SM 7

1.5K 42 4
                                    

"Ma, tuh...". Bisik Junaedi sembari menunjuk dengan ujung dagunya.

"Apaan?"

"Itu kan yang Mama tunggu-tunggu?" Junaedi terus berbisik. Nur memperhatikan putra dan menantunya yang baru keluar dari kamar. "Mereka keramas." Tekan Junaedi senang namun tidak dengan istrinya itu. Nur hanya tersenyum tanpa ekspresi.

"Kayak nggak tau si Aa aja." Timpal Nur kemudian.

Ya Nur merasa hapal betul putra semata wayangnya itu. Baginya Rafa selalu bisa mengkondisikan sesuatu dengan baik agar diperbolehkan oleh dirinya atau Junaedi. Sehingga Nur merasa ini pun salah satu bentuk dari usahanya Rafa mengkondisikan agar Nur tidak bersikap beda lagi pada Hanin.

"Ayo pada sarapan." Ajak Junaedi menyambut Rafa dan Hanin yang semakin mendekat.

"Jadi pulang hari ini, Pa?" Sahut Rafa dengan melontarkan sebuah pertanyaan.

"Jadi, besok Papa ada undangan ke kantor dinas pendidikan di Sukabumi." Angguk Junaedi.

"Sibuk terus. Jaga kesehatannya." Timpal Rafa.

"Siap, Pak dokter." Junaedi mengacungkan jempol.

"Baru calon." Sahut Rafa sembari duduk.

"Ya udah ayo makan ntar kamu telat." Nur akhirnya buka suara.

"Iya."

Hanin tidak banyak bicara. Ia memilih menyimak pagi ini. Ia takut Nur masih bersikap lain padanya.

Daripada ntar gue dicuekin, batin Hanin.

Rafa yang duduk di sampingnya itu mengelus sekilas paha Hanin. Hanin sontak terkejut, ia segera melirik suaminya. Menyadari Hanin melirik dirinya, Rafa mengulas senyum sembari mengangguk seolah memberi kode bahwa semua akan baik-baik saja.

Selesai sarapan Rafa berpamitan. Begitu juga Junaedi, Nur dan Hanin. Sebenarnya Rafa ingin menahan Hanin pulang tapi ia bingung harus mengajak Hanin bermalam di mana. Di apartemen, ia harus sewa dan ia tidak punya uang sebanyak Junaedi. Diajak ke kost-an nya pun tidak mungkin, jangankan mengajak kaum hawa menginap, bertamu saja tidak boleh.

"Hati-hati ya semuanya." Ucap Rafa.

"Lusa pulang?" Tanya Junaedi menimpali.

"Diusahakan." Jawab Rafa yang belum tahu akan ada tugas dadakan atau tidak di akhir pekan nanti.

"Jaga diri." Pesan Nur.

"Siap." Rafa mengangguk sembari menyalami ibunya itu. "Hanin..." Bisiknya saat Hanin yang menyalaminya kini.

"Iya." Tatap mereka beradu dengan tangan masih saling genggam.

"Kamu boleh ke mana pun tapi kasih tau aku ya. Kabarin lewat telepon atau chat." Pesan Rafa yang membuat Nur melirik ke arah mereka seketika.

"Iya." Hanin mengangguk, paham.

***

"Frey...." Citra hendak melepas kepulangan Freya pagi ini.

"Makasih ya untuk liburan berkesannya. Walau singkat tapi seru."

"Sama-sama. Ntar kalau lu libur lagi, ke sini lagi ya. Gue mau ajak ke daerah Ciwidey."

"Siap."

"Oya satu lagi, si Rafa jangan dihubungi dulu. Besar kepala dia kalau dihubungi. Bagus-bagus dia hubungin lu duluan."

"Mimpi..." Cetus Freya.

"Siapa tau?!"

"Iya juga sih ya?!"

"Ehh ntar pas ultah SMA kalau lagi kosong jadwal kuliah, datang yuk?!" Ajak Citra.

"Ayo. Berkabar aja ya?"

"Siap."

***

"Ayah jadi mau ke rumah Kang Trisna?" Tanya Ane mendapati Tedi tengah bersiap-siap.

