Ada kesempatan, ehh malah ada kerjaan. Ada aja kendalanya teh, keluh Azam.
"Kenapa, Pak?" Tepuk Rizal, dosen AKS juga yang ikut rombongan sosialisasi kampus.
"Nggak." Geleng Azam.
"Kangen istri ya?" Tembak Dodi.
"Nggak." Lagi-lagi Azam menggeleng karena memang ia tidak sedang merindukan istrinya.
"Hana mah tipikal istri manut ya kayaknya?!" Seloroh Rizal.
"Iya nggak kayak istri kita, telat berkabar, langsung notif hp padat." Timpal Dodi.
Azam hanya mengulas senyum tipis. Entahlah ia sendiri tidak tahu rasanya memiliki istri seutuhnya itu seperti apa. Yang ia rasakan hanya tinggal satu atap, tanpa komunikasi lebih apalagi hubungan yang lebih intim dari sekedar komunikasi.
Andai aku nikahnya sama Hanin, pasti semua akan indah, batin Azam.
***
Karena kondisi Hanin semakin membaik dokter pun akhirnya mengizinkan Hanin pulang hari ini juga. Tedi yang mengetahui itu langsung dengan sigap mengajak Hanin pulang.
"Ayo pulang." Ajaknya. Hanin terkesiap, diam-diam ia melirik sang suami yang tengah berkemas. "Hanin?!"
"Hanin mau pulang sama Rafa, Yah." Ujar Hanin pelan.
"Hanin, pulang?!" Tegas Tedi yang membuat Hanin tersentak. Rafa pun refleks menoleh.
"Pak Tedi." Junaedi berusaha menengahi.
"Pak Jun, Hanin anak saya ya?!" Tekan Tedi, takut-takut Junaedi lupa.
"Iya, saya tau. Tapi saat ini Hanin istri dari putra saya, menantu kami. Biarkan Hanin memilih." Tutur Junaedi tenang.
"Hanin, kamu kenapa? Ayo pulang?!" Kembali Tedi mengajak putrinya itu untuk pulang bersamanya.
"Nggak, Yah." Geleng Hanin pelan.
"Hanin, kamu nikah itu cuma karena terpaksa. Rafa menggantikan Azam karena ternyata kakak kamu masih hidup. Ayah tanya sekarang? Emang bisa membangun rumah tangga karena sesuatu yang tidak sengaja seperti itu?!" Tedi mulai emosi, nada bicaranya mulai meninggi. "Ayo, pulang." Serunya tidak sabar.
"Hanin nggak mau. Hanin mau pulang sama Rafa." Tolak Hanin.
"Pak Tedi, maaf. Tapi biar Hanin sama suaminya." Timpal Junaedi.
"Hanin, kalau gitu kamu pilih sekarang. Pilih ayah atau suami kamu?" Tanya Tedi yang berhasil membuat semua tercengang termasuk Ane. "Inget suami ada istilah mantan tapi orangtua nggak akan pernah ada istilah mantan." Tekan Tedi.
"Ayah?!" Cicit Hanin.
"Pilih sekarang!" Seru Tedi. Hanin menelan saliva. "Kalau kamu pilih Ayah, ayo kita pulang. Kita akhiri baik-baik semuanya. Toh Ayah sendiri nggak pernah ngerasa Rafa melamar kamu sebelumnya. Wajar kan Ayah khawatirin kamu kedepannya bakal gimana. Tapi kalau kamu pilih suami kamu, silakan. Dan jangan pernah lagi pulang atau cari Ayah dan Ibu. Ayah dan Ibu nggak akan anggap kamu anak lagi karena kamu juga nggak anggap Ayah sama Ibu sebagai orangtua kamu."
"Astaghfirullah Pak Tedi." Junaedi dan Nur geleng-geleng kepala.
"Ayah?!" Lirih Hanin dengan mata mulai berkabut.
Perlahan genggaman Hanin melonggar, Rafa yang masih syok itu tetap melirik Hanin memastikan Hanin tetap berada di sampingnya.
"Istighfar, Pak." Ujar Junaedi kemudian. Tedi bergeming, tampak ia menahan berjuta emosi. Terlihat dari dadanya yang terus kembang kempis. Menandakan nafasnya tidak beraturan.
"Ayah...." Rafa hendak berkata-kata saat Tedi memotong.
"Hanin, gimana?" Tanya Tedi pada putri bungsunya itu. Hanin bergeming. Lidahnya kelu. "HANIN." Sentak Tedi.
Hanin tidak menjawab dan mematung di posisinya. Tedi berjalan mendekati Hanin. Semua mata memandang tegang. Dan saat Tedi menarik lengan putrinya itu, Hanin tetap berdiri tidak beranjak sama sekali.
"Oke, kalau kamu lebih pilih suami kamu. Tapi kalau sampai apa yang Ayah takutin terjadi. Sekali lagi Ayah tegasin jangan pulang ke rumah dan jangan cari Ayah. Pintu rumah Ayah mulai hari ini tertutup buat kamu." Ujar Tedi yang membuat Hanin berlinang airmata.
Hanin melemas, ia terhuyung. Rafa cepat-cepat menahan tubuh istrinya itu agar tidak jatuh. Tidak ada kata yang keluar dari bibir Hanin. Hanya isak tangis yang terdengar kini, melepas kepergian ayah dan ibunya itu.
"Neng?!" Bisik Rafa yang kini tengah memeluk Hanin.
"Hanin, udah. Ayah kamu lagi emosi aja." Ujar Nur membesarkan hati Hanin sembari ikut mengelus punggung Hanin sama seperti Rafa.
"Iya, kamu yang sabar." Junaedi sekilas mengelus puncak kepala Hanin lembut.
***
"Ayah?!" Seru Ane saat mereka tengah berjalan di koridor rumah sakit. "Ayah apa-apaan sih?!" Protes Ane.
"Ayah cuma lakuin yang seharusnya ayah lakuin." Sahut Tedi. "Lagian ayah yakin Hanin bakal pulang. Tunggu aja." Pungkasnya percaya diri sembari melenggang lebih dulu daripada Ane.
***
Azam cepat-cepat pulang. Ia ingin segera sampai rumah. Tidak peduli ada Hana atau tidak. Ia ingin bercengkrama dengan Hanin.
"Yah." Sapa Azam pada Tedi di mana saat ia sampai mertuanya itu pun juga baru sampai. "Bu..."
"Baru pulang, Zam?" Tanya Ane karena Tedi tidak bersuara.
"Iya. Ayah sama Ibu dari mana?"
"Dari rumah sakit."
"Siapa yang sakit?"
"Hanin."
"Hanin? Hanin sakit? Sakit apa?" Cerca Azam cemas yang membuat Ane menatap seksama menantunya itu. Sedang Tedi melirik sekilas.
"Kecapekan." Jawab Ane singkat.
"Terus sekarang gimana?"
"Baik. Udah boleh pulang." Kembali ane menjawab pertanyaan menantunya itu.
Sebenarnya Azam masih ingin bertanya tapi tatapan Ane juga lirikan Tedi membuatnya mengurungkan niat. Aku harus cari tahu sendiri. Batinnya.
***
"Neng?" Hanin menoleh. "Makan dulu."
"Iya, bentar lagi."
"Udah malam. Yuk makan dulu?!" Bujuk Rafa.
"Masih mual." Hanin beralasan.
"Ohh ya udah. Aku ke bawah bentar atuh ya?!" Pamit Rafa, Hanin pun mengangguk sekilas.
Semenjak sampai rumah Hanin memang terus berdiam diri. Matanya kembali sayu. Terlebih ia pun tampak tidak selera makan atau minum. Jelas itu membuat Rafa, Junaedi dan Nur khawatir.
"Kalau ayah sulit nerima aku dan bikin Hanin terbebani seperti ini. Aku...." Rafa menunduk dalam sebelum meneruskan kalimat setelah ia menarik nafas panjang. "Aku bakal balikin Hanin ke orangtuanya."
"A..?" Nur membulatkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Muda
Любовные романыIstri lebih muda itu biasa. Suami lebih muda? Sekuel cerita, Iparku Mantanku... Happy Reading ❤️