Binar cahaya mentari bangunkan pagi melepas pergi rembulan ke balik awan.
Embun di balik daun mulai berjatuhan mengenai hamparan rumput hijau. Burung di atas dahan meloncat ke sana kemari dengan suara nyanyiannya yang amat merdu.Berbanding terbalik dengan rumah utama, paviliun yang berada di belakangnya begitu sunyi tanpa suara para pelayan maupun suara mesin pemotong rumput. Hanya terdengar suara burung, itupun hanya terdengar samar.
Pintu kamar dibuka dengan lebar dan seorang pria masuk lalu mendudukan dirinya di kursi yang mengadap ke arah jendela. Dia menautkan Jari-jarinya dengan melemparkan pandangannya jauh ke arah luar, memperhatikan segala keindahan yang disuguhkan sang Pencipta.
"Sudah sepuluh bulan, Tuan," gumam Bobby dengan ternggorokan yang mulai sakit serta dada yang sesak.
"Sudah begitu lama sejak kepergian Anda, dan saya baru berani masuk lagi ke sini bahkan tanpa meminta ijin," sambungnya.
Bobby mulai menundukkan kepalanya, melihat ke arah lantai dingin dengan perasaan bersalah yang tidak bisa dia hilangkan. Seandainya pada saat itu dia bisa mempertahankan kesadarannya, kemungkinkan mereka masih bisa keluar dari mobil dan Eizer tidak akan pergi.
"Maafkan saya, Tuan," ucapnya lagi. Dia kini mengedarkan padnaganya, melihat ke seluruh sudut kamar Eizer, dan matanya berhenti tepat di dinding, di mana di sana foto Eizer terpajang. Dia terus memperhatikannya, membuat dadanya semakin terasa sesak.
"Tuan Bobby!"
Bobby mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar yang terbuka, di mana di sana Sally terlihat sudah berdiri.
"Nyonya dan Tuan besar sudah menunggu. Mereka mengatakan akan lebih baik jika pergi pagi-pagi begini, Tuan. Supaya sampai di desa tidak terlalu malam," jelas Sally.
"Ah, baiklah, Nyonya Sally," balas Bobby. Dia berdiri dan kini berjalan keluar dari kamar, tak lupa dia juga menutup pintu kamar itu, setelahnya segera pergi dari sana bersama dengan Sally.
**
Suara tangisan bayi terdengar melengking , mengegma memenuhi rumah yang letaknya berada tepat di pinggir sungai. Seorang wanita yang terlihat berdiri di dekat kandang dombanya kini mulai berjalan dengan cepat memasuki rumah, mengabaikan ucapan ibunya yang saat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Du, Sayangnya ibu," ucap wanita itu saat dia membuka pintu kamar dan melihat anaknya sudah terduduk dengan wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.
"Bubububu....."
Celoteh bayi itu tak jelas. Menggerakkan mulutnya hingga air liurnya berjatuhan.
"Maafkan ibu. Ibu hanya pergi ke luar."
"Elena, tadi Nyonya Belinda menghubungi, dia mengatakan akan datang kemari," ucap Moana.
"Benarkah," balas Elena.
"Iya, maka dari itu ibu akan pergi ke rumah Halburt untuk membeli berbagai sayuran dan buah-biahan."
"Sekalian raspberry ya, ibu. Persediaan di kulkas sudah habis," ucap Elena.
"Untuk siapa? Untuk dirimu atau anakmu?" tanya Moana. Dia menyilangkan tangannya di depan dada dan melihat Elena dengan penuh tanya.
"Untuk Ezio," jawab Elena cepat.
"Kau menjual anakmu lagi, padahal kau yang sering menghabiskannya," balas Moana.
Sedangkan Elena hanya tertawa kecil membuat anaknya yang kini berada di pangkuannya juga ikut tertawa, mengira ibunya sedang mengajaknya bermain.
"Ya sudah, ibu pergi dulu. Kalau kamu ingin keluar jangan lupa mengenakan pakaian yang hangat," titah Moana. Dia berjalan masuk ke dalam kamar Elena dan menciumi dengan gemas cucunya, hingga membuat cucunya tertawa senang. Setelah itu barulah dia segera pergi dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Troubled Man(END)
RomanceEizer Sebastian, seorang pria yang hampir memilki segala kesempurnaan dalam hidupnya secara perlahan menjadi pria yang bermasalah ketika keinginan dalam dirinya meracuni otaknya. Dia menginginkan seorang gadis yang datang kerumahnya untuk menggantik...