SM 34

368 28 8
                                    

"Bu, siapanya Ua Trisna sih itu? Kok perasaan sering ikut Ua Trisna ke sini. Lagian tumben Ua Trisna bolak balik, biasanya jarang." Ujar Hana sembari mengintip ke arah ruang tamu dari dapur. "Bu..." Panggil Hana yang merasa dicueki Ane. Maklum semenjak tadi Ane bergeming.

"Apa?"

"Siapa?" Ulang Hana.

"Mana? Itu?" Tanya Ane lagi yang langsung diangguki Hana.

"Iya."

"Pengen sama Hanin katanya." Akhirnya Ane memutuskan jujur karena semenjak tadi otaknya tidak menemukan kata lain selain apa yang ia ucapkan.

"Hah?! Hanin kan udah nikah." Hana tampak terperanjat. Ane hanya mengangkat bahunya sekilas sembari terus mengaduk kopi di salah satu cangkir yang tengah ia persiapkan untuk Tedi, Trisna dan juga Akmal. "Lagian mana mau Hanin sama model begituan?! Lepas dari A Azam aja dapatnya berondong modelan Rafa." Sambungnya.

"Ehh..." Ane seketika membulatkan matanya. "Kak?!"

"Kalau aku jadi Hanin juga, aku nggak mungkin lepasin Rafa gitu aja." Hana tampaknya belum sadar akan sesuatu ia terus saja meneruskan opininya.

"Kak? Tadi Kakak bilang apa?" Tanya Ane kemudian.

"Yang mana, Bu?!" Hana balik bertanya dengan kerutan di kening.

"Lepas dari Azam? Kamu tau sesuatu tentang mereka? Mereka...." Cerca Ane yang membuat Hana tersentak. "Kak?!" Desak Ane.

"Iya Hana tau." Jawab Hana pelan sembari mulai menundukkan kepala. "A Azam sama Hanin pernah ada hubungan."

"Tau dari mana?"

"Semua anak UnSu juga tau, Bu. Aku aja yang bego sampai nggak tau." Jawab Hana.

"Kak?!"

"Hanin dan A Azam juga hampir menikah kan pas aku menghilang?! Tapi karena aku muncul lagi, akhirnya Rafa yang maju menggantikan Hanin."

"Kakak..." Ane tampak kehilangan kata-kata.

"Dan Ibu tau?! Bukan aku yang sebenarnya hendak dilamar A Azam dulu tapi Hanin. Cuma karena aku yang kesemsem dan kita nggak kroscek kesalahanpahaman itu ya akhirnya...." Kalimat Hana terhenti. Hana merasa tidak sanggup melanjutkan. Sedang Ane semenjak tadi menatap putri sulungnya dengan berbagai perasaan terlebih kini tubuh putrinya mulai bergetar seiring meneteskannya airmata itu.

Hana tersedu-sedu, entah apa pastinya yang tengah ia tangisi. Kebodohannya kah, cintanya kah, atau kemalangan dirinya. Sedang Ane masih saja terpaku.

Jadi benar dugaan aku selama ini? Kenapa Hanin nutupin? Batin Ane.

***

"Kenapa lagi, Pak?" Sapa Budi melihat Andri tiba di bengkelnya pagi ini.

"Biasa. Kayaknya pengen diganti." Sahut Budi.

"Iya atuh sama si Max."

"Maunya, tapi belum ada dana untuk ganti."

"Sebenarnya ini juga penyakitnya sih nggak terlalu parah. Diganti juga bisa bagus lagi." Ujar Budi kemudian.

"Ganti mahal kan?!" Tembak Andri.

"Tapi daripada bolak balik benerin. Kehitung sama aja sih." Budi memberi gambaran, perbandingan antara ganti spare part dan service.

"Iya juga ya?!" Andri manggut-manggut.

"Kalau saran saya sih mending coba diganti, biar fit lagi performanya."

"Ohh gitu?!" Budi mengangguk. "Boleh deh tapi bulan depan kayaknya. Bulan ini lagi boncos. Maklum abis tahun ajaran baru." Cengir Andri.

"Ohh iya."

Suami MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang