Bab 37

5.6K 372 58
                                    

Gedung tinggi yang memiliki lantai dua puluh lima itu saat ini sudah terlihat sepi, hanya menyisakan beberapa lantai yang lampunnya masih terlihat menyala termasuk lantai dua puluh. Beberapa penjaga keamanan juga terlihat masih duduk di dalam pos dan beberapa yang lain berjalan mengelilingi area gedung. Mereka memastikan bahwa tidak ada hal yang mencurigakan atau berbahaya yang berada di sana.

Sedangkan Bobby saat ini terlihat baru saja berjalan ke arah ruangan Eizer. Dia membawa dua cangkir kopi di kedua tangannya, dan secara perlahan membuka pintu dengan susah payah. Dia masuk kedalam ruangan Eizer, lalu meletakkan dua cangkir kopi itu di atas meja. Helaan napasnya terdengar samar saat melihat orang yang sangat dia hormati saat itu terlihat masih berkutat di depan komputer yang memperlihatkan huruf-huruf memusingkan mata.

"Saya membawa kopi, Tuan. Sebaiknya Anda meminumnya dulu," ucap Bobby. Dia kini berjalan ke arah sisi Eizer dan ikut memperhatikan apa yang tengah dilakukan Eizer.

"Kau duduk saja, Bobby. Aku akan menyelesaikan ini sebentar lagi," balas Eizer. Tangannya masih terlihat sibuk menari-nari di atas keyboard dan sesekali dia juga melihat berkas yang ada di samping tangannya.

"Pekerjaan saya sudah selesai. Biarkan saya yang mengerjakannya, Tuan." Bobby menolak secara halus karena bagaimanapun dia merasa tak nyaman jika harus duduk sedangkan Eizer masih bekerja.

Eizer menghentikan tarian jarinya di atas keyboard, dia saat ini melihat sekilas ke arah Bobby dan menghela napasnya dengan sedikit kasar. "Aku akan meminum kopi itu," ucapnya menyerah. Dia mendorong kursi kebesaranya ke arah belakang lalu segera berdiri dan kini berjalan ke arah sofa, menghempaskan bokongnya di sana.

"Saya mengerti, Tuan." Bobby berkata dengan tersenyum, setelah itu menarik kursi dan duduk, menggantikan Eizer.

Sudah seminggu mereka berdua terus lembur, lebih tepatnya Eizer. Kegigihannya dalam memperbaiki kerugian bisnisnya akibat berita perselingkuhannya sangatlah patut diberi tepuk tangan. Dalam seminggu, Eizer mampu mengembalikan semuanya. Itu semua juga tak luput dari bantuan beberapa rekan kerjanya yang masih sangat profesional dalam kerja sama mereka, sehingga dia bisa menyelesaikan semuanya dengan sangat baik.

"Bagaimana dengan pernyataan yang akan dikeluarkan besok?" tanya Eizer kepada Bobby. Dia meletakkan kembali gelas kopi di atas meja.

"Semuanya sudah siap, Tuan. Saya sudah menyerahkan pernyataan yang telah Tuan buat kepada tim redaksi yang terpercaya." Bobby menjawab dengan cepat.

"Sangat bagus. Setelah semuanya berjalan sesuai dengan apa yang aku harapkan, kau boleh berlibur selama seminggu kemanapun yang kau inginkan," balas Eizer. Dia menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Terimakasih, Tuan," balas Bobby. Dia juga tersenyum cerah dan kembali melanjutkan apa yang tengah dikerjakannya.

Sedangkan Eizer mulai menyandarkan tubuhnya di lengan sofa. Matanya terpejam dan kedua tangannya dia letakan di depan dada. Suara keyboard yang dimainkan Bobby sama sekali tak mengganggu pikirannya yang saat ini sudah mulai berkelana. Dalam keheningan seperti itulah pikiran Eizer mulai berlarian tak tentu arah. Debaran dadanya berirama dengan rasa rindu yang tertahan kepada seorang gadis yang selalu terlihat berantakan, baik di pagi hari ataupun siang hari, bahkan di malam hari. Sungguh bayangan gadis itu bertebaran di kepalanya.

Sudah seminggu sejak kepergian Elena, dan Eizer merasa hidupnya telah berubah. Tidak ada lagi rasa ingin segera pulang kerumah mewahnya, tidak ada lagi pertanyaan apa yang harus dilakukannya agar gadis itu bisa melihat keberadaannya di sisinya, serta tidak ada lagi rasa bangga karena bisa mengendalikan gadis itu dan mengatur hidup gadis itu sesuai keinginannya. Semuanya sudah tidak ada, kegilaan dan rasa seperti itu sudah tidak ada. Kini hanya ada penyesalan. Dia menyesal karena telah bertemu dengan Elena, menyesal membuat gadis itu harus terjerat bersamanya. Dia menyesal atas segalanya, karena seandainya hal itu tidak pernah dilakukannya, maka semuanya akan seperti biasanya, hidupnya akan tenang dengan kesempurnaan yang dia miliki.

"Elena," gumam Eizer pelan. Nama itu masih sering disebutnya, dan dia akui bahwa sepertinya akan membutuhkan waktu lama untuk melupakan nama itu beserta hal-hal yang telah dia lakukan kepada gadis itu. Dia tidak menyangka hal seperti itu akan dia alami, sungguh dulu dia tidak pernah berpikiran akan semua itu.

**

Sedari pagi baik Moana maupun Elena, mereka berdua tengah sibuk membersihkan rumah mereka. Mulai dari membersihkan debu-debu yang bersembunyi di sudut rumah hingga menyapu dan membersihkan lantai. Mereka terus bekerja sama dengan penuh semangat. Dan setelah selesai, merekapun melanjutkan dengan memasak. Puding dan kue kering tak lupa mereka buat untuk mereka simpan dan dinikmati nanti saat mereka mulai bersantai.

Elena saat ini mengambil dua buah raspberry di dalam toples kaca berukuran kecil. Buah itu dia temukan di dalam tas yang dia bawa dari rumah Eizer. Dia tidak tahu pasti siapa yang menaruhnya, akan tetapi hanya satu orang yang terlintas dipikirannya.

"Mau kamu apakan buah itu?" tanya Moana. Dia berdiri di depan kompor dengan memegang spatula, lalu tak lama dia kembali mengaduk masakannya.

"Akan aku makan, ibu, tetapi separuhnya akan aku buat menjadi selai," ucap Elena.

Dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya dengan senang. Buah itu dia simpan selama seminggu di dalam lemari pendingin dengan sangat baik, sehingga sampai saat ini masih terlihat segar dan semakin lezat ketika dia memakannya.

"Baiklah, bagimana terserah kamu saja." Moana tersenyum kepada Elena dan melanjutkan kegiatannya, membiarkan Elena yang masih asik memakan buah kesukaannya.

"Ibu, aku akan masuk kedalam kamar, aku lupa menyelesaikan bacaan novelku," ucap Elena. Tanpa mendapatkan persetujuan dari ibunya dia segera pergi dari sana setelah memindahkan buah itu kedalam mangkuk kecil dan membawanya kedalam kamar.

"Jangan tidur lagi, Elena. Itu tidak terlalu baik untuk kalian!" Moana sedikit berteriak memberi peringatan kepada Elena yang sangat sering tidur di siang hari, bahkan di jam sembilan pagi.

"Aku mengerti ibu, aku hanya akan membaca buku saja," jawab Elena sebelum dia menutup pintu kamarnya.

*

Pada sore harinya, semua sudah terlihat rapi. Barang-barang yang tadi pagi mereka bersihkan kini sudah tertutup kain putih agar debu tidak terlalu menguasai. Dua pintu kamar sudah tertutup rapat, terkunci dengan pasti, dan barang-barang yang mereka kemas serta tidak terlalu banyak sudah terlihat berada di depan pintu.

Bunga lily putih yang ada di dalam vas terlihat berjatuhan di atas meja. Elena mengambilnya dan membelai bunga itu dengan penuh perasaan. Dia membawanya ke arah jendela yang saat itu di luar tengah memperlihatkan langit berwarna jingga keemasan dengan semilir angin yang berhembus, sehingga menerpa wajah dan rambutnya. Dedaunan terlihat bergoyang dan sekelompok burung migrasi berterbangan, siap untuk kembali ke tempat asal mereka.

"Sudah layu, Tuan," lirihnya. Bibirnya tersenyum kecil sebelum pada akhirnya dia menghela napasnya dengan pelan. Dia menatap bunga yang saat itu benar-benar sudah layu dan warnanya yang putih berubah menjadi kekuningan.

Bunga yang diberikan Eizer telah layu. Bunga yang diinginkan dirinya dari Eizer sebagai permintaan terakhir. bunga itu adalah bunga pertama sekaligus bunga terakhir yang Eizer berikan kepadanya di hari mereka berpisah. Sesuatu yang sederhana bagi Eizer tetapi memilki makna yang sangat berarti bagi dirinya.

"Elena, apa kau sudah siap? Nak Jackson sudah menunggu di depan." Moana sedikit berteriak di ambang pintu.

Elena menoleh kepada ibunya. Dia tersenyum dan segera meletakkan bunga yang sudah layu itu di tempat semula.

"Sudah ibu," jawabnya. Lalu berjalan menghampiri ibunya.

Mereka berduapun keluar dari rumah dengan membawa dua koper serta tas lain yang ukurannya tidak terlalu besar. Sedangkan Jackson terlihat segera menghampiri dan mengambil alih barang-barang mereka untuk segera dimasukkan kedalam bagasi.

Moana lebih dulu berjalan mengikuti Jackson, sedangkan Elena terlihat masih berdiri di depan pintu. Sebelum menutup pintu Elena kembali melihat bunga yang sudah layu itu dengan perasaan yang dipenuhi rasa sesak. Pada akhirnya semua telah terjadi, dan dia hanya perlu melanjutkan hidupnya seperti sebelum bertemu dengan pria itu.

"Selamat tinggal," ucap Elena pelan. Setelahnya dia segera menutup pintu dan menguncinya, lalu berjalan menghampiri ibunya dan Jackson yang sudah menunggu dirinya.

Bersambung.......

Jangan lupa vote dan ramaikan teman-teman, biar aku makin semangat nulisnya.😁🥰

Troubled Man(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang