Yoongi selalu mengatakan bahwa dia termasuk salah satu orang yang paling beruntung di dunia ini. Pasalnya, harus diakui bahwa Yoongi memiliki hidup yang begitu sempurna. Keluarga yang menyayanginya, finansial yang selalu stabil, bahkan kini ia menikah dengan seseorang yang telah lama menjadi sahabat baiknya.
Mungkin, untuk sebagian orang, menjalani kisah cinta dengan sahabat sendiri adalah sebuah tantangan yang berat. Resiko perubahan perasaan itu cukup besar, mengingat hal tersebut tumbuh akibat zona nyaman.
Namun bagi Yoongi, harapan positif sama besarnya dengan resiko. Maka, dia memilih untuk mempertahankan itu. Lagipula Yoongi percaya, bahwa Jimin— sahabatnya sedari kecil —mampu memberikan kisah manis yang sama.
Jimin adalah sosok yang sempurna baginya.
Pria tampan itu memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk melengkapi segala kekurangan yang ada pada diri Yoongi. Dan sebaliknya, apa yang menjadi kekurangannya, dapat dengan mudah tertutup oleh kelebihan milik Yoongi.
Jika boleh Yoongi mendeskripsikan, Jimin itu...
;
Soft spoken.
.
Yoongi memang sedikit perfeksionis. Namun dalam proses menyelesaikan tesisnya, dia bertemu dengan dosen pembimbing yang lebih perfeksionis.
Beberapa kali proposalnya direvisi, bahkan untuk detail tata tulis yang remeh sekalipun. Satu bulan berlalu, tidak menjadi masalah bagi Yoongi. Namun ketika hal tersebut tidak ada kemajuan berarti pada bulan kedua, Yoongi mulai gusar.
"Sayang, ya Tuhan. Kenapa, sayang? Kenapa menangis, Yoongiku?"
Jimin terburu menghampiri, ketika dilihatnya sang suami kecil menangis di ujung sofa begitu dia masuk ke dalam rumah.
"Ji-Jimin..."
Yoongi terisak, masuk ke dalam rengkuhan Jimin yang mengerat.
"Iya, tidak apa. Menangis saja dulu, aku bisa menunggu."
Yoongi membenamkan wajah ke bahu Jimin, menggelitik leher dengan helaian rambutnya yang halus. Jimin jadi terkekeh, begitu Yoongi menggosok hidungnya di sana. Seperti anak kecil saja.
"Apa ini karena kesalahanku, sayang?" tanya Jimin, sembari mengusap berulang punggung suaminya.
Yoongi menggeleng, lalu menarik diri untuk bertatapan dengan Jimin. "Bukan..."
Jimin tersenyum tipis, menyeka lelehan air mata yang membasahi pipi gembil Yoongi dengan jemarinya.
"Lalu kenapa, sayang? Tolong katakan padaku?"
"Jimin... tesisku..."
"Iya, kenapa tesisnya? Ada kesulitan?"
"Pak tua itu yang membuatnya sulit."
Jimin terkekeh, lalu menyentil main-main bibir bawah Yoongi yang ditekuk sebal. "Hush. Tidak baik berbicara seperti itu, sayangku."
"Tapi beliau berulang kali menolak proposal tesisku, Jimin. Bahkan alasannya semakin tidak masuk akal!"
Bibir mengerucut itu Jimin kecup lembut. Satu kali saja, namun cukup untuk menyampaikan ketenangan pada yang terkasih.
"Maaf yang seperti itu harus terjadi padamu, sayangku," ujar Jimin, nadanya halus sekali. "Aku tau kau telah melakukan yang terbaik. Siang malam berkutat dengan tesismu untuk merevisi banyak hal. Aku melihatnya sendiri, dan itu patut diapresiasi."
"Tapi beliau tidak mengapresiasi hasil usahaku sama sekali, Jimin..."
"Jika memang seperti itu, mungkin menurutku kau perlu diskusikan hal ini pada kepala prodi, sayang? Atau kutemani langsung ke rektor?" sahut Jimin, sembari menarik kepala Yoongi untuk bersandar di bahunya.
