;sebenernya dua draft sebelumnya itu nggak ada lanjutannya. tapi karna demand untuk buat next chapter kayaknya agak tinggi, jadi aku berusaha buat nulis kelanjutannya.
so, here it is.
happy reading!
—
"Yang terakhir."
Pengacara berwajah pongah itu berdiri dari tempatnya, berjalan memutar meja untuk menunjuk monitor yang menampilkan foto-foto barang bukti.
"Terdakwa dituntut dengan alasan hanya DNAnya yang dapat ditemukan pada jasad korban," ujarnya pada hakim. "Yang mulia, ini sedikit tidak masuk akal. Terdakwa adalah suami korban, bukan hal mengejutkan jika mereka berciuman."
"Terlebih, kita tidak dapat mengetahui dengan pasti kapan terakhir mereka melakukannya. Penemuan DNA terdakwa pada saliva korban tidak menjamin bila terdakwa adalah orang terakhir yang bertemu dengan korban."
Hakim mengangguk kecil pada kalimat sang pengacara pembela. Pria paruh baya itu berujar pelan, "alasan diterima. Jaksa penuntut, adakah sanggahan?"
"Bagaimana dengan bukti sarung tangan itu?"
Jaksa penuntut ikut berdiri, menatap monitor yang berubah menampilkan foto sarung tangan dengan bekas terbakar di sisi dalam.
"Suhu ekstrim dry ice akan menimbulkan bekas seperti terbakar jika dipegang menggunakan sarung tangan kulit," ucap jaksa tersebut.
"Yang mulia. Terdakwa memang gemar mengoleksi sarung tangan kulit," kata pengacara pembela. "Semua koleksi sarung tangan itu memang disimpan di ruang kantornya. Dan tentu saja, Yang Mulia, jika kita memeriksa semua sarung tangan itu satu persatu hanya akan ditemukan DNA terdakwa."
"Tetapi bukan berarti hal tersebut menjadi bukti kuat bahwa terdakwa pelakunya," lanjutnya tanpa ragu. "Bukan tidak mungkin pelaku yang sebenarnya memanipulasi hal ini untuk menjebak terdakwa, Yang Mulia."
"Cih. Memanipulasi bagaimana lagi? Itu sudah jelas!"
"Jaksa penuntut, kau seharusnya tau jika pelaku bisa saja memakai sarung tangan dalam sarung tangan untuk mengelabuhi jejak DNA."
Jaksa penuntut mendengus remeh, "sarung tangan dalam sarung tangan? Yang benar saja!"
"Handscoon, atau sarung tangan karet sekali pakai," ucap sang pengacara menjelaskan. "Bahannya cukup tipis untuk dipakai dalam sarung tangan kulit. Dan sarung tangan ini dapat menghalau DNA asli pelaku."
Yoongi, yang duduk sebagai tim penuntut, seketika menoleh pada Jimin yang duduk tenang di kursi terdakwa. Pria Park itu rupanya tengah menatap padanya, dengan sunggingan senyum tipis yang tampak begitu angkuh.
Yoongi mendengus pelan. Dia tau ini tidak akan berhasil. Menuntut seorang Park Jimin sama saja dengan menggali kuburan sendiri. Akan ada banyak pionirnya yang pandai berkelit dan memutar balikkan persidangan.
Dia benar-benar tak tersentuh.
"Karna tidak ada sanggahan lagi dari pihak penuntut, sidang kami skors sampai bukti baru kembali ditemukan."
Ketukan palu sang hakim menjadi tanda persidangan hari itu berakhir. Satu persatu orang meninggalkan ruang sidang, pun begitu dengan Jimin dan sang pengacara. Pria dengan surai perak itu sempat mengedip sebelah matanya pada Yoongi, seakan-akan dia tidak pernah menganggap sidang ini adalah hal yang serius.
Kang Daniel, sebagai jaksa penuntut pada kasus tersebut, mendengus jengkel dengan gelengan.
"Letnan Choi benar, Kak. Kita seperti bunuh diri."
