🚋

60 5 0
                                    

Mingi mengusap belakang lehernya saat ia mendorong pintu depan terbuka. 

Hari yang panjang di tempat kerja membuatnya lelah, dan malam ini, ia sangat membutuhkan waktu untuk beristirahat. Ia menghela napas dalam-dalam, melepaskan sebagian beban yang menekan pundaknya. Ruangan apartemen terasa sepi, hanya terdengar dengung samar dari kulkas tua di dapur.

Namun, ada sesuatu yang lebih dari kelelahan yang membebani langkahnya. Ada kebutuhan yang lebih mendalam, sesuatu yang menuntut untuk dilepaskan. Dengan langkah berat, Mingi melewati ruang tamu dan menuju ke kamarnya. Di sana, Yunho sudah menunggunya.

Yunho duduk di tepi ranjang, tangan terlipat di pangkuannya. Tatapannya tenang, tapi ada kegelisahan tersembunyi di dalam matanya. Mingi bisa merasakannya, ketegangan yang menggantung di udara seperti petir yang menunggu untuk menyambar.

“Bagaimana harimu?” Yunho bertanya dengan suara lembut, hampir berbisik, seolah-olah takut kata-katanya akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.

Mingi tidak menjawab. Ia hanya menatap Yunho dengan intensitas yang membuat laki-laki itu merasa terpojok, terjebak dalam perangkap keinginan yang tak terucapkan. Ia melangkah maju, menghapus jarak di antara mereka dalam beberapa detik.

“Yunho…” Mingi akhirnya berkata, suaranya rendah dan penuh dengan sesuatu yang Yunho tidak bisa kenali — atau mungkin tidak ingin dikenali.

Yunho mencoba untuk menjawab, namun kata-katanya terhenti ketika Mingi mencengkeram lengannya, menariknya berdiri dengan keras. Ada sesuatu dalam sentuhan Mingi yang membuat jantung Yunho berdetak lebih cepat, campuran antara ketakutan dan harapan yang membuatnya bingung.

Tanpa peringatan, Mingi mendorong Yunho ke dinding. Punggung Yunho terbentur keras, tapi ia tidak punya waktu untuk merasakan sakit karena Mingi sudah menundukkan kepalanya, mencium lehernya dengan kasar. Ada rasa lapar di sana, kebutuhan yang mengoyak, dan Yunho bisa merasakannya menular ke dalam tubuhnya sendiri.

“Mingi, tunggu…” Yunho berusaha untuk berbicara, mencoba menenangkan situasi, tapi Mingi tidak mendengarkan. Tangannya mencengkeram pinggang Yunho dengan kuat, jari-jarinya masuk ke dalam kulit seolah-olah ia takut Yunho akan menghilang jika ia tidak menggenggamnya dengan cukup erat.

Yunho tahu bahwa ini bukan tentang cinta atau kelembutan; ini adalah sesuatu yang lebih gelap, lebih kasar. Ada sesuatu yang pecah di dalam diri Mingi hari ini, dan Yunho adalah satu-satunya yang bisa menyatukannya kembali, meski dengan cara yang menyakitkan.

Mingi mendorong tubuhnya lebih dekat, napasnya terasa panas di kulit Yunho. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, hanya suara napas yang cepat dan mendesah. Yunho bisa merasakan seluruh tubuhnya gemetar di bawah sentuhan Mingi, dan ia tahu apa yang akan terjadi, meskipun bagian dari dirinya berteriak untuk melarikan diri.

Namun, Yunho tetap di tempatnya, menyerah pada apa yang akan datang. Mingi bergerak dengan brutal, mencium Yunho dengan kekuatan yang hampir menyakitkan, seolah-olah ia mencoba menyalurkan semua frustrasi dan kemarahannya melalui kontak fisik ini.

Ada sesuatu yang liar dalam cara Mingi mencengkeram tubuh Yunho, tangannya bergerak kasar di atas kulit yang mulai memerah. Yunho menutup matanya, mencoba mempersiapkan dirinya untuk apa yang akan datang. Tapi tidak ada yang bisa benar-benar mempersiapkan untuk intensitas ini, untuk kebutuhan yang begitu mendesak, begitu tak terkendali.

Mingi tidak menunggu lebih lama. Ia mengangkat tubuh Yunho dan membantingnya ke tempat tidur, dan sebelum Yunho bisa mengatur napasnya, Mingi sudah ada di atasnya, mengunci pergelangan tangan Yunho di atas kepala dengan satu tangan sementara tangan lainnya merobek pakaian Yunho dengan keganasan yang mengejutkan.

“Mingi, tolong…” suara Yunho terdengar tercekik, setengah memohon, setengah pasrah. Tapi Mingi tidak berhenti. Ia bergerak seperti seseorang yang kesetanan, seluruh tubuhnya menegang saat ia mendorong lebih keras, lebih dalam, mencari sesuatu yang mungkin tidak pernah bisa ia temukan.

Rasa sakit dan kenikmatan bercampur menjadi satu, membuat Yunho kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Napasnya berubah menjadi desahan dan jeritan saat Mingi melanjutkan, setiap dorongan membawa mereka lebih dekat ke tepi jurang.

Saat akhirnya semuanya selesai, Mingi terjatuh ke samping Yunho, napasnya berat dan tidak teratur. Ada keheningan yang aneh di ruangan itu, hanya terputus oleh suara napas mereka yang berat. Yunho bisa merasakan air mata mengalir di pipinya, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada yang bisa dikatakan.

Mingi menatap langit-langit, matanya kosong. "Maaf," katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.

Yunho tidak menjawab. Ia tahu Mingi tidak bermaksud melukainya, tidak sungguh-sungguh. Tapi ada sesuatu yang telah berubah di antara mereka malam ini, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa diperbaiki. Yunho hanya bisa berbaring di sana, merasakan kehangatan tubuh Mingi di sampingnya, mencoba memahami perasaan yang bergejolak di dalam dadanya.

Di malam yang sepi itu, hanya ada dua jiwa yang terluka, mencari cara untuk sembuh dari luka yang baru saja mereka buat.

Buxom Episode • All × YunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang