Dagu ditopang dengan satu tangan, sedang menyamankan diri untuk melanjutkan kegiatannya. Sudut-sudut bibir itu ditarik halus, membentuk ulasan senyum menawan yang melelehkan hati."Ini, makanlah."
Sosok yang diperhatikannya sejak tadi, telah berbalik sembari menyodorkan sepiring nasi telur. Raut wajah manis itu ditekuk tak ramah, namun tidak sampai melunturkan kemolekannya barang sedikit.
"Terima kasih."
Jimin menarik seporsi makan siang sederhana itu ke hadapan. Menyendok satu suapan penuh, sebelum mengunyahnya dengan semangat. Nikmat tentu. Apalagi dibuat hanya untuknya.
"Kau tidak makan?"
"Sudah, dengan Hoseok tadi."
"Pacarmu itu ya, Yoon?"
Tidak ada jawaban, tapi cara Min Yoongi menatap Jimin telah cukup mengkonfirmasi kebenarannya.
"Kapan putus?"
Yoongi memicing. Kentara sekali tidak suka dengan lontaran pertanyaan yang demikian. Apalagi Jimin menanyakannya dengan nada yang teramat santai. Tidak merasa berdosa.
"Selain tampan, apalagi lebihnya pacarmu itu?"
"Banyak. Yang jelas, Hoseok tidak menyebalkan sepertimu."
Jimin terkekeh diantara kunyahannya. Menelan buru-buru untuk segera menyahut, "memang kapan aku pernah bersikap menyebalkan?"
"Sekarang ini. Dua menit lalu, satu jam lalu, kemarin, dan terus seperti itu."
Kali ini pemuda Park itu terbahak kencang. Kontradiktif dengan ekspresi Yoongi yang datar dan tak menaruh minat.
"Putuskan saja pacarmu itu. Kau tau, aku jauh lebih baik darinya."
Yoongi merotasi bola mata. Jengah. Park Jimin itu seperti tidak punya batas kepercayaan diri. Dan itulah yang membuatnya menyebalkan di mata Min Yoongi.
"Sudah kukatakan berulang kali, kita ini tidak bisa menjalin hubungan, Jimin."
Jimin terdiam sejenak. Pikirannya berkelana jauh dan dalam. Makanan di hadapan bahkan diabai untuk sementara waktu. Kalimat Yoongi barusan jelas memiliki makna tersendiri yang perlu dia resapi.
"Kalau kesempatan itu ada," Jimin berucap lambat-lambat, "apa kau mau berpacaran denganku?"
Yoongi mendengus.
"Kau mengajakku berangan-angan? Tidak. Aku tidak berminat."
"Jawab saja!"
Jimin menjadi gusar sendiri. Itu tergambar jelas di raut wajahnya.
Lalu kemudian Yoongi yang ganti berdiam diri. Netranya saling bertatapan dengan milik Jimin dalam hening yang canggung. Tanpa perlu dijelaskan, terlihat sekali pikiran masing-masing sedang berkecamuk tanpa arah.
"Tentu."
Yoongi memecah hening. Mengangguk kecil tanpa memutus tatapannya pada Jimin.
"Meski menyebalkan, kau tetap pria tampan yang memiliki tubuh sempurna."
"Sial."
Jimin terkekeh serak. Piringnya digeser untuk berganti meraih segelas air yang tiba-tiba saja dibutuhkannya untuk mengeringkan kerongkongan. Entahlah. Suasana mendadak terasa panas.
"Jadi kau hanya menaruh perhatian pada tubuhku?"
Yoongi menaikkan bahu tak peduli. "Memang kau tidak?" sanggahnya tenang, "aku akan berpura-pura tidak tau jika selama ini kau terus memelototi bokongku."
"Bangsat."
Bukannya merasa malu karena tertangkap basah, Jimin justru tertawa. Lagipula, sepertinya Yoongipun tidak menunjukkan reaksi keberatan sama sekali.
"Ada waktu dua jam sebelum mama papa pulang," ujar Jimin, mengangkat lengannya untuk mengecek arloji.
"Lalu?"
"Yakin tidak ingin coba seks denganku?"
Yoongi mengumpat dalam hati. Tapi tatapan liar yang dilayangkan Jimin untuknya benar-benar terlihat seksi. Sial. Sial. Kali ini Yoongi akan menyerah pada kewarasan. Adik tirinya itu bukan hanya sekali dua kali bersikap seperti ini.
"Asal kau tidak memaksaku untuk berlutut dan mengulum penismu."
Oh. Jimin tersenyum.
"Sayang," ucapnya lembut, "aku tidak perlu memaksamu untuk itu. Aku bertaruh, kau akan melakukannya sendiri dengan senang hati nanti."
