Yunho merapatkan jaket pelindungnya dalam kabut kelam yang menggantung di atas Stasiun Antariksa Endeavor-8.
Stasiun itu tidak pernah terasa sesunyi ini sebelumnya. Semua kru lainnya sudah lama dievakuasi, hanya menyisakan dirinya dan Jongho untuk menjalankan misi terakhir: menemukan sumber sinyal misterius yang memancarkan bunyi seperti drum—bunyi yang menggema dengan irama menyerupai detak jantung manusia."Dengar, Yunho," suara Jongho terdengar melalui sambungan komunikator. Tenang, tetapi ada ketegasan di sana. "Kita harus bergerak cepat. Oksigen kita tidak akan bertahan lebih dari empat jam."
Yunho menelan ludah, menatap layar monitornya yang terus memancarkan grafik detak ritmis itu. "Aku tahu. Tapi sinyal ini... terasa semakin kuat. Rasanya seperti—seperti sesuatu sedang memanggil kita."
Jongho muncul dari lorong gelap di belakangnya, mengenakan baju luar angkasa yang sama, namun dengan helm yang sudah terpasang rapi. "Itu justru yang membuatku khawatir. Apapun yang memancarkan sinyal ini, jelas bukan berasal dari kru kita."
Yunho memutar kursinya, menatap Jongho yang berdiri tegap. Ada sesuatu tentang pria itu—auranya yang tegas, caranya selalu menghadapi situasi dengan tenang—yang selalu membuat Yunho merasa sedikit lebih aman, meskipun di tengah situasi penuh teror seperti ini.
"Kau yakin ini bukan jebakan?" tanya Yunho, suaranya bergetar pelan.
Jongho menghela napas, lalu menepuk bahu Yunho dengan tangan bersarungnya. "Aku tidak tahu. Tapi kita tidak punya pilihan. Jika sinyal ini terus memancarkan energi sebesar ini, stasiun ini bisa meledak kapan saja."
Lorong-lorong sempit di stasiun itu dipenuhi kabel yang menjuntai, lampu-lampu yang berkedip tak menentu, dan udara yang terasa terlalu dingin untuk ruang tertutup. Bunyi drum itu semakin keras saat mereka mendekati inti stasiun, bergetar di dinding logam seperti jantung yang berdetak penuh amarah.
"Frekuensinya meningkat," kata Yunho sambil memeriksa alat pemindai di tangannya. "Seperti... sesuatu yang hidup."
Jongho melirik ke arahnya. "Hidup?"
Yunho mengangguk, mencoba menelan rasa takut yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. "Ya. Irama ini terlalu... sempurna. Terlalu manusiawi."
Jongho tidak menjawab, hanya mempercepat langkahnya. Yunho mengikuti di belakangnya, merasa bahwa keheningan Jongho lebih menakutkan daripada bunyi drum itu sendiri.
Saat mereka sampai di pintu terakhir yang mengarah ke ruang inti, Yunho merasa detak drum itu begitu keras hingga seolah-olah berasal dari dadanya sendiri. Ia menatap pintu logam besar itu dengan ngeri.
"Jongho, aku punya firasat buruk tentang ini," bisiknya.
Jongho berbalik, matanya yang tajam menatap Yunho dari balik helm. "Aku juga. Tapi kita sudah sampai sejauh ini."
Pintu itu terbuka perlahan, mengungkapkan ruang inti yang dipenuhi cahaya merah berdenyut. Di tengah ruangan, sebuah benda bulat besar yang bertekstur seperti daging berdetak dengan ritme yang sempurna. Itu bukan mesin—bukan sesuatu yang diciptakan manusia. Itu... makhluk hidup.
"Astaga," Yunho berbisik, langkahnya mundur secara refleks. "Apa itu?"
Jongho maju lebih dekat, senjata plasma di tangannya terangkat waspada. "Entahlah. Tapi aku yakin ini yang memancarkan sinyal itu."
Saat mereka mendekat, "drum" itu mulai berubah. Cahaya merahnya memudar, digantikan oleh bayangan-bayangan yang merayap di dinding seperti tangan-tangan yang mencoba meraih mereka. Yunho mencengkeram lengan Jongho, jantungnya berdegup kencang.
"Kita harus pergi. Sekarang," kata Yunho dengan suara gemetar.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, sebuah suara menggema di ruangan itu—suara rendah, seperti bisikan yang bercampur dengan tawa.
"Kalian datang... akhirnya."
Yunho merasa darahnya membeku. "Apa itu... suara makhluk ini?"
Jongho menatap makhluk itu dengan tatapan tajam. "Apa kau bisa bicara?"
"Bukan bicara... aku mendengar detak kalian. Jantung kalian. Aku hanya... memantulkan kembali apa yang kalian berikan padaku."
Cahaya merah kembali berkedip, semakin cepat. Yunho merasa seperti akan pingsan. "Jongho, kita harus pergi sekarang! Ini jelas bukan sesuatu yang bisa kita hadapi!"
Namun, sebelum mereka bisa berbalik, bayangan di dinding menyerang, mencengkeram kaki Yunho dan menjatuhkannya ke lantai. Ia berteriak, mencoba melepaskan diri, tetapi bayangan itu terlalu kuat.
"YUNHO!" Jongho berlari ke arahnya, menembakkan senjata plasma ke bayangan itu. Namun, setiap kali ia menghancurkan satu bayangan, yang lain muncul menggantikannya.
Yunho meronta, merasakan dinginnya bayangan itu menjalar ke kulitnya. "Jongho! Aku tidak bisa... aku tidak bisa bergerak!"
Jongho menembak lagi, lalu melemparkan senjatanya ke samping. Dengan gerakan cepat, ia menarik Yunho ke pelukannya, memegangi pria itu erat-erat.
"Jangan takut," bisiknya, suaranya tegas meskipun situasinya mengerikan. "Aku tidak akan membiarkan apapun mengambilmu."
Tiba-tiba, bunyi drum itu berhenti. Bayangan-bayangan itu lenyap, seolah-olah makhluk itu terkejut oleh sesuatu. Yunho menatap ke arah makhluk itu, menyadari bahwa detaknya melemah.
"Apa ini...?" suara makhluk itu terdengar bingung. "Ikatan kalian... terlalu kuat."
Yunho menoleh ke Jongho, masih terengah-engah. "Apa yang terjadi?"
Jongho menatap makhluk itu dengan tatapan penuh kebencian. "Kau mencoba menyerang hati kami. Tapi kau tidak tahu—detak jantung kami sudah selaras."
Makhluk itu mengeluarkan suara seperti raungan terakhir sebelum tubuhnya mulai meleleh. Cahaya merah yang memenuhi ruangan itu lenyap, digantikan oleh kegelapan total.
Ketika mereka akhirnya berhasil kembali ke kapal penyelamat, Yunho masih merasa tubuhnya gemetar. Ia menatap Jongho, yang duduk di seberangnya, tampak lebih tenang dari sebelumnya.
"Terima kasih," kata Yunho pelan. "Kalau kau tidak ada di sana... aku mungkin sudah..."
Jongho mengangkat tangannya, menghentikan Yunho berbicara. "Kau tidak perlu berterima kasih. Aku sudah bilang, aku tidak akan membiarkan apapun mengambilmu."
Yunho tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih pucat. "Jongho... apakah itu tadi benar? Bahwa detak jantung kita selaras?"
Jongho menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku rasa, sejak pertama kali kita bertemu, detak jantungku selalu mengikuti iramamu."
Kata-kata itu membuat wajah Yunho memerah. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan senyumnya.
Meskipun misi itu adalah salah satu pengalaman paling menakutkan dalam hidupnya, Yunho merasa bahwa ia telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar jawaban atas sinyal misterius itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buxom Episode • All × Yunho
Fiksi Penggemarbottom!Yunho / Yunho centric ©2021, yongoroku456