Draft

161 15 3
                                    


"Kamu pegawai baru?"

Pemuda manis itu menoleh, dengan segera bertemu tatap dengan iris jelaga milik Jimin. Cantik. Maniknya kecil namun penuh binar. Senyumnya mengembang cepat, membungkuk kilas penuh semangat pada pertanyaan yang dilontar untuknya.

"Iya, Pak! Perkenalkan, saya Min Yoongi."

Manis.

Gusi merah muda itu menambah kesan menawan. Jimin sadar, dia hampir tak mengerjap untuk sepersekian detik. Namun sadarnya cepat-cepat kembali, tidak ingin terlihat bodoh. Tidak dengan setelan jas seharga sewa satu unit apartemen yang sedang membalut apik tubuh idealnya.

"Divisi mana? Kenapa saya baru liat?"

"Divisi itu apa ya, Pak?"

Pemuda manis itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Min Yoongi, memiringkan kepala sedikit. Mengerjap bingung dengan kerutan halus di keningnya yang nyaris tertutup poni.

Aduh, lucunya.

"Kamu.. ditempatkan di ruang apa?"

Agaknya heran, kenapa anak baru yang tidak paham tentang apa itu divisi justru bisa diterima menjadi pegawai kantor tersebut. Namun Jimin pilih mengesampingkan fakta tersebut sementara waktu. Rasa penasaran tentang sosok pemuda manis dengan kulit seputih salju itu terlalu tinggi untuk ditekan barang sejenak.

"Oh! Di dapur, Pak!"

Senyum gusi mengembang lebar. Manis, Jimin katakan sekali lagi.

"Saya pekerja baru untuk masak-masak dan membuat kopi," ujarnya semangat. "Bapak ingin minum kopi? Di mana ruangan Bapak? Saya bisa antarkan segera!"

Jimin tidak lantas mengangguk, meski dia memang menyukai tentang ide minum kopi dipagi hari. Alih-alih mengatakan sesuatu, pria itu justru memasukkan kedua lengannya ke dalam saku celana— sedang menimbang satu dua hal dalam benaknya secara diam-diam.

"Saya pikir HRD saya bercanda waktu dia bilang mau hire orang buat urusan dapur."

Min Yoongi berkedip dua kali, lalu manik kecil itu dipaksa membulat sebagai gestur keterkejutan yang pasti.

"Bapak... bosnya, ya?"

Jimin ingin sekali tertawa. Sungguh. Ekspresi lugu itu menggelitik hatinya tanpa ada rasa singgung sama sekali. Tapi dia dapat menahannya dengan cukup baik. Terbukti dengan ukiran senyum tipis yang diulas sebagai respon pertanyaan tersebut.

"Umur kamu berapa?"

"22, Pak!"

"Masih terlalu muda," komentar Jimin. "Kenapa mau terima pekerjaan ini? Padahal kamu bisa cari pekerjaan yang lebih baik."

"Susah, Pak."

Bahu sempit itu merosot turun, semangatnya tadi tiba-tiba saja menguap entah kemana.

"Saya cuma lulusan SMA," sambung Min Yoongi, "Saya nggak punya uang buat lanjut kuliah. Makanya saya cuma bisa bekerja yang seperti ini saja."

Alis Jimin bertaut, berpikir sesuatu. Pemuda manis di hadapannya diperhatikan seksama. Meski begitu, tidak ada tatapan menghakimi apalagi merendahkan.

"Tapi kamu mau belajar?"

Sepersekian detik Min Yoongi hanya diam. Bingung, tapi mengangguk pula ragu-ragu. "Mau, Pak," jawabnya lantang. "Tapi, belajar apa maksudnya, ya? Kalau untuk memasak dan membuat kopi, tenang saja, saya sudah cukup mahir kok!"

Deretan gigi-gigi mungil itu dipertontonkan cuma-cuma. Menghias rekah senyumnya yang memang sudah terlampau manis. Jimin sudah beberapa kali memuja dalam hati, namun termakan gengsi untuk menyuarakannya. Ah, payah memang.

"Belajar banyak hal baru," kata Jimin kemudian. "Apa kamu masih se-semangat ini kalau saya minta kamu buat belajar hal lain selain urusan dapur?"

"Tentu saja! Saya siap belajar apa saja, Pak Bos!"

Min Yoongi berseru, tapi masih dengan gesturnya yang sopan dan ramah. Murah senyum sekali bahkan. Merepotkan siapa saja yang menatapnya dengan berbagai macam suasana hati. Salah satunya ya, Jimin itu.

"Kalau begitu, ikut ke ruangan saya. Kamu harus belajar beberapa hal mulai dari sekarang."

"Baik, Pak Bos! Belajar apa saya hari ini?"

Jimin diam sebentar. Bukan ragu, hanya belum menemukan kalimat yang tepat untuk mengutarakan maksudnya. Padahal sudah ribut sekali di kepala. Sungguh.

"Belajar mengenal saya dulu, ya?"

Min Yoongi terkejut. Jelas.

Kalimat seperti itu tidak pernah ada dalam ekspetasinya. Apalagi keluar dari bilah bibir pria yang baru saja dia ketahui faktanya adalah seorang nomor satu di kantor ini.

"M-maaf, Pak Bos.. saya tidak paham maksudnya?"

Jimin tersenyum. Dia bahkan tidak mengerti mengapa dia tersenyum?

"Saya mau kamu jadi sekertaris pribadi saya, Min Yoongi," ujarnya tenang, sebelum kemudian berbalik untuk melangkah menuju lift. "Ke ruangan saya sekarang, ya? Saya tunggu."

Jimin mengabaikan Min Yoongi yang tercenung dengan mulut terbuka. Memberinya waktu untuk berkutat dengan keterkejutan dan kebingungan sementara waktