"Ehh kenapa?" Tanya Rafa. Hanin pun berhambur memeluk erat Rafa. Entah apa dan bagaimana awal mulanya tapi kini Hanin merasa ia sangat takut berpisah dengan Rafa. "Neng?!" Bisik Rafa sembari membalas pelukan Hanin. Tidak lupa ia mengelus punggung istrinya itu lembut. "Naik dulu yuk." Ajak Rafa yang langsung diangguki Hanin.
Sesampainya di unit Rafa segera membantu Hanin untuk duduk di sofa dekat jendela. Ia lalu berjongkok tepat di hadapan depan Hanin.
"Mau minum?" Tawar Rafa. Hanin menggeleng lemah. "Kenapa?" Tanyanya kemudian sembari menggenggam tangan Hanin.
"Ayah..." Cicit Hanin.
"Ayah kenapa?"
"Ayah nyuruh kita...." Dada Hanin terasa sesak tiba-tiba. "Ce-rai."
"Astaghfirullah." Rafa terkesiap.
"Aku nggak mau."
"Apalagi aku, Neng. Udah kamu jangan pikirin itu dulu ya. Nanti aku cari cara buat ngomong ke Ayah." Tutur Rafa yang langsung mendapat tatapan tajam dari Hanin. "Kenapa?" Tanya Rafa lagi.
"Ayah kadang suka keras. Kamu mending jangan ngomong sama Ayah." Hanin khawatir. Takut-takut keadaannya bukan membaik tapi malah semakin memburuk.
"Nggak apa-apa. Kan kamu udah janji mau izinin aku buat mempertahankan kamu." Ujar Rafa yang membuat Hanin terdiam. "Udah sore banget, mau mandi?" Tanyanya masih sangat lembut.
"Mau."
"Ya udah ayo mandi duluan." Ujar Rafa. Hanin mengangguk sekilas lalu beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Ia memang ingin segera membersihkan diri lalu berbaring. Ia lelah dan kepalanya pusing akibat desakan sang ayah.
"A, Hanin gimana? Pak Tedi ada telepon kalian nggak?" Tanya Nur yang penasaran juga khawatir itu pun memutuskan menelepon sang putra.
"Iya, Ma."
"Terus?"
"Terus apa, Ma?" Pancing Rafa.
"Kata Papa ada kemungkinan Pak Tedi itu nggak setuju kalian nikah. Kesannya kepaksa karena sikon aja waktu itu. Makanya kata Papa sih Pak Tedi sempet datangin Papa sambil bilang nitip Hanin sementara waktu." Cerita Nur panjang lebar dengan tempo cepat.
"Heh?! Sementara waktu?" Dahi Rafa mengerut.
"Iya." Nur seolah memvalidasi ucapannya itu benar.
"Ma, udah dulu ya. Kasian Hanin sendirian. Nanti aku telepon Mama lagi kalau Hanin lagi tidur." Ujar Rafa yang segera ingin menyudahi obrolan seputar mertuanya itu. Sama seperti Hanin, mendadak kepalanya pusing.
"A...?!" Lirih Hanin yang baru keluar kamar mandi saat melihat Rafa tampak frustasi.
"Ehh udah?" Tanya Rafa sembari menghampiri.
"Udah."
"Kalau gitu giliran aku. Gerah." Cengir Rafa berbohong, bibir Hanin melengkung manis dibuatnya. "Aku mandi dulu ya?!" Pamit Rafa yang terus berusaha bersikap biasa. Bahkan sempat-sempatnya ia mengecup pelipis Hanin sebelum beranjak masuk ke dalam kamar mandi.
Baru ketika sudah masuk, tangannya mengepal tanpa diminta. Rafa pun dengan gemas meninju ke udara. Meluapkan kekesalan, kekecewaan, ketakutan dan lain sebagainya.
***
"Siapa?" Tanya Farida saat Hana menatap layar ponselnya pagi ini.
"Mama."
"Mama?!" Ulang Farida sembari mengingat-ingat. "Mamanya Pak Azam?" Farida memastikan, maklum setahu dirinya, Hana memanggil ibunya dengan panggilan Ibu. Dan Mama, panggilan Hana pada mertuanya.
"Iya." Angguk Hana. "Tumben." Ucapnya kemudian.
"Tumben gimana?"
"Ngajakin belanja bareng."
"Bagus atuh, ada kemajuan. Kan kata kamu pas kejadian Hanin, orangtua Pak Azam lagi bertamu ke rumah orangtua kamu. Siapa tau mau bikin hubungan tambah dekat dan erat."
"Nggak yakin." Ujar Hana datar.
"Lha..."
"Mama itu jatuh hatinya sama Hanin. Sama Hanin, Mama selalu pengen foto. Fotonya dipajang di kamar. Sama aku boro-boro foto, duduk sebelahan aja ogah kayaknya." Tutur Hana.
"Siapa tahu berubah."
"Semoga." Sahut Hana pelan. "Kalau gitu aku duluan ya?! Pengen tau."
"Semangat Hana."
"Makasih."
***
Hanin tengah menghabiskan waktu dengan menonton drama korea favoritnya ditemani aneka camilan termasuk buah-buahan yang disiapkan Rafa sebelum suaminya itu berangkat kuliah tadi pagi.
Hanin lalu tersenyum manis saat scene drama menggambarkan sosok yang sama persis seperti Rafa. Tapi tiba-tiba ia menelan saliva saat teringat kejadian yang lalu. Ia mengelus perutnya lembut. Ada rasa kehilangan juga sedih yang ia rasakan kini.
Hanin sebenarnya ingin menghubungi Nur. Ia rindu pada ibu mertuanya itu. Tapi ia tidak berani mengaktifkan ponselnya saat ini, ia sangat takut dihubungi orangtuanya terlebih Tedi. Ia takut Tedi berbuat nekat seperti menyeretnya pulang dan memisahkan dirinya dengan Rafa.
Di tempat lain Trisna memutuskan untuk mengompori Tedi agar cepat-cepat meminta Hanin bercerai dari Rafa.
"Nggak usah khawatir Hanin jadi janda. Beres iddah ada yang mau nikahin Hanin langsung."
"Heh?!"
"Iya." Trisna mempertegas.
"Siapa?"
"Akmal. Itu lho yang kemarin ikut akang nengok Hanin." Terang Trisna.
"Akang mah setuju kalau Hanin sama Akmal. Pertama usia Akmal nggak lebih muda dari Hanin otomatis bisa seimbang, Akmal juga punya warisan dari orangtuanya banyak, dijamin Hanin hidup sejahtera kalau sama Akmal. Nggak perlu itu Hanin sampai kerja-kerja segala. Cukup diem di rumah urus suami." Tutur Trisna yang membuat Tedi tampak berpikir."Kang Trisna apaan itu?" Tanya Ane dengan nada kurang suka, selepas Trisna pamit. "Kita lagi khawatir sama kondisi Hanin sekarang, dia malah sibuk jodoh-jodohin Hanin. Mana sama laki-laki yang model begitu."
"Kenapa? Daripada yang ganteng tapi masih bocah, masih tergantung orangtua, mending Akmal. Jelas-jelas udah dewasa dan urus usaha sendiri." Sambar Tedi.
"Ayaaah..." Ane mendadak speechless. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala.
![](https://img.wattpad.com/cover/372213363-288-k954204.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Muda
RomanceIstri lebih muda itu biasa. Suami lebih muda? Sekuel cerita, Iparku Mantanku... Happy Reading ❤️