Bismillah
***
Pukul 20.20
Indra sudah menunggu didepan gerbang kampus. Ia menunggu Aira keluar. Biasanya, perempuan pasti tak akan menolaknya. Terlebih menurut Indra Aira adalah gadis yang penurut dan baik. Jadi, Indra berpikir bahwa Aira mungkin saja tidak menolaknya.
Setengah jam kemudian, tampak para mahasiswa keluar dari kampus. Mata Indra langsung mencari sosok yang dicarinya.
Pandangan Indra terpaku pada sosok gadis yang berjalan sendirian. Hanya sendiri. Tidak ada teman seperti orang disekelilingnya.
Gadis itu berjalan menunduk sembari kedua tangan memegang tali tas yang ada di pundak.
Indra turun dari mobilnya. Ia memperhatikan Aira. Entah kenapa tetapi ia merasa gugup. Detak jantungnya berpacu lebih cepat.
Apa ini? Seorang Indra gugup karena gadis itu?
Aira berhenti sebelum keluar gerbang. Sepertinya ia tak menyadari kehadiran Indra. Tangannya sibuk mengotak-atik ponsel.
Indra menarik napas kemudian membuangnya. Ia harus bisa.
Kaki Indra melangkah mendekati Aira.
"Assalamu'alaikum, Ra," ucap Indra.
Aira yang fokus terkejut. Suara itu ...
Aira mendongak. Menatap datar Indra yang tersenyum tipis padanya. Tipis sekali.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Aira pelan. Ia menatap lurus kedepan.
"Udah pulang?"
"Iya."
Indra merutuki dirinya sendiri. Untuk apa ia bertanya seperti itu? Sudah jelas ini sudah waktunya pulang.
"Bisa ngomong sebentar nggak?"
"Maaf, tapi ini sudah malam," jawab Aira dingin. Ia menyimpan ponselnya di saku gamisnya begitu melihat ojek online yang dipesannya datang.
Indra terkejut dengan perubahan yang ditunjukkan Aira. Aira berubah.
"Assalamu'alaikum," ucap Aira. Ia segera melangkahkan kaki.
"Tunggu, Ra!" cegah Indra. Ia menahan lengan Aira.
"Pulang sama gue, ya?"
Aira melepaskan tangan Indra. "Maaf, udah ada jemputan." Tanpa menunggu Indra bicara, Aira kembali melanjutkan langkah.
"Aira!" panggil Indra.
"Jalan, Pak!" ucap Aira setelah naik motor.
Indra mengusap wajahnya kasar. Tidak sesuai ekspektasi. Ia kira Aira akan mau diajak bicara dan rencananya ia akan minta maaf. Tapi ternyata Aira tak seperti itu.
Indra segera menaiki mobilnya. Ia berniat mengikuti Aira.
***
Aira menghela napas. Ia mencoba untuk menetralkan detak jantung yang berpacu lebih cepat. Bukan karena gugup, melainkan karena rasa kecewa dan marah. Ditambah ia tadi sebenarnya menahan tangis.
Perasaan itu masih ada. Aira juga khawatir kalau apa yang ia lakukan itu adalah kesalahan. Karena mau bagaimanapun Indra masih suaminya. Tapi Aira tak kuat jika harus melihat Indra terus.
Aira melihat kebelakang. Ia melihat sebuah mobil. Dan mobil itu sangat ia kenal.
Pasti Indra mengikutinya.
Sebenarnya Aira trauma dengan motor dan harus melewati jalan seperti biasanya. Tapi ia mencoba melawannya. Aira selalu berdo'a dan melawan rasa traumanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indra Aira
Любовные романы"Saya terima nikah dan kawinnya Aira Humaira Azzahra binti Ahmad Hidayat dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Pernikahan didasari dengan keterpaksaan. Kedua insan yang awalnya tak saling mengenal menyatu dalam ikatan suci. Indra Fadil Dirgantara...