"Pulang duluan aja, deh."
Alis bertaut, kalimat Yoongi agaknya terdengar asing di telinga.
"Kenapa?"
"Aku tadi diminta Pak Lee buat bantu beresin perpustakaan, jadi aku ketinggalan kelas bahasa Jerman," Yoongi menjeda, menoleh ke dalam kelas untuk menunjuk mejanya yang masih tampak berserakan. "Tuh, aku lagi salin catetan dulu."
Jimin berdecak kecil. Menyibak surainya ke belakang, mempertontonkan keningnya yang tegas lagi menawan.
"Kalau gitu, aku tungguin aja."
"Nggak usah, nggak apa-apa," Yoongi menolak lagi. "Nanti sore ada latihan bola, kan? Udah, kamu langsung pulang aja."
"Kamu bakal lama emangnya?"
Jimin mulai resah. Entah apa sebabnya. Tapi yang jelas, sahabatnya itu tidak pernah menolak ajakan pulang bersama sebelumnya.
"Mungkin? Materinya banyak."
"Yaudah, aku skip latihan dulu aja. Nggak apa-apa."
"Jangan, Jimin."
"Emang kenapa, sih?"
Jimin mulai tak sabar. Maniknya bergulir untuk menangkap objek lain yang ada di dalam kelas sana. "Itu tas siapa? Kamu ditemenin siapa?"
Yoongi tidak lantas menjawab. Remaja dengan tubuh mungil itu menghela nafas singkat sebelum melempar pandangnya ke arah gerbang sekolah.
"Jungkook. Dia lagi beli minum ke luar."
Jimin mengernyit, kentara sekali keengganan tergambar di wajahnya saat nama Jungkook disebut.
"Kamu pacaran sama dia?"
Alis Yoongi menukik tajam. Reaksi keterkejutan akibat pertanyaan Jimin yang terlampau tidak masuk akal.
"Nggak."
"Terus?"
"Ya, terus apa? Jungkook yang pinjemin aku catetannya," jawab Yoongi, sedikit menggebu karena kesal. "Jungkook bilang dia mau anter aku pulang sekalian karena dia juga harus piket hari ini."
"Oh."
Singkat, padat, menyesakkan.
Jimin berbalik, melangkah meninggalkan Yoongi begitu saja.
"Jimin! Kenapa gitu aja marah, sih?"
Seruan Yoongi tidak didengar. Sengaja. Jimin masih melangkah santai menuju halaman depan sekolah yang sudah kehilangan hiruk pikuknya sejak beberapa menit lalu.
"Jimin!"
Yoongi berlari, mengejar sahabatnya. Sudah paham, jika diam begitu berarti Jimin marah. Tetapi sayangnya, Yoongi tidak benar-benar tau apa yang membuat si Park itu marah.
"Jimin, ih."
Yoongi menghadang, merentang kedua tangannya lebar-lebar. Jimin menatap malas, membiarkan surainya teracak halus karena angin.
"Kamu marah?"
"Nggak. Minggir, aku mau pulang."
"Jimin, aku minta maaf."
Yoongi masih berusaha menghalangi langkah, memaksa Jimin untuk terus menaruh atensi padanya. Tidak benar-benar di tengah halaman, namun tetap saja pemandangan itu mencuri perhatian beberapa orang yang lewat.
"Jimin!"
"Apalagi? Udah sana, katanya mau salin catetan?" Jimin berujar malas, menaruh kedua lengannya dalam saku celana. "Oh, sengaja lama-lama? Biar bisa lama juga berduaan sama Jungkook?"
"Jimin, kamu ngomong apa, sih? Aku nggak ada niat kayak gitu."
"Iya, terserah."
Jimin kembali melangkah, namun kali ini Yoongi tidak lagi mencegah. Remaja berperawakan mungil dengan kulit putih kemerahan itu justru berdiam diri dengan kedua tangan terkepal lucu.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Yoongi berbalik, ekspresi wajahnya terlihat begitu kesal menyorot pada punggung Jimin yang menjauh.
"Kalau cemburu bilang, Jimin! Jangan jadi pengecut begitu!"
Seruannya cukup lantang, hingga tidak mungkin Jimin tidak mendengar. Tentu. Karena langkah Jimin segera terhenti setelahnya.
Rasanya seakan dunia terjeda untuk sesaat, karena hening itu menyelimuti keduanya cukup dalam. Yoongi menggembungkan pipi, menahan rasa kesalnya pada Jimin yang tidak bisa diungkapkan begitu saja dengan mudah.
Hingga kemudian Jimin berbalik. Menatap lurus pada pasang iris hazel milik Yoongi yang sedang balas menatapnya pula.
"Iya, aku cemburu."
Memang, kalimat itu sudah Yoongi harapkan sebelumnya. Tetapi tetap saja, efeknya tidak begitu bagus untuk degup jantung yang menjadi pusat segala reaksi.
Yoongi melarikan pupilnya ke segala arah, tidak yakin harus menatap kemana. Yang jelas, yang Yoongi tau, tiba-tiba saja dia kehilangan keberanian untuk kembali menatap Jimin.
"Aku mau kamu pulang cuma sama aku," kata Jimin tenang. "Aku mau, kemanapun kamu pergi, cuma aku yang boleh anter dan temenin."
Jimin menghela nafas singkat, mengubah tatapnya menjadi begitu teduh dan hangat. Oh, tapi sayang. Yoongi masih belum berani menatap yang demikian manisnya.
"Yoongi," Jimin berujar lagi. Kali ini nadanya jauh lebih lembut dan dalam, "Aku mau, cuma aku aja yang jagain kamu. Aku udah lakuin itu dari kita kecil, dan aku sangat-sangat berharap bisa jadi yang jagain kamu terus seumur hidupku. Boleh?"
Tentu saja, Yoongi tidak dapat langsung menjawab rentetan kalimat berkadar gula tinggi itu.
Karena di belakang sana, Yoongi menangkap eksistensi seorang Jungkook yang sedang menyandar sebagian tubuhnya pada batang pohon, seraya menggenggam dua kaleng soda pada masing-masing tangannya.
Jungkook terkekeh, tampaknya dia telah mendengarkan semua dengan seksama.
"Saingan lagi kita, Kak?" ujarnya pada Jimin.
