Chapter 3

18.6K 1.1K 16
                                    

Happy reading

   "Ini tanah yang abah bicarain tadi. Tanahnya nggak luas tapi pemandangannya memang cukup bagus. Menurut abah cocok buat bina rumah istirahat atau perkebunan." Peter dan Xavian melihat sekeliling. Indah seperti yang dibicarakan. Nggak sia-sia Xavian ikut jauh-jauh ke sini untuk melihat tanah yang katanya ingin dijual oleh Pak Harun.

    "Sebelumnya di sini dibuat apa ya?" tanya Peter.

    "Sebelum ini abah nanam sayur tapi nggak lagi, karna abah sudah nggak mampu mengurusnya."

    "Tuan? Gimana?"

    "Just do as we discussed before," jawap Xavian. Setelah ini, kawasan ini akan dibina sebuah rumah untuknya. Rumah singgah singkatnya.

    "Baiklah. Kami setuju untuk membeli tanah ini. Untuk urusan pemindahan nama dan urusan jual beli akan saya uruskan setelah ini."

    Abah tersenyum senang. "Terima kasih Mas Peter, Mas Xavian."

    "Sama-sama." Usai berbincang sedikit, ketiga-tiga lelaki itu pun berjalan kembali ke kediaman abah Harun. Rencanannya selepas ini Peter dan Xavian akan ke hotel ataupun penginapan terdekat untuk istirehat.

   Perjalanan ke kota dari desa ini mengambil masa yang cukup lama iaitu sekitar 7 hingga 8 jam. Untungnya jalan di sepanjang perjalanan mulus dan rapi, namun tetap saja pinggang mereka jadi pegal.

   "Mas Peter sama Mas Xavian mau mampir dulu ke rumah saya? Ini udah mau jam lima. Sebaiknya kita makan bersama dulu. Saya sudah minta isteri saya untuk siapin makanan untuk kalian," jemput Abah Harun.

   "Ngga-"

   "Boleh," jawap Xavian pantas. Peter dan Abah Harun saling berpandangan lalu tertawa.

    "Mari kalau begitu."

    Setibanya mereka di halaman rumah, mereka disajikan dengan pemandangan seorang anak kecil yang menangis kencang sambil menghentak-hentak kaki.

    "Adek, kita pulang dulu ya? Besok kita ke sini lagi."

   "Ndak mau! Bam mau cini dulu. Bam mau tunggu abah!"

   "Abah kan lagi jalan, adek." Tommy masih membujuk si anak mbul. "Adek nggak kasian sama buna di rumah? Buna nunggu adek loh."

   "Tommy, kamu pulang saja dulu. Nanti abah sendiri yang hantar Bam pulang," kata abah yang baru sampai di rumah. Abah menggendong tubuh cucu kesayangannya sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi si mbul. Kasian sekali cucunya ini.

   "Iya abah. Adek, abang pulang dulu ya."

   Bam nggak melihat abangnya sama sekali. Ia masih memeluk leher sang abah dengan erat. Mood si kecil karena ia baru sahaja bangun tidur. Gimana nggak, baru bangun langsung dipaksa pulang oleh abangnya. Dasar!

   "Biar saya saja," Xavian mengambil Bam dari gendongan abah Harun. Dipeluknya anak kecil itu dengan erat.

   "Anak kecil ini bukannya cucu abah? Pulang ke mana dia?" tanya Peter penasaran.

   "Bam bukan cucu kandung abah. Bam tinggal di panti asuhan di desa ini. Tapi Bam memang sering jalan ke sini, dan abah sama isteri memang sayang sama Bam."

   "Di sini ada panti asuhan?" tanya Peter lagi. Ia tidak menyangka desa kecil ini memiliki panti asuhan.

   "Ada. Mungkin karna desa ini jauh dari perkotaan, orang-orang pada berani buang anak kecil di sini. Saking banyaknya anak dibuang di sini sampai warga di sini buatin panti asuhan." Peter terdiam mendengar jawapan abah Harun. Malang sekali nasib anak-anak itu. Siapa yang nggak punya hati buang anak di desa ini, lagi-lagi anak seimut Bam.

BAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang