25

16 6 13
                                    

PERINGATAN: CERITA INI HANYA DAPAT DINIKMATI UNTUK USIA 17 TAHUN KE ATAS. BEBERAPA ALUR, KATA-KATA KASAR DAN TIDAK PANTAS AKAN HADIR DI CERITA INI. DIHARAPKAN PEMBACA BISA BIJAK DALAM MENERIMA INFORMASI.

CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA.

Jangan lupa untuk follow, vote, komen, dan simpan book ini di perpustakaan favorit kalian yaaw❤️❤️❤️💙💙💙

Jangan lupa untuk follow, vote, komen, dan simpan book ini di perpustakaan favorit kalian yaaw❤️❤️❤️💙💙💙

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

25
||• SEBAGAI SEORANG TEMAN •||
.

.

.

Tangisan Maya menguat di saat mereka saling berpelukan menebar rasa aman. Rudi tak banyak mengeluarkan suaranya, dia hanya mencoba untuk menenangkan Maya menggunakan usapan lembut. Sesekali menepuk permukaan punggung Maya yang bergetar hebat menahan lara. Bahkan dengan mendengar suara tangisannya saja, Rudi juga bisa merasakan betapa sakitnya keadaan Maya saat ini.

Sepertinya Maya sudah terlalu banyak memendam seluruh perasaannya. Entah itu sedih, marah, kecewa, dan putus asa. Rudi mampu melihatnya dengan jelas walau hanya sebatas mengamati. Mau bagaimana pun, usia Rudi jauh lebih tua jika dibandingkan dengan Maya. Pengalaman mereka jelas jauh berbeda, terlebih lagi Rudi pernah menjadi sosok orang tua bagi anak-anaknya.

Dia bisa mengetahuinya dengan sekali pengamatan saja.

"Aku capek, Rudi. Aku nggak kuat, aku nggak punya siapa-siapa." Mengeratkan pelukannya terhadap Rudi, Maya kembali meracau.

Hampir satu jam Maya seperti ini. Dia mengatakan bahwa lelah dengan segalanya. Dia mengatakan bahwa ingin sekali rasanya menyerah. Maya terlihat sangat putus asa dan dihinggapi oleh kesedihan yang menguasai dirinya. Dia benar-benar sedang berduka.

Rudi mengangguk pelan, perlahan tangannya naik mengusap puncak rambut Maya. Melepaskan pelukan mereka sembari menggapai sepasang bahu Maya agar membalas tatapan miliknya. Menegakkan badan. "Aku paham, makasih karena udah berani bicara ya? Aku akui, kamu hebat banget, May."

Mengulas senyuman lembut, kali ini Rudi memberikan ekspresi wajah yang berbeda dari sebelumnya. Tatapan cuek itu berubah menjadi tatapan yang memancarkan sejuta kedamaian. Senyuman yang biasanya terlihat kaku serta tipis itu sekarang tergantikan oleh senyuman ikhlas, mampu menyejukkan seluruh hati bagi siapa pun yang memandangnya. Terlebih lagi dengan usapan tangan Rudi yang terasa sangat nyaman. Sejenak Maya bisa merasakan ketenangan lagi.

"Aku nggak nyangka kalau pertemuan kita membawakan sebuah pelajaran baru buatku. Aku belajar banyak dari kamu, Maya. Kamu perempuan yang hebat, kuat, dan baik. Hati kamu yang lembut itu membawa kebaikan. Mungkin kamu nggak sadar, tapi tolong jangan menyerah ya? Kalau kamu menyerah sekarang, nanti aku sama siapa dong?"

"Aku udah kehilangan semuanya. Awalnya hidupku ini sama sekali nggak berarti apa-apa, aku merasa jadi manusia yang paling nggak berguna. Tapi setelah aku ketemu kamu dan kita membicarakan banyak hal, aku jadi merasa kalau hidupku mungkin ada gunanya. Seenggaknya aku bisa nolongin kamu dari kesedihan yang kamu rasakan sekarang. Sebagai teman dan seseorang yang pernah jadi orang tua, udah seharusnya aku menasihati kamu kan?"

"Kamu masih muda, masih gadis pula. Di sisa umurku yang sekarang, aku bakal ngajarin kamu buat bertahan hidup. Ayo, kita sembuh sama-sama dan menjalani hidup sampai semuanya berakhir. Jangan menyerah ya, kamu masih punya aku kok. Laki-laki mabuk yang pernah kamu pungut itu," ucapnya diakhiri oleh kekehan ringan.

Maya membeku, mencoba untuk mencerna seluruh perkataan yang dilontarkan oleh Rudi. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Rudi katakan kepadanya. Kata-kata Rudi juga ada benarnya. Hati Maya tersentuh sekali di kala mendengarkannya, seolah merasa bahwa kehadirannya masih dihargai.

Maya balas terkekeh, air mata itu kembali menetes. "Makasih, makasih, Rudi. Kata-kata kamu benar-benar indah, aku jadi terharu nih."

"Heh, udah dong. Kok malah nambah nangis, udah jangan nangis lagi. Wajah kamu jelek banget tahu," Rudi menggerutu. Dia tak menyukai jika melihat orang lain menangis tepat dihadapannya.

Tangan Rudi turun, menyeka air mata yang membasahi setiap kelopak mata Maya dengan hati-hati. Napas Maya masih terdengar tak beraturan. Memandangi hal tersebut, Rudi sejenak membuang napas pelan. Dia harus apa ya agar Maya berhenti menangis?

"Hhh, mata kamu bengkak loh kalau nangis terus. Udah ya? Kalau kamu nggak berhenti nangis, aku nggak mau ngajak kamu jalan-jalan nanti sore. Niatnya sore ini aku mau beliin kamu es krim sesuai janjiku tempo hari."

Maya terdiam, sedikit mengernyit. Memberikan sorot mata penuh pertanyaan. "Kamu....mau ngajak aku jalan-jalan sore ini?"

Mengangkat bahu sekilas, Rudi bergumam lirih. Memperbaiki posisi duduk seraya membuang wajah ke arah yang berlawanan. "Niatnya, tapi nggak jadi deh kalau nangis terus."

Bergegas mengusap mata dengan cepat, Maya berusaha untuk menghentikan tangisnya. Menarik napas panjang, dia mulai memperbaiki ekspresinya menjadi lebih baik. Tidak sesuram tadi, lantas menarik pangkal bibirnya hingga membentuk garis lengkung yang indah.

"Maaf, maaf, udah enggak kok. Aku udah puas nangisnya, harus traktir es krim loh ya. Jangan bohong."

"Yee, giliran disogok es krim saja langsung diam. Tahu gitu aku bilang ya dari tadi, nggak usahlah repot-repot meluk kamu segala," ujar Rudi datar. Reaksinya kembali ke setelan pabrik deh.

Maya sedikit tidak terima, meradang. "Memang kenapa? Kamu nggak ikhlas nenangin sama meluk aku tadi?"

Nampaknya Maya meladeni ujaran Rudi dengan serius. Lucu juga, mendadak Rudi memiliki ide. Terbersit dalam pikirannya untuk mengganggu Maya. Sifat jahil yang dimiliki oleh Rudi akhirnya kumat juga, salah siapa baperan. Kan jadinya dia ingin membuat Maya semakin jengkel.

Rudi menyeringai, lalu mengangguk mengiyakan. "Lumayan sih, soalnya kamu kayak anak kecil. Biasanya kalau nenangin anak kecil kan harus dipeluk dulu supaya diam."

Sesuai dengan dugaan, wajah Maya sempurna tertekuk masam. Bibirnya mencibir ke depan. Warna kulitnya perlahan berubah menjadi merah padam. "Ish, apaan sih. Jahat banget, aku pikir kamu ikhlas nawarin. Jahat, jahat."

Maya memukul lengan kiri Rudi secara bertubi-tubi. Tentu saja dia kesal diiringi oleh perasaan malu yang berlebih. Rudi refleks tertawa geli, pukulan Maya benar-benar tak terasa sedikit pun. Reaksi yang diberikan juga cukup menghibur. Kepala Rudi sekilas menoleh, kembali menatap ke arah Maya. Tangannya maju kemudian menyentil permukaan kening Maya yang tertutupi oleh poni rambut.

"Dasar bocil, ada-ada saja kelakuannya."

"Aww, sakit tahu. Curang mainnya nyerang dahi," Maya mengaduh pelan. Sebenarnya tidak sakit hanya saja Maya sedikit terkejut karena tak menyangka bahwa Rudi akan menyerang keningnya yang rentan dari pengawasan.

"Udah, udah, jangan ngoceh terus. Aku bakal ngajak kamu beli es krim kok nanti sore, tapi buat sekarang ayo kita buat kue." Bangkit dari posisi duduk, Rudi mengulurkan tangannya tepat kepada Maya. Mengajak perempuan itu untuk ikut bersamanya ke dapur.

Maya terhenyak, walau pada akhirnya dia menerima uluran tangan tersebut dengan ekspresi penasaran. "Kok tiba-tiba ngajakin bikin kue?"

Melangkahkan kaki menuju dapur, Rudi menghela napas pelan. "Bukannya tadi kamu sempat ngeluh karena gagal terus buat masak dan bikin kue? Aku mau ngajarin kamu nih, mumpung aku luang kan."

"Eh, iya juga ya. Oke deh, aku mau. Jadi, kita mau bikin kue apa nih?" Maya pun mengikuti ke mana langkah kaki Rudi membawanya pergi. Dagunya mendongak menghadap Rudi.

Setibanya mereka di dapur, Rudi terdiam untuk sesaat. Lebih fokus mengamati berbagai macam kue gagal buatan Maya yang tertata di atas meja makan. "Aku mau ngajarin kamu buat bikin kue ikan, kue kering kesukaan anakku."

.

.

.

TBC....

Ini agak cringe gk sih? Huwaaaaa, nggak bs bikin chapter yg adem tentram begini😌


Malam yang Gemerlap [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang