1. KOTA BANDUNG
Konon katanya, Bandung selalu dicari, selalu dipuji, dan selalu dinantikan. Begitu pula dengan Sagara. Ya, laki-laki bertubuh kekar yang namanya sempat tinggi karena pernah menjadi pemimpin geng besar pada masanya. Harapan ia letakkan bersama dengan kota baru ini.
"Gar! ayo sarapan, lama banget aelah," teriak Dafa dari lantai bawah. Sagara dan Dafa, dua laki-laki yang telah bersahabat cukup lama kini tinggal di rumah yang sama. Pasalnya, keduanya memang satu kampus namun beda jurusan.
Sagara turun melewati tangga, kemudian tangannya dengan cepat mengambil kunci motor. "Gue sarapan nanti pulangnya aja. Keburu telat," katanya lalu pergi.
"LAH WOI?!" pekik Dafa. "Gak menghargai orang yang udah cape cape masak anjing."
"Lo bareng gue apa enggak?" tanya Sagara di ambang pintu.
"Iyalah, pake nanya lagi."
Tangan Dafa bergerak cepat mengambil kotak makan lalu ia isi dengan makanan yang telah ia masak. "Bentar-bentar woy, sayang banget nih. Biar gak rugi juga gue masak."
"Lama gue tinggal," teriak Sagara dari depan.
"SABAR, AELAH," kesal Dafa.
"Ya Tuhan, mana gue laper banget," monolog Dafa. "Tuh orang satu emang halal di geprek."
Setelah merasa cukup membawa makanan untuk ia makan di kampus, Dafa segera berlari menyusul Sagara sebelum laki-laki itu meninggalkannya. Sagara tidak pernah main-main dengan ucapannya hingga saat ini.
"Udah, ayo, letsgo, berangkat!" seru Dafa.
Keduanya melaju dengan motor yang Sagara kendarai. Angin sejuk pagi itu menyentuh keduanya. Bandung memang selalu indah. Kota ini seakan berusaha menyembuhkan rasa gundah, gelisah ataupun rasa gagal.
"Gak salah emang, kalau banyak yang pingin tinggal di Bandung," kata Dafa. "Indah banget anjir. Surabaya mah gak ada apa-apa nya."
Sagara menggeleng. "Surabaya juga indah, apalagi waktu dia masih ada."
Dafa tertegun sejenak, Alethea.
"Kota baru, lembaran baru dong," seru Dafa. "Apa gunanya pindah kota kalau pikiran lo masih sama."
"Dia gak akan pernah selesai, Daf."
Dafa terdiam. Lagi-lagi dibuat diam. Tentang Alethea dari pikiran Sagara memang tidak ada habisnya. Laki-laki itu masih menolak membuka hati, melapangkan hatinya akan takdir yang menimpa hubungannya bersama dengan perempuan segalanya itu.
"Lo tau kisah Dilan Milea di Bandung gak?" tanya Dafa.
"Tau," kata Sagara. "Kenapa?"
"Indah kan?"
"Indah itu cuma tergantung masa nya, kalau masanya udah habis, semua yang indah cuma bisa jadi kenangan," kata Sagara. "Toh menurut cerita juga sekarang Dilan sama Ancika kan? Bukan lagi sama Milea yang katanya cinta matinya."
"Nah, berarti lo harus nemuin sosok Ancika itu," balas Dafa.
"Perlu waktu lama, Daf."
Sesampainya di kampus, Dafa dan Sagara turun dari motor lalu menyusuri koridor secara bersamaan. Seluruh mata tertuju pada mereka berdua, siapa yang tidak kagum dengan dua laki-laki yang pernah menjadi pentolan SMA nya waktu itu? Pesona inti Beatles masih belum bisa tertandingi oleh siapapun.
"Ck, kayak gak pernah lihat orang ganteng aja," gerutu Dafa. "Risih banget gue setan."
Keduanya tak lagi mempedulikan itu. Mereka bertos ria karena harus berpisah ruang kelas. Memang beda jurusan, ada jam matkul sama pun, itu hanya kebetulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA ASIA
Fiksi Remaja"Ikuti alur semesta ya? Aku pamit." - Alethea Ratu Dareen Kisah ini tentang sebuah kehidupan gang terus berjalan walaupun telah dibanting beribu kali. Jiwa, fisik, raga, hati melebur bersama. Banyak fase yang kita hadapi setelah menghadapi kehilan...