"Jadi." Angguk Tedi, menyahut. "Kasian Hanin." Sambungnya.

"Iya sih."

"Pokoknya kalau Kang Trisna oke, ayah bakal ngomong ke Pak Junaedi buat mengakhiri pernikahan Rafa dan Hanin." Ujar Tedi.

"Nggak apa-apa?"

"Nggak. Setau ayah mereka juga masing-masing. Hanin di rumah Pak Junaedi, Rafa langsung berangkat lagi ke Jakarta buat kuliah." Papar Tedi.

"Heh?!" Ane mengerutkan keningnya.

"Iya." Tedi mengangguk seolah memvalidasi ucapannya tadi itu sangat benar adanya. "Lagian kasian Hanin nikah sama orang yang nggak pernah terlintas di benaknya. Rafa kan lebih cocok jadi adiknya Hanin daripada suaminya." Tutur Tedi kemudian.

***

Sepanjang perjalanan Jakarta - Sukabumi, Nur masih bersikap datar pada Hanin. Meski Junaedi sudah berusaha mencairkan, tetap saja tidak membuat Nur serta merta menghangat kembali sikapnya.

Maka dari itu sesampainya di Sukabumi, ia khawatir meninggalkan Nur dan Hanin hanya berdua di rumah. Setidaknya jika di Jakarta ia merasa aman, Hanin tidak mungkin kabur begitu saja. Tapi di Sukabumi, bisa saja Hanin beralasan rindu orangtuanya untuk menghindar dari Nur.

Karena ia menangkap besannya tidak begitu suka akan pernikahan ini. Terlihat dari sorot mata Tedi kemarin, ayah Hanin itu tidak suka bermenantukan putranya.

Mungkin faktor umur, begitu yakinnya.

Tapi pekerjaan di sekolah harus ia selesaikan hari ini. Maklum akan ada penilaian sekolah dalam waktu dekat. Sehingga mau tidak mau Junaedi harus pergi.

"Ma..." Lirih Hanin sepeninggal Junaedi ke sekolah.

"Iya."

"Maafin Hanin ya kalau ada sikap atau perkataan Hanin yang kurang berkenan di Mama." Ujar Hanin sembari meraih tangan itu. Digenggam sebentar lalu diarahkan keningnya menyentuh punggung telapak tangan Nur.

"Katanya mamanya Azam sakit?" Tanya Nur tiba-tiba.

"Iya." Jawab Hanin sembari mencoba menatap Nur.

"Mau nengok?"

"Belum tau tapi kayaknya nggak."

"Kenapa?"

"Hanin merasa harus jaga perasaan Kak Hana, Rafa juga Mama dan Papa." Jawab Hanin sembari mengulas senyum. Mendengar itu emosi Nur terkikis secara perlahan.

***

"Ehh lu...." Keluh Fatih.

"Sorry semalam gue mau hubungin lu tapi keburu ngantuk."

"Gimana?"

"Iya bener dia udah married ".

"Sumpah demi apa? Sama siapa?"

"Gue serius dan yang pasti sama cewek."

"Garing." Cetus Fatih sedang Budi hanya bisa nyengir. "Cakep?"

"Iya cakep, manis gitu."

"Lu tau?"

"Tau kan dikasih tau. Pernah ketemu juga, sekali." Tegas Budi.

"Kuliah di mana? Anak apa?" Cerca Fatih.

"Dia kayaknya udah lulus karena posisi dia pas kita ketemu katanya teller Hi Bank."

"Buset. Sama tante-tante?" Fatih syok.

"Nggak tante-tante juga. Orang lumayan masih muda. Paling selisih berapa tahun doang." Bela Budi.

"Selera si Rafa kok parah sih?"

"Namanya juga cinta." Pungkas Budi. "Ehh udah dulu ya, ini ada yang datang. Anak-anak pada sibuk semua." Budi mengakhiri karena bengkelnya pagi ini memang sedang ramai dan karyawannya semua sibuk.

"Oke, thanks infonya." Tutup Fatih.

Rafa married?! Terus Freya gimana? Batin Fatih.

Suami MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang