🚞

49 5 0
                                    

Yunho menghela napas panjang saat menatap pintu depan akademi yang megah di hadapannya.

Sebuah bangunan besar dengan dinding yang menjulang tinggi, jendela-jendela besar yang terbuat dari kaca, dan pintu kayu berukir yang berkilau di bawah sinar matahari pagi. Akademi ini adalah salah satu sekolah berprestasi terbaik di negara ini, tempat di mana mimpi-mimpi banyak orang dimulai. Bisa masuk ke sini adalah suatu kehormatan besar, sesuatu yang hanya bisa diimpikan oleh ribuan siswa di luar sana.

Namun, bagi Yunho, tempat ini lebih terasa seperti penjara daripada sebuah institusi pendidikan yang membanggakan. Setiap pagi, dia merasa dadanya semakin sesak saat mendekati pintu ini. Ada ketegangan yang menggantung di udara, perasaan campur aduk yang membuatnya ragu untuk melangkah masuk.

“Kenapa harus aku?” pikirnya sambil menggigit bibir bawahnya. Selalu ada rasa getir di mulutnya setiap kali dia mengingat alasan di balik perasaan gelisah ini. Di akademi yang seharusnya menjadi tempat ia mengejar mimpi, ia malah menjadi sasaran para pengganggu. Tidak ada yang tahu persis mengapa ia menjadi target. Mungkin karena dia terlihat terlalu pendiam, atau mungkin karena caranya selalu berusaha keras dalam segala hal, sesuatu yang tampaknya mengganggu beberapa siswa lain yang lebih suka bersantai.

Yunho menatap ke dalam akademi melalui celah pintu. Lobi utama tampak sepi, hanya ada beberapa siswa yang berjalan dengan langkah santai, berbicara satu sama lain dengan nada suara yang rendah. Dia tahu bahwa di balik ketenangan itu, ada bahaya yang mengintai. Di setiap sudut, di setiap koridor, mereka yang suka mempermainkannya selalu siap. Mereka selalu ada, menunggu kesempatan untuk membuat harinya lebih sulit.

Dia mengingat kembali hari-hari sebelumnya: buku-buku yang jatuh dari tangannya setelah sengaja ditabrak, ejekan-ejekan yang menyakitkan tentang penampilannya, cara bicara mereka yang sinis saat menyebut namanya dengan nada mengejek. Dia bahkan ingat saat-saat ketika mereka mengikutinya pulang, menunggu sampai dia sendirian sebelum mulai melontarkan kata-kata kasar dan mendorongnya ke dinding. Di antara semua ketakutan itu, ada perasaan marah yang perlahan tumbuh di dalam dirinya, perasaan bahwa ini semua tidak adil.

Yunho tahu dia harus melangkah masuk. Dia tidak bisa berdiri di sini selamanya, di pintu masuk, dengan pikiran yang berputar-putar dan perasaan yang campur aduk. Dia sudah terlambat beberapa kali dalam minggu ini karena terlalu lama berdiri di sini, mencoba menenangkan dirinya sebelum berhadapan dengan kenyataan di dalam sana.

Dengan napas yang dalam dan dorongan terakhir dari keberanian yang tersisa, Yunho mendorong pintu dan melangkah masuk. Udara dingin dari dalam gedung langsung menyergapnya, membawa serta bau buku, kayu tua, dan sedikit aroma pel yang baru saja digunakan. Dia mengangkat kepalanya, berusaha untuk terlihat lebih kuat daripada yang dia rasakan.

Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus begini. Suatu hari nanti, dia harus menghadapi mereka, orang-orang yang membuatnya merasa kecil di tempat yang seharusnya membuatnya tumbuh. Tetapi untuk hari ini, dia hanya ingin bisa melewati hari tanpa insiden apa pun. Dia hanya ingin merasa seperti siswa lain, bukan seseorang yang selalu dikhianati oleh perasaan takut yang menghantuinya setiap saat.

“Bertahan, Yunho,” bisiknya kepada dirinya sendiri. “Hanya untuk hari ini.” Dan dengan langkah yang lebih mantap, dia berjalan menuju ruang kelas, berharap hari ini akan berbeda dari kemarin.

Yunho melangkah masuk ke dalam akademi dengan langkah yang lebih tegas, mencoba menepis kegelisahan yang masih menggelayuti pikirannya. Lorong-lorong mulai ramai dengan siswa lain yang juga menuju ke kelas masing-masing. Beberapa wajah terlihat akrab, tapi hanya sekilas karena Yunho jarang berinteraksi dengan mereka. Baginya, semua ini adalah rutinitas yang harus dilalui, hari demi hari, meski tak pernah mudah.

Saat ia berbelok di ujung koridor, langkahnya terhenti. Di sana, berdiri sekelompok siswa yang sudah sangat ia kenal. Bukan karena mereka teman atau sekadar kenalan, melainkan karena mereka adalah alasan utama mengapa setiap pagi terasa berat baginya. Mereka berdiri berkelompok, tertawa dengan keras dan melirik ke arahnya. Salah satu dari mereka, Seonghwa, yang tampaknya adalah pemimpin kelompok itu, mengangkat alisnya dan menyeringai saat mata mereka bertemu.

“Hai, Yunho,” panggilnya dengan nada mengejek. “Kamu tidak terlambat hari ini? Hebat!”

Yunho tidak menjawab. Dia tahu bahwa membalas hanya akan memperburuk keadaan. Jadi, dia menundukkan kepalanya dan berusaha berjalan melewati mereka dengan cepat. Tapi sebelum dia bisa melewati mereka, salah satu dari mereka menghalangi jalannya, berdiri tepat di depan Yunho dengan senyum yang tidak menyenangkan.

“Kenapa terburu-buru? Kita belum sempat menyapa,” katanya dengan nada sinis.

Yunho merasa tubuhnya menegang. Dia bisa merasakan pandangan siswa-siswa lain yang mulai tertuju pada mereka, tapi tidak ada yang bergerak untuk membantunya. Sebagian besar siswa di sini sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini. Yunho hanya perlu tetap tenang, dia tahu itu, tapi detak jantungnya semakin cepat, dan napasnya terasa berat.

Dia mencoba melangkah ke samping untuk melewati siswa di depannya, tetapi Jongho datang dari samping, menabrak bahunya dengan sengaja. Buku-buku di tangan Yunho terjatuh, bertebaran di lantai.

“Oh, lihat, dia menjatuhkan bukunya. Betapa ceroboh,” kata Jongho dengan tawa mengejek.

Yunho menahan napas, mencoba mengendalikan amarah yang mulai mendidih di dalam dirinya. Tapi saat dia berjongkok untuk mengambil bukunya, San menendang salah satu bukunya lebih jauh.

“Ups, maaf, aku tidak sengaja,” kata San dengan nada berpura-pura menyesal.

Di tengah rasa malu dan marah yang meluap-luap, Yunho tiba-tiba merasakan seseorang berdiri di belakangnya. Sebelum dia bisa menoleh, suara yang berbeda terdengar—suara yang lebih tenang dan serius.

“Sudah cukup.”

Yunho menoleh dan melihat seorang siswa lain berdiri di belakangnya, wajahnya tegas dan penuh tekad. Dia adalah seorang siswa baru yang belum lama ini pindah ke akademi. Yunho tidak mengenalnya, tapi senang ada seseorang yang akhirnya berdiri di pihaknya.

Para pengganggu itu tampaknya terkejut oleh kehadiran siswa baru ini. Wooyoung menyipitkan mata. “Dan kamu siapa? Pahlawan baru di sekolah ini?”

Siswa baru itu tidak terintimidasi. “Aku hanya benci melihat orang lain diperlakukan dengan tidak adil. Jika kalian punya masalah dengannya, hadapi dia secara dewasa. Kalau tidak, sebaiknya kalian pergi.”

Ada keheningan singkat yang terasa berat. Para pengganggu itu tampak ragu, lalu setelah beberapa detik, mereka mengangkat tangan dan mundur sambil bergumam tidak jelas.

“Baiklah, baiklah, tidak perlu marah,” kata Yeosang, sebelum mereka semua pergi, meninggalkan Yunho sendirian dengan siswa baru itu.

Yunho berdiri, masih sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. “Terima kasih,” katanya pelan, tidak tahu apa lagi yang bisa dikatakan.

Siswa baru itu tersenyum kecil. “Sama-sama. Namaku Mingi, omong-omong. Jika kau butuh bantuan, jangan ragu untuk mencariku.”

Yunho mengangguk, masih merasakan detak jantungnya yang cepat. “Aku Yunho. Terima kasih sekali lagi, Mingi.”

Mingi hanya mengangguk sekali lagi sebelum berbalik dan berjalan pergi. Yunho menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit lega meski tahu bahwa ini mungkin bukan akhir dari masalahnya. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasakan sedikit harapan.

Mungkin, hanya mungkin, hari ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik.

Buxom Episode • All × YunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang