"Hanin." Panggil Nur sembari membuka pintu kamar Hanin. Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk tentunya oleh Hanin.
"Iya, Ma." Hanin yang tengah sibuk dengan ponselnya itu menoleh.
"Nih Mama barusan beli martabak via go-eat." Nur menyerahkan box martabak pada Hanin. "Martabak keju, kesukaan kamu." Tegas Nur.
"Makasih, Ma." Ucap Hanin berbinar. Martabak keju memang salah satu makanan favoritnya. Dan sudah lama ia tidak makan martabak keju.
"Sama-sama. Ayo dimakan mumpung hangat."
"Bareng sama Mama." Cengir Hanin yang masih ingin mengambil hati Nur kembali.
"Ohh ayo. Sekalian sama Papa juga." Sahut Nur.
"Papa udah pulang?"
"Udah." Angguk Nur. "Yuk?!"
"Iya." Hanin segera beranjak.
"Kamu lagi chat sama siapa?" Selidik Nur ketika tanpa sengaja melihat layar ponsel Hanin.
"Ohh ini..." Hanin menyalakan layarnya yang baru saja mati itu. "Sama Rafa."
"Oya?"
"Iya, nanyain udah makan apa belum."
"Yang nanya, udah makan belum katanya?" Senyum Nur terulas manis.
"Baru beli katanya, baru mau dimakan."
"Dasar. Ya udah ayo kita ke Papa." Nur merangkul Hanin, sehangat biasa.
"Iya, Ma."
Hanin tersenyum lega. Nur sudah seperti sedia kala. Ia pun melingkarkan tangannya ke pinggang Nur. Junaedi yang menangkap momen itu tersenyum lebar. Sama seperti Hanin, beliau pun sangat lega istrinya kembali bersikap hangat pada menantu mereka satu-satunya itu.
***
"Ayah ke mana?" Tanya Hana yang tidak mendapati Tedi makan malam bersama mereka malam ini.
"Ke rumah Ua Trisna."
"Tumben. Kenapa? Ua sakit?"
"Pengen silaturahmi aja."
"Ohh..." Hana pun manggut-manggut mendengar jawaban dari ibunya itu.
Jika Hana langsung menyantap makan malamnya tidak dengan Azam. Ane perhatikan beberapa hari ini tepatnya setelah pernikahan dengan Hanin gagal, Azam tampak murung dan kehilangan selera makan.
"Azam, kamu sakit?" Tanya Ane sembari memindai sosok menantunya itu.
"Nggak, Bu."
"Ayo dimakan."
"Iya." Angguk Azam lemah. Bukan hanya Ane yang menatap Azam tapi juga Hana.
Pasti lagi kepikiran Hanin, harus gimana ya biar A Azam lupa sama Hanin?! Batin Hana.
***
Freya menatap layar ponselnya seksama semenjak tadi. Namun tetap tidak ada notifikasi dari orang yang ia harapkan.
Frey.... Udah dia kan gitu orangnya. Jangan ngarep dia bakal hubungi duluan. Kalau kangen seperti biasa aja, kamu yang hubungin duluan.
Freya pun memutuskan menghubungi Rafa tapi semenjak tadi hanya centang satu. Freya pun mencoba menelepon akan tetapi statusnya terus memanggil tidak berubah menjadi berdering.
Dia ke mana? Baik-baik aja kan dia?
Sementara di Jakarta, Rafa yang baru menghabiskan makan malamnya langsung menyalakan laptop. Ia hendak mengerjakan tugas-tugas malam ini juga agar akhir pekan besok bisa pulang.
Tidak tanggung-tanggung, saking tidak mau diganggu. Di gagang pintu kamar kost nya ia pasang tanda don't disturb. Ponselnya pun ia matikan setelah sempat memberi kabar terlebih dahulu pada Hanin, jika dirinya hendak menonaktifkan ponselnya itu.
"Fatih, kamu lagi sama Rafa?" Tanya Freya to the point saat Fatih menerima panggilan suaranya.
"Nggak."
"Dia ke mana ya? Terakhir kamu ketemu kapan? Dia baik-baik aja kan?" Cerca Freya.
"Frey...." Lirih Fatih.
"Kenapa?!"
"Hmmm..." Fatih dilema. Untuk dekat dengan Freya, baginya itu sebuah pencapaian terbesar. Karena tidak mudah dekat dengan gadis itu. Berhubung Rafa temannya, Fatih jadi ada akses dekat dengan Freya.
"Kenapa?" Ulang Freya.
"Nggak jadi." Fatih pun segera mengalihkan topik.
***
"Gimana, Yah?" Tanya Ane penasaran. Sehingga Tedi yang baru sampai itu pun segera ditodong pertanyaan.
"Kang Trisna setuju-setuju aja. Katanya Hanin boleh kok tinggal di sana."
"Syukurlah. Ehh iya..."
"Kenapa?"
"Azam..." Ane tiba-tiba menggantungkan kalimatnya.
"Kenapa?"
"Hmmm..." Ane serba salah. "Nggak." Ane menggeleng. "Dia kayaknya lagi nggak enak badan aja." Ujar Ane yang memutuskan mengalihkan topik.
"Suruh minum obat atuh."
"Iya tadi udah Ibu ingetin."
"Ya udah besok suruh Hanin ke sini aja."
"Hanin disuruh ke sini?" Ane memastikan.
"Iya. Lagian masa kita yang ke rumah Pak Junaedi?! Nggak enak kalau ketauan ngomongin ini. Nanti kalau Hanin udah oke, baru kita ngomong ke Pak Junaedi juga." Tutur Tedi.
"Iya juga. Tapi...." Ane kembali serba salah.
"Kenapa?"
"Nggak." Cengir Ane.
Ane bukannya tidak ingin cerita tapi ia tahu suaminya itu sedang banyak pikiran. Ia takut ceritanya semakin menambah beban Tedi. Selain itu ia juga khawatir jika apa yang hendak ia sampaikan pada Tedi hanya sebuah kekhawatiran tanpa alasan.
Kan Hanin udah berulang kali dulu negasin dia sama Azam kenal biasa. Dia mahasiswi, Azam asisten dosen.
***
"Jadi ke rumah orangtua kamu?" Tanya Nur pada Hanin yang tengah menghampirinya itu.
"Jadi, Ma."
"Nginep?"
"Kayaknya nggak."
"Udah izin ke Rafa?" Kembali Nur melontarkan pertanyaan.
"Udah. Tadi Hanin telepon Rafa."
"Syukur kalau gitu." Sahut Nur. "Hati-hati ya." Pesannya kemudian. "Anterin aja sama Ujang."
"Jangan." Tolak Hanin cepat.
"Nggak apa-apa. Mama nggak akan ke mana-mana, jadi mobil Mama bisa kamu pake."
"Ihh..." Hanin mendadak tidak enak hati.
"Udah sana. Salam ya buat Ayah dan Ibu kamu."
"Bener nggak apa-apa, Ma?" Bukannya menyahut, Hanin malah bertanya untuk memastikan.
"Bener." Angguk Nur mantap.
"Hmmm... Kalau gitu Hanin berangkat dulu." Hanin pun segera menyalami Nur.
"Iya, hati-hati ya."
"Siap, Ma." Hanin mengacungkan ibu jarinya sembari tersenyum manis sesaat sebelum beranjak keluar rumah.
Nur tersenyum simpul. Nur merasa senang Hanin menunjukkan tanda ia menerima Rafa. Karena sesungguhnya itulah yang Nur harapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Muda
RomanceIstri lebih muda itu biasa. Suami lebih muda? Sekuel cerita, Iparku Mantanku... Happy Reading ❤️