6. TAK SETARA

83 5 1
                                        

6. TAK SETARA

Malam ini, jadwal Sagara terbilang cukup kosong. Laki-laki itu benar-benar menikmati hidupnya malam ini tanpa memikirkan tugas mata kuliah yang selalu memusingkan. Sagara, dia terbaring di sofa ruang tamu dengan pandangan ke arah televisi. Sagara sedang menonton film favoritnya. Beberapa camilan serta secangkir kopi juga tertata rapi di depannya.

"Ada hubungan apa lo sama Laura?" tanya Dafa. Laki-laki itu tiba-tiba muncul lalu melontarkan pertanyaan itu pada Sagara. "Lo deket sama dia?"

Tidak ada jawaban. Sagara tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan Dafa. Laki-laki itu tetap memilih menonton film favoritnya.

"Lo gimana si, Gar? Kayak gak ada cewek lain aja," lanjut Dafa. "Padahal ada Nurra, yang jelas jelas perfect buat lo."

Sagara bergerak menekan tombol pause melalui remote tv. Kemudian, laki-laki itu mulai duduk dan menatap Dafa. "Maksud lo apa?" tanyanya. "Kenapa jadi banding-bandingin Laura sama Nurra si?"

Dafa berdecak. "Ya lo mikir aja deh. Laura itu siapa, dia sahabat nya Alethea kan?" kata Dafa. "Terus, lo malah deket sama dia. Gak mikir perasaan Alethea disana kalau lihat lo sama Laura?"

"Lagian Laura juga gak cocok sama lo, Gar," kata Dafa lagi. "Nurra tuh, cantik, pinter, famous, sempurna banget buat lo."

"LO BISA STOP GAK?!" sentak Sagara. "MAU LO PUJI SE TINGGI APAPUN NURRA, DIMATA GUE TETEP SAMA AJA! GUE SAMA SEKALI GAK TERTARIK SAMA DIA!"

Dafa bangkit dari duduknya. "Nurra kurang apa sih? Dia setara sama sama Alethea, Gar. Kurang apa?"

"Stupid lo!" sentak Sagara. "Jangan pernah lo samain lagi perempuan itu dengan Alethea gue," katanya. "Nurra gak ada apa-apanya sama Alethea. Jauh." Sagara dengan cepat mengambil HP nya di atas meja. "Kalau ternyata gue lebih milih Laura daripada Nurra, lo mau apa, Daf?"

***

Sagara Asia : Pagi, Ra. Hari ini gue mau lanjut skripsi. Semangatin dong.

Setelah mengirimkan pesan itu, Sagara memasuki ruang kelasnya. Jam mata kuliah hari ini terbilang cukup lama daripada hari kemarin.  Semenjak kedatangan Sagara, empat mahasiswa yang melingkar sempurna di sudut ruangan bersamaan menoleh. Mereka adalah Dayana, Nurra, Aksa dan Allan.

"Seleranya rendah!" kata Dayana penuh penekanan. Perempuan itu sengaja menyindir Sagara. "Dikasih yang sempurna malah milih yang sampah."

Sagara mengeraskan rahangnya. Ia tahu, bahwa sindiran keras itu ditujukan untuknya. Topik Dayana tidak jauh berbeda dengan Dafa semalam. Banyak orang yang mengusik hubungannya dengan Laura.

Allan terkekeh, selama ini laki-laki itu tidak bersuara. Tapi kali ini, ia benar-benar turut andil dalam melindungi Nurra. "Biasalah, orang cowoknya aja kayak gini."

Sagara bangkit dan memburu langkahnya menuju Allan di sudut ruangan kelas. Sagara mulai mengeluarkan amukannya, emosinya beradu dalam satu kepal tangannya yang akan ia layangkan dengan sempurna.

BUGHHH

"MAKSUD LO APA, ANJING?!!" amuk Sagara. Allan tersengkur di lantai akibat bogeman keras dari Sagara. Sudah lama Sagara menyimpan hal itu, tapi Allan dan teman-temannya dengan sengaja mengundang rasa emosinya. "BANGUN LO, ANJING!!"

Sagara mendekat pada Allan, ia mulai berjongkok dan meremas kerah baju Allan dengan keras. "BILANG SEKALI LAGI, BANGSAT!!"

Aksa dengan cepat melerai keduanya. Sagara mundur, dan Allan mulai bangkit. Sudut bibirnya mengeluarkan darah segar akibat pukulan dari Sagara. Laki-laki itu benar-benar mengeluarkan amukannya pagi ini.

"Gue selama ini udah diem aja dengan aksi lo berempat! Ternyata diem gue gak buat lo semua mikir ya?!" kata Sagara penuh tekanan. "Jangan usik apapun tentang gue! Termasuk Laura! Sekali lo semua berani menyentuh dia, lo semua berurusan sama gue!"

Keempat mahasiswa yang mendengar kalimat Sagara seketika berkeringat dingin. Sagara tampak serius. Laki-laki itu kemudian duduk kembali ke bangkunya. Bar notifikasi muncul.

Laura Alexandra : HAHAHA. Semangat, Sagara.
Laura Alexandra : Btw, pagi ini apa Sagara sudah sarapan? Gue di kantin nih. Isi perut dulu sini, Gar.

Emosi Sagara seketika tenggelam. Laki-laki itu kembali tenang setelah membaca notifikasi dari Laura. Entah mengapa perasaan senang kalut dalam Sagara. Gue harap, lo orangnya, Ra, batinnya.

Sagara kemudian bangkit, ia mulai keluar dari kelas yang hanya merusak rasa sabarnya. Emosinya berkali-kali terbit saat ia memasuki kelas ini. Hingga sekarang, Sagara tidak suka diusik. Apalagi, mengganggu orang yang sedang dekat dengan Sagara.

Sagara mulai memasuki area kantin kampus. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya unruk mencari perempuan yang akan ia tuju di tempat ini. Pandangan Sagara terhenti tepat di arah 90°. Perempuan itu ada disana, sedang manis disana.

Sagara melangkah mendekati Laura. Perempuan itu menyadari kehadiran Sagara membuat sudut bibirnya terangkat naik. Laura memberikan senyuman indahnya untuk menyambut kehadiran Sagara.

Tangan Sagara bergerak menepuk-nepuk pelan kepala Laura. "Pagi, Ra."

"EKHEMM," celetuk perempuan di sebelah Laura. "Perlu gue pindah nih?"

Laura terkekeh, lalu perempuan itu menyuruh Sagara duduk di depannya. "Kenalin, El. Ini Sagara," katanya pada Elina. "Gar, kenalin, ini Elina, temen seprodi gue," katanya pada Sagara.

Elina mengangguk. "Pacar lo, ya?"

Laura membulatkan matanya, tak menyangka akan kalimat yang dilontarkan oleh Elina. Sementara Sagara terkekeh, laki-laki itu melihat perubahan ekspresi Laura yang sangat lucu baginya. "Doain," kata Sagara.

Elina menggoda Laura dengan senyuman tengilnya. "Kode keras tuh."

"Apaan sih! Gaje!"

***

"Lau, ditunggu tuh di depan," kata Elina saat Laura sibuk mengemas barang-barangnya. "Cowok yang tadi di kantin."

"Sagara?" tanya Laura. Elina mengangguk menanggapi hal itu. Pikirannya seketika berisik, untuk apa Sagara berada di depan ruangan kelasnya? Sepertinya tidak ada janji hari ini. Tanpa berlama-lama lagi, Laura semakin cepat mengemas barangnya. Hari ini, barang bawaannya memang dua kali lebih banyak dari biasanya.

Setelah merasa cukup, Laura mulai bangkit. "Gue duluan ya, El?" pamitnya. "Mau nyamperin Sagara juga."

"Okay, selamat berpacaran ya," ejek Elina.

Laura tidak mempedulikan hal itu lagi. Terserah orang mau berkata apa. Bagi Laura, hidupnya adalah miliknya, orang lain tak tahu apa-apa.

Laura mulai keluar dari ruang kelas. Laki-laki bertubuh tinggi dan kekar menggunakan jaket kulit hitam berdiri tepat bersandar di tembok. Laura mulai mendekat. "Hai, Gar. Ngapain?"

"Hai, Ra," sapa Sagara. "Udah selesai?"

"Udah. Kenapa?" tanya Laura. "Tumben banget kesini. Padahal jauh banget dari prodi lo."

Sagara tersenyum. "Ada seseorang yang memang harus diperjuangkan sekarang," katanya. "Salah satu cara gue berjuang adalah menjemput dia ke ruang kelasnya, walaupun jauh sekalipun."

Laura mencerna baik-baik perkataan Sagara. "Maksud lo? Gue?"

"Iya," jawab Sagara cepat. "Lo sedang gue perjuangkan."

Laura membisu. Perempuan itu tidak tahu harus menjawab seperti apa. Situasi ini sangat tidak ia pahami. Sagara terlalu rumit. Laki-laki itu penuh dengan tiba-tiba yang tidak dapat dengan mudah untuk disimpulkan.

"Ada kegiatan?" tanya Sagara. "Kalau gak ada, ayo ikut gue."

"Kebetulan lagi kosong," kata Laura. "Mau kemana emang?"

Sagara menarik tangan Laura pelan. Keduanya mulai berjalan bergandengan menyusuri koridor. "Ke suatu tempat. Yang pasti, disana ada lo dan gue."

'𝓢𝓪𝓰𝓪𝓻𝓪 𝓐𝓼𝓲𝓪'

SAGARA ASIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang