The Queen's Desperation

124 13 0
                                    

Workshop Kekaisaran yang dulunya merupakan tempat kreativitas penuh harapan, kini tampak seperti medan perang yang kacau. Berbagai alat dan bahan berserakan di atas meja dan lantai, sementara bau kayu terbakar dan logam terbakar memenuhi udara—sebuah tanda dari eksperimen-eksperimen yang gagal.

Naruto berdiri di tengah kekacauan, mengenakan kimono sederhana yang sedikit hangus, berwarna biru langit sedang kotor dengan bekas abu dan noda, menunjukkan tanda-tanda kegagalan eksperimen. Rambutnya yang biasanya rapi kini tampak berantakan, dengan helai-helai rambut terurai dan sedikit kusut. Wajahnya, yang dulunya cerah dan penuh semangat, kini ternoda dengan kekesalan, menambah kesan frustasi yang mendalam.

Di lantai, model terbaru yang gagal tergeletak dalam keadaan hancur. Potongan kayu dan logam berserakan, menambah suasana kacau yang mengelilinginya.

"Damn it!" Naruto teriak, suaranya menggema di dinding batu ruangan. Dia menendang sebuah potongan kayu yang rusak melintasi ruangan, membuatnya meluncur di bawah meja kerja. "Aku seharusnya belajar arsitektur, bukan pemasaran! Setidaknya aku mungkin tahu cara membangun sesuatu yang tidak meledak di wajahku!"

Dia mondar-mandir dengan gerakan tergesa-gesa, ekspresi frustrasinya semakin jelas. "Tanpa internet, tanpa kabel, tanpa snack... Ini era primitif apa sih?! Bagaimana aku bisa berinovasi kalau aku bahkan tidak bisa menjelaskan apa itu 'mesin'?! Dan kenapa tidak ada yang mengerti bahasa Inggris di sini? Arghhh!!"

Naruto melanjutkan gerakannya, wajahnya merah padam dan napasnya terengah-engah. Saat dia terus berbicara sendiri, jari-jarinya yang kotor menunjuk ke berbagai proyek yang tergeletak sembarangan, seolah-olah menyalahkan benda-benda tersebut atas semua kesalahan dan kegagalannya.

Saat dia berusaha keras untuk memahami bagaimana mengatasi keterbatasan era ini, dia terhenti sejenak untuk menatap sebuah model senjata yang hancur di meja kerjanya. Meskipun tampaknya tidak ada yang berjalan sesuai rencana, semangat dan determinasi Naruto tetap menyala. Matanya yang cerah, meskipun penuh kelelahan dan kekecewaan, menunjukkan bahwa dia tidak akan menyerah begitu saja—bahkan jika itu berarti berhadapan dengan kekacauan dan ketidakpastian.

.
.
.

Ruang Studi Kaisar, Sasuke duduk di belakang meja, mengenakan kimono kekaisaran yang mencerminkan status dan kewibawaannya. Kimono berwarna biru tua ini terbuat dari sutra berkualitas tinggi, dihiasi dengan bordir emas yang rumit di sepanjang tepi lengan dan kerah. Di atas kimono, Sasuke mengenakan haori—sejenis jubah luar—dengan motif geometris halus yang juga berwarna biru tua, memberikan tambahan lapisan dan keanggunan pada pakaiannya. Haori ini dipertahankan dengan tali obi berwarna gelap yang melilit di pinggangnya. Di kaki, Sasuke mengenakan zori—sendal tradisional Jepang—yang terbuat dari kayu dan dilapisi dengan tatami yang lembut.

Di luar, dari jendela yang sedikit terbuka, terdengar teriakan-teriakan Naruto yang mengganggu ketenangan ruangan. Suara gaduh dari luar sangat kontras dengan ketenangan yang ada di dalam ruangan. Sasuke menghela napas dalam-dalam, menutup matanya sejenak, dan mengusap pelipisnya dengan jari-jari tangannya, tampak jelas frustasi di wajahnya.

"Wanita itu benar-benar tidak bisa diam....," gumamnya pada diri sendiri, suara yang rendah dan penuh frustrasi. "Ide-idenya seperti khayalan seorang anak kecil. Bagaimana bisa dia begitu... gila?"

Saat itu, seorang pelayan memasuki ruangan dengan langkah hati-hati, membungkuk dalam-dalam dengan ekspresi gugup. Pelayan tersebut mengenakan kimono pelayan berwarna abu-abu muda dengan sash hitam, seraya memegang sebuah nampan kecil di tangannya. "Yang Mulia, percobaan terbaru Ratu, um, gagal lagi. Ada... ledakan lagi."

Sasuke menutup matanya, menghembuskan napas perlahan melalui hidungnya, mencoba menenangkan diri. "Terima kasih. Kau boleh pergi."

Setelah pelayan itu meninggalkan ruangan, Sasuke duduk dengan punggung sedikit membungkuk, merasakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. Ia merebahkan tubuhnya ke kursi kayu yang nyaman namun tegas, memencet keningnya dengan telunjuk dan ibu jarinya, seolah mencoba untuk mengusir sakit kepala yang mengganggu.

The New QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang