Bab 27. When I'm Realized

2 0 0
                                    

Dia seperti titik dari jauh, hampir tidak dikenali dari jarak 1 mil. Tetapi Aqsa tahu jika itu adalah Alina, Gadis itu terlihat sangat sibuk dilapangan, menata barisan anak-anak yang akan tampil pada pentas perayaan hari anak di Aula utama besok malam. buru-buru Ia mengalihkan pandangannya segera, membantu Ibu Dewi menata beberapa berkas yang tersisa diruang belajar yayasan yang berada dilantai 2 gedung itu.

Hari ini adalah sisa-sisa hari yang sibuk sebelum kegiatan menjadi relawan ini berakhir. Aqsa menarik nafasnya dalam kembali mengingat bagaimana diawal-awal Ia merasa begitu berat mendapat hukuman ini, tetapi pada akhirnya Ia menjadi cukup senang karena berkat hukuman ini Aqsa jadi menyadari satu hal, bahwa apa yang terjadi dikehidupannya sungguhlah masih mudah jika dbandingkan dengan anak-anak yang ada di yayasan ini.

Mereka yang masih terlalu dini untuk tidak mendapat kasih sayang orang tua. Tetapi sebagaimana hukum alam itu berlaku, apa yang memang digariskan Tuhan pada Manusia adalah apa yang terbaik untuk hidup Mereka. Manusia tidak bisa memilih akan lahir dengan keadaan seperti apa, tetapi Manusia bisa memilih mau menjalani hidup dengan cara apa. Menyerah atau bersyukur atas apa yang dimiliki saat ini.

Lengkungan kecil disudut mulut Pemuda itu terlihat ketika Ia memikirkan satu hal lagi. Jika saja waktu itu Ia menolak untuk pergi ke yayasan ini dan meminta hukuman yang lain pada Kakek Ia tidak akan mungkin bisa mengenal Alina lebih jauh, tidak sampai disitu mereka bahkan menjadi teman sekarang.

"Aqsa, Ibu pergi duluan ke kantor. Kamu bisa kan bawa sisa berkasnya ke kantor?" Bu Dewi yang sudah beres dengan pekerjaannya menunggu balasan Pemuda itu.

Aqsa tentu saja setuju, Ia kemudian melanjutkan kegiatannya setelah kepergian Bu Dewi. Beberapa menit kemudian, Pekerjaannya berakhir dengan satu berkas tersisa. Pemuda itu memutuskan untuk bersandar dikusen jendela yang menghadap kearah lapangan dimana anak-anak dan para relawan masih sibuk dengan kegiatan Mereka.

Hari itu, tepat setelah Ia mendapati keberadaan Alina dirumah sakit, Aqsa akhirnya menyadari satu hal, semua yang terjadi enam tahun lalu antara dirinya dan Alina, tidaklah lebih dari sebuah ingatan sepihak saja.

Aqsa sadar jika saat itu Alina bahkan tidak bisa melihat wajahnya, bahkan sampai kini Gadis itu mungkin tidak mengetahui apapun tentang dirinya dimasa lalu. Semua ini hanya ingatan yang terus Ia simpan di dalam memori jangka panjang otak-nya selama bertahun-tahun.

Sampai kemudian Alina kembali muncul dihadapannya dengan keadaan yang jauh berbeda. Dan sejak saat itu Aqsa bahkan tidak bisa memahami perasaannya sendiri. Ada gejolak aneh dalam dirinya, sebuah perasaan yang Ia tidak bisa sentuh.

"Bukankah itu, Nona Alina, Mas Aqsa?. Relawan yang ada di yayasan juga kan?"

"Apa tidak sebaiknya kita menawarkan tumpangan?"

"Tidak, Pak. Jangan! Aku tidak ingin membuat Alina merasa tidak nyaman. Kita ikuti saja sepedanya dibelakang. Perlahan dan jangan sampai Ia menyadarinya."

Hari itu, Ia bisa saja tidak langsung naik ke mobil, menunggu Alina dilobi rumah sakit dan menawarkannya tumpangan persis seperti apa yang Ia lakukan di Cafe BearsCrown selepas wawancara waktu itu. Tetapi kali ini, Ia memilih untuk tidak melakukannya.

Ia kemudian teringat sebuah pesan yang disampaikan Gurunya dikelas.

"Sebelum mengakhiri materi hari ini, Saya hanya ingin menyampaikan satu hal saja pada kalian semua. Di usia emas seperti saat ini, fokus saja untuk mencapai cita-cita kalian, banggakan orang tua dan jadilah Pemuda yang Shaleh dan Shalehah. Jika perasaan cinta itu datang, tentu saja itu tidak bisa dihindari dan berada diluar kontrol kita sebagai Manusia. Perasaan yang hadir itu adalah anugerah dari Allah SWT. namun, diusia saat ini perasaan itu bisa jadi hanya ujian. Maka belajarlah untuk menahan diri kalian dari hal-hal yang akan merugikan masa depan kalian sendiri."

Hal ini juga selaras dengan prinsip yang selalu kakeknya ajarkan padanya.

"Belajarlah yang benar. Jadi anak yang baik. Jangan pernah berurusan dengan perempuan jika belum saatnya. Itu hanya akan menghancurkanmu. Kakek tidak ingin kalian menjadi seperti Ayah kalian. Terlalu mudah dijebak wanita sampai rela melepaskan semuanya bahkan istri sah-nya hanya karena dibutakan cinta!"

Ketukan pintu tiba-tiba menganggunya, membuatnya mengerutkan kening dan menoleh kearah pintu kayu geser diujung ruangan.

"Mas Aqsa. Bu Dewi bertanya apa berkasnya sudah selesai? Katanya ada hal penting yang ingin beliau bicarakan" terdengar suara seseorang yang muncul dibalik pintu.

"Hal penting?"
Aqsa membalas dengan ramah pada Pria yang adalah tangan kanan Bu Dewi di yayasan ini.

"Kata Ibu, Tuan Abraham akan menghadiri pentas perayaan hari anak besok. Beliau membicarakannya dengan Bu Dewi melalui sambungan telpon beberapa menit yang lalu. Karena itulah Bu Dewi mencari Mas Aqsa"

"Kakek? Kakek akan ada disini besok?" Bagaimana bisa Kakeknya memutuskan hadir tanpa mengabarkannya terlebih dahulu. Ini bukanlah Kakek yang Ia kenal.

Tentu saja tanpa pikir panjang Ia bergegas meninggalkan ruangan itu, bersamaan dengan itu, mulai saat ini Ia bertekad untuk tidak melakukan apapun yang akan memaksa Alina untuk mengingat kejadian masa lalu itu. Kejadian itu biarlah menjadi kenangan yang tersimpan rapi di ingatannya. Tak masalah jika hanya Ia yang mengingatnya. Yang terpenting saat ini adalah, Ia bisa menjadi teman yang baik untuk Alina, itu saja. Tidak lebih dan tidak kurang.

~•○•~

"Alina apa yang kamu lakukan disini? Ayo cepat! Ini adalah gladi bersih terakhir sebelum anak-anak tampil besok. Jangan sampai kita membuang-buang waktu!" Kak Kina muncul dengan ekspresi penuh ke khawatiran saat menjemput Alina di tepi danau.

"Tenang saja Kak. Semua akan aman terkendali" Gadis itu tersenyum penuh keyakinan, sementara tangannya sibuk memasukkan ponselnya ke dalam saku rok-nya. Sudah menjadi kebiasaan bagi Alina jika mendapat telpon dari seseorang, Ia memilih untuk meninggalkan kerumunan dan menepi untuk mencari tempat sepi agar Ia bisa lebih leluasa mendengar suara penelepon.

"Telpon dari Mamamu ya?" Tembak Kak Kina tepat, setelah Ia melirik sekilas kearah ponsel disaku Alina.

Gadis itu mengangguk cepat. Sudah menjadi rutinitas setiap harinya ketika Ia berada jauh dari rumah. Mamanya selalu menelpon untuk memastikan keadaannya, dalam setiap kalimat yang Ia lontarkan Alina bisa merasakan betapa besar kasih sayang Mama pada dirinya. Dan karena itulah keinginan untuk tidak mengecewakan Mama terus tumbuh setiap waktu, semakin hari semakin kuat.

"Oh to be You, Alina! Aku iri padamu!"

Alina tertawa pelan, celetukan Kak Kina terkadang terdengar lucu ditelinga.

"Ya sudah, ayo kak! anak-anak sudah menunggu di aula" Alina hendak berjalan namun Kak Kina menarik lengan Gadis itu cepat.

"Ada apa kak? Bukannya tadi kakak bilang mau latihan?"

"Alinaa, apa semua baik-baik saja kemarin? Maksudku, Aku mendengar kamu pergi kerumah sakit setelah Bu Dewi memanggilmu ke kantornya."

"Semua baik-baik saja Kak. Alina ke rumah sakit karena ingin bertemu dengan suster yang pernah mengurus Alina saat kecil"

"Jadi dulu kau pernah tinggal didaerah sini saat kecil?" Kak Kina membelalak terkejut.

"Iya kak. Ibuku adalah orang asli daerah ini. Hanya saja Ia ada di kecamatan yang berbeda. Aku tumbuh disini sebelum pindah ke Ibu kota" Alina menjelaskan singkat.

"Baiklah, Aku jadi tahu sedikit latar belakangmu sekarang.

Kak Kina meraih tangan Alina, menggandengnya menuju ke Aula acara.

"Ayo!! Kita harus memastikan pentas Perayaan Hari Anak besok berjalan sukses. Karena Tuan Abraham akan hadir besok!"

To Be Continued...

The OddloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang