Bab 38

5.7K 359 49
                                    

Pencahayaan remang dari sinar bulan kini sudah tergantikan oleh sinar matahari, memancarkan cahayanya kepermukaan bumi, mendukung sang pengganti malam agar menjalani perannya dengan baik.

Surat kabar tergeletak hampir di berbagai sudut Kota Berlin, baik itu di jalanan hingga tertimpa dedaunan musim dingin yang basah, maupun di dekat rumah-rumah para warga hingga di dekat gedung-gedung tinggi. Surat itu juga berterbangan ketika angin menerpanya. Orang-orang yang berlalu lalang mengabaikan, tidak terlalu perduli dengan hal itu. Akan tetapi, ketika satu orang saja yang berani mengambilnya maka semua orang sudah pasti akan berbondong-bondong mengambil dan membaca isi dalam surat kabar itu.

Sedangkan di kediaman Eizer, Deborah saat ini terlihat sedang menikmati waktu bersantainya di balkon kamarnya. Matanya terpejam dengan isiran timun menutup permukaan kulit matanya. Dia baru saja membersihkan dirinya setelah berendam menggunakan air hangat dengan aromaterapi yang menenangkan.

"Nyonya, air hangatnya sudah siap," ucap seorang pelayan. Dia datang dari arah kamar Deborah dengan membawa wadah berukuran cukup besar.

"Lakukan dengan benar," balas Deborah. Dia membuka sedikit matanya dan mulai membenarkan posisi duduknya.

"Baik, Nyonya," jawab pelayan itu. Dia kini memposisikan diri duduk di lantai, lebih tepatnya di bawah kaki Deborah dengan meletakkan wadah yang berisi air hangat yang sudah tercampur dengan minyak esensial.

Deborah mulai mencelupkan kakinya dan pelayan itu mulai memijat kakinya dengan pelan karena takut Deborah merasa kesakitan.

"Lakukan dengan benar, kau loyo sekali!" Deborah berkata dengan kesal. Dia berdecak dan membuang timun yang menutup permukaan kulit matanya itu secara sembarangan.

"Baik, Nyonya," jawab pelayan itu lagi dengan perasaan takut.

Dua pelayan lainnya terlihat menghampiri mereka berdua dengan membawa sepiring buah anggur beserta minuman di dalam gelas. Mereka berdua menaruhnya di atas meja. Setelah itu mereka berdua mulai ikut duduk di samping pelayan tadi. Mereka bedua juga mulai ikut memijat kedua tangan Deborah.

Begitulah keseharian Deborah. Hidupnya bagai ratu, atau lebih tepatnya dia meratukan dirinya sendiri dan memerintah para pelayan dengan sesuka hatinya. Semua itu terlihat begitu menyenangkan baginya, karena kekhawatiran dalam hidupnya sudah sirna selama empat bulan ini. Dia sudah berhasil menyingkirkan Elena yang baginya sangat mengancam posisinya sebagai nyonya Sebastian, dan dia juga sudah berhasil membuat Eizer bungkam dengan ibunya yang menjadi bahan utamanya tentu saja. Dan yang lebih menguntungkan untuknya adalah orang-orang diluar sana tengah memuji dirinya karena mampu menghadapi konflik rumah tangga. Bahkan, mereka menyebut dirinya malaikat karena masih mau tetap di sisi Eizer, pria tukang selingkuh, pria bermasalah, dan pria yang nama baiknya itu sudah tercoreng.

Begitulah kehidupannya sekarang, terasa damai dan menenangkan, dan tentu saja penuh pujian. Dia sangat bahagia, hidupnya hanya perlu bersantai dan menikmati segalanya dengan hati penuh kepuasan.

*

Masih di rumah yang sama, namun berbeda tempat, Eizer saat ini berada di ruang kerjanya, dia tidak melakukan apa pun, hanya duduk dengan diam dan sesekali helaan napas lelahnya terdengar.

Bobby baru saja masuk kedalam ruangan kerja Eizer, dia terlihat membawa papan catur dan kini meletakkannya tepat di atas meja.

"Untuk apa kau membawa rongsokan seperti ini?" tanya Eizer. " hobimu akhir-akhir ini sangatlah jelek. Apa kau berniat beralih jabatan?" tanya Eizer lagi dengan sindiran.

"Mulut Tuan jahat sekali," balas Eizer. Dia mulai meletakan buah catur itu di posisinya masing-masing.

"Ini akhir pelan, Tuan. Daripada kita tidak melakukan apa pun akan lebih baik jika kita memainkan ini," ucap Bobby.

Troubled Man(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang