7. EPISODE MENGIKHLASKAN
Tiga puluh menit perjalanan. Sagara mulai membukakan pintu mobil untuk Laura. Tujuan Sagara membawa mobil hanya untuk membawa Laura ke tempat ini. Tempat yang sangat disukai perempuan itu. Laura mulai turun, pandangannya tak berhenti menatap ke depan. Langit sedang cerah sore ini, sedang menunjukkan keindahan yang tidak ada tandingannya. Laura seperti menemukan dunianya sekarang. Menemukan tempat menenangkan hati dan pikirannya.
Sagara membuka pintu bagasi, dan mengeluarkan beberapa barang dari sana. "Lo bawa itu semua?" tanya Laura. "Buat apa?"
"Buat nikmatin senja di pantai bareng lo," kata Sagara. Laki-laki itu kemudian menarik tangan Laura, seterusnya seperti itu.
Tepat di tepi pantai, saat keduanya telah menginjakkan pasir yang hangat, Sagara mulai menggelar tikar yang ia bawa. Kemudian ia menata sedikit makanan di atasnya. Laura menatap Sagara intens, apa yang akan dilakukan laki-laki itu?
"Duduk sini, Ra," kata Sagara.
Laura mulai melakukan apa yang diperintahkan Sagara. Perempuan itu duduk, lalu menyilangkan kedua kakinya. Tak mau membuang kesempatan, Sagara mendekat pada perempuan itu dan berbaring dengan kepala bertumpu pada kaki Laura. Pergerakan itu, membuat Laura sedikit tersentak.
"Indah ya, Ra?" tanya Sagara. "Lama sekali gue gak merasakan ini semua."
"Kenapa lo bawa gue ke tempat ini?" tanya Laura.
"Pingin kesini aja," kata Sagara. "Dan orang yang pantas nemenin gue disini adalah lo. Si pecinta alam."
Hening terjadi. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Pantai memang selalu punya cara untuk menyembuhkan segala lara. Pantai selalu mengucapkan selamat datang pada siapapun yang ingin hidup dengan tenang.
"Kaki gue pegel, Gar," rintih Laura sembari memijat-mijat kakinya. "Lo harusnya kalau mau rebahan, bawa bantal aja."
Sagara terkekeh. Laki-laki itu kemudian bangkit dan meluruskan kakinya. Tangan Sagara bergerak menarik kaki Laura untuk bertumpu pada kakinya. Lalu, laki-laki itu memijat pelan kaki Laura yang tadi sempat dibuat sakit. "Maaf, Ra."
"Gar, gak usah," cegah Laura. "Gak apa-apa."
"Gue juga gak apa-apa, Ra."
Laura terdiam, aksi Sagara tidak dapat ia cegah. Perempuan itu juga sebenarnya masih takut dengan Sagara. Yang ia kenal, Sagara adalah laki-laki arogan waktu itu. Hobi tawuran, dan dengan mudahnya memukul orang tanpa rasa kasihan.
"Gue mulai paham, kenapa lo tiba-tiba ngajak gue kesini," kata Laura lembut. "Yuk, Gar. Gue temenin lo ngobrol sama dia."
Tangan Laura bergerak menarik pelan tangan Sagara. Keduanya berjalan beriringan untuk mendekat ke pantai. Laura mulai mengatur napasnya perlahan. Perempuan itu lalu tersenyum dan melepas genggaman tangannya yang nyaman berpegangan dengan Sagara. "Waktu dan tempat gue persilakan. Keluarin semuanya, Gar."
Sagara terdiam. Mata laki-laki itu mulai berkaca-kaca. Perasaannya kembali berkecamuk hebat. JIka banyak orang mengartikan dia telah membaik, justru jawabannya adalah tidak. Sagara masih berpeluk dengan luka, masih penuh duka. Dan sekarang, yang laki-laki itu lakukan hanya untuk bertahan hidup. Hidup setelah berkali-kali merasakan kehilangan.
"Hai, Al. I'm here," kata pertama Sagara. "Aku datang ke pantai lagi, Al. Tempat favorit kamu. Disini juga sedang senja, Al. Langit favorit kamu juga."
"Alethea disana apa kabar?" lanjut Sagara. Suara laki-laki itu mulai terdengar parau. "Aku disini rindu, tapi aku gak bisa apa-apa, Al."
"Aku sempat menyangka kalau kamu adalah seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk aku miliki." Laki-laki itu menunduk. Sagara tidak dapat menahan lagi air matanya. "Tapi ternyata, kamu adalah seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk aku belajar arti kehilangan sekali lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGARA ASIA
Roman pour Adolescents"Ikuti alur semesta ya? Aku pamit." - Alethea Ratu Dareen Kisah ini tentang sebuah kehidupan gang terus berjalan walaupun telah dibanting beribu kali. Jiwa, fisik, raga, hati melebur bersama. Banyak fase yang kita hadapi setelah menghadapi kehilan...