "Gak ada habisnya nih tugas." Laki-laki itu memijat pelipis dahinya, berharap rasa sakit di kepalanya sedikit reda. "Dulu waktu SMA gue bisa bolos, bisa seenaknya masuk keluar jam pelajaran. Sekarang malah kampus yang seenaknya sama gue."

Kebersamaan di SMA Bumantara waktu itu terputar kembali. Kenangan yang sangat dirindukan. Masa SMA memang masa yang paling indah. Tiga tahun lamanya, akan terasa sangat sebentar jika kita menikmatinya dengan hati lapang dan luas menerima segala lelucon ataupun rintangan semasa SMA. Dan BEATLES juga sempat hidup disana, sekarang perkumpulan itu telah diambil alih anggota baru. 

"Hidup terus berjalan, Daf," kata Sagara. "Mau lo kangen atau lo mau ngeluh apapun. Semesta gak peduli itu semua."

Bar notifikasi muncul dari HP Sagara, mengalihkan perhatian Dafa. Sejak tadi, pemilik HP tak kunjung membukanya. "HP lo tuh," kata Dafa. 

"Biarin aja," kata Sagara. "Gak penting."

Rasa penasaran menyelimuti Dafa. Laki-laki itu kemudian mengambil HP Sagara. "Yaudah, biar gue yang lihat." Tak peduli privasi Sagara, Dafa menekan tombol hidupkan pada HP itu, menampilkan lockscreen yang membuat hati Dafa tersentuh. "Sampai kapan foto ini bakal lo pajang terus?" 

"Selamanya," kata Sagara cepat.

Dafa terdiam sejenak, "Lo juga harus terus melanjutkan hidup lo."

"Iya, gue lanjutin hidup gue kok," kata Sagara. "Dengan hati yang selamanya untuk Alethea."

Dafa tak mempedulikan perkataan Sagara lagi. Memang tidak ada yang bisa dipaksakan sekarang. Tangan Dafa bergerak cepat membuka siapa yang mengirimkan pesan kepada temannya. 

+62875**** : Malam, Gar. Gue Nurra. Tugas laporan lo gimana? Mau gue bantu gak?

Dafa membulatkan matanya. Ternyata memang benar, perempuan ternama di kampus memang sedang berusaha mendekati Sagara. "Nurra nih, chat lo," kata Dafa memberikan HP Sagara pada pemiliknya.

Sagara mengambil HP itu cepat, memastikan perkataan Dafa. "Lo yang ngasih nomer gue ke dia?" 

"Bukan," kata Dafa. "Sumpah bukan gue. Gue aja gak akrab sama dia."

Sagara menatap Dafa dengan pandangan datar, laki-laki itu tidak mengeluarkan tatapan tajamnya. Alasan Dafa saat ini memang bisa diterima. "Jangan berusaha deketin Nurra sama gue, Daf. Apapun caranya."

*** 

"Nurra kayaknya bener-bener terobsesi sama lo," kata Dafa saat Sagara baru saja menampakkan diri. "Dia semalem chat gue, cuma mau nanya lo udah makan apa belum, lo udah tidur apa belum, lo udah punya cewek apa belum." 

Sagara duduk di meja makan. "Terus, lo jawab apa?"

"Ya gue bilang semuanya, termasuk lo yang gak punya cewek," kaat Dafa enteng. 

Brakkk 

Sagara memukul meja di depannya. Amarah laki-laki itu terbit dengan sempurna. Tatapan matanya tajam dan utuh untuk Dafa. "Lo bego apa gimana, hah?!" 

"Salah gue apa?" tanya Dafa heran. "Gue kan jawab jujur. Lo emang gak punya cewek kan?" 

"DENGAN LO JAWAB KAYAK GITU, ITU SEMAKIN BUAT NURRA BERHARAP SAMA GUE! CEWEK ITU BAKALAN TERUS NGEJAR GUE! DAN GUE GAK SUKA!" sentak Sagara. "Lo gak inget gue ngomong apa semalem?" tanya Sagara. "Jangan berusaha deketin gue sama Nurra dengan cara apapun." 

Sagara mengambil kunci motornya cepat. Laki-laki itu meninggalkan Dafa pagi ini. Dafa telah memancing emosinya untuk terbit setelah sekian lama tidak ia keluarkan. Sagara menancap gas motornya, membelah jalanan Bandung dengan kecepatan cukup tinggi. Berkali-kali emosinya ia tekan habis-habisan agar sesampainya di kampus laki-laki itu bisa sedikit lebih tenang. 

Kampus telah laki-laki itu masuki. Sagara berjalan menyusuri koridor tanpa Dafa di sampingnya. Tujuan Sagara hanya satu, menuju kelasnya dan menyelesaikan mata kuliah hari ini lalu pulang. Saat Sagara berada di ambang pintu kelas, langkahnya terhenti. Nurra tiba-tiba memunculkan dirinya tepat di hadapan Sagara. 

"Kenapa?" tanya Sagara. "Minggir, gue mau lewat."

Nurra memberikan map kertas kepada Sagara. "Nih, laporan buat lo. Gue bantu lo ngerjain."

Sagara menatap map kertas itu sebentar, lalu menatap perempuan dengan tinggi sebahunya. "Buat apa? Laporan gue udah selesai. Kasih yang lain aja," kata Sagara. Laki-laki itu kemudian duduk di bangkunya tanpa memikirkan Nurra yang masih berdiri kaku di ambang pintu. 

"Lo gak bisa ngehargai orang ya? Dia cewek!" sentak Aksa. Sagara diam, walaupun dia tahu perkataan Aksa ditujukan untuknya. "Lo gak ada etika sama cewek, Gar! Lo gak bisa seenaknya kayak gitu!"

Sagara mengeraskan rahangnya. Perkataan Aksa sangat tidak menyenangkan. "Kenapa jadi gue yang lo tuduh seenaknya?" tanya Sagara. "Disini yang menggangu privasi orang siapa? Yang tiba-tiba ngerjain tugas orang lain padahal orang itu gak nyuruh dan gak ada persetujuan orang itu siapa?" 

Sindiran keras Sagara tepat sekali terasa sakit di telinga Nurra. Memang dia yang berinisatif melakukan ini semua. Tanpa mengatakan apapun pada Sagara.

"Terus lo bilang kalau gue yang seenaknya, gak bisa hargai orang?" tanya Sagara lagi. "Sehat lo?" 

Aksa tak menjawab lagi. Perkataan Sagara memang benar. Nurra terlalu terobsesi pada Sagara. Aksa bersikap seperti ini hanya karena ingin membela Nurra, perempuan yang ia suka. Namun lebih memilih Sagara. 

Tatapan Sagara utuh pada Nurra yang masih berdiri di ambang pintu. "Ra, gue gak suka cara lo yang kayak gini. Gue sama lo itu teman, dan selamanya akan menjadi teman. Jangan berharap lebih dari itu." 

Nurra mengangguk, ia berjalan menuju ke bangkunya yang berada tepat di belakang Sagara. Saat Nurra melangkah di samping Sagara. Bar notifikasi laki-laki itu muncul, menampilkan lockscreen foto Sagara dengan perempuan cantik. Dapat Nurra lihat jelas foto itu. Hati Nurra semakin teriris. Ternyata dia sudah dimiliki, batin Nurra.

Dua jam berlalu, jam mata kuliah berakhir. Sagara keluar dari kelas dan berjalan menyusuri koridor. Pandangannya tidak kedepan, laki-laki itu mengotak-atik handphone di tangannya. 

Brukk 

Tubuh kekar Sagara menabrak perempuan di hadapannya yang membuat ia jatuh. Dengan pergerakan cepat, Sagara membantu perempuan itu untuk bangkit, lalu membantu merapikan buku-buku yang terjatuh berhamburan di lantai.

"Sorry- sorry," kata Sagara. Laki-laki itu memberikan tumpukan buku pada perempuan itu. "Lo?"

"Sagara?" tanya perempuan itu. "Lo Sagara, kan?"

Sagara menarik sudut bibirnya tipis. Ternyata perempuan yang ia tabrak adalah Laura. Laura Alexandra, sahabat Alethea saat di Jakarta dulu. "Astaga, ternyata lo," kata Sagara.

"Apa kabar, Gar?" tanya Laura. "Lo kuliah disini juga? Jurusan apa?"

Sagara mengangguk. "Gue baik. Gue masuk jurusan pertambangan," kata Sagara ramah. "Lo sendiri?" 

"Gue jurusan ilmu kelautan," kata Laura. "Sebagai pencinta alam terutama laut, ya gue cocok sih masuk jurusan ini. Anak alam banget kan gue?"

Sagara tertawa, Laura memang selalu penuh dengan jenaka. Sesuai yang Sagara kenal selama ini.

"Senang bertemu dengan lo, Gar."

"Gue juga."

Dari jauh, Nurra menatap Sagara dan perempuan di depannya sendu. Sagara dapat tertawa, dan dapat bergurau ria dengan perempuan itu, sangat berbeda dengan Nurra. Mungkin memang bukan seperti gue yang dia inginkan, batin Nurra.

'𝓢𝓪𝓰𝓪𝓻𝓪 𝓐𝓼𝓲𝓪'

SAGARA ASIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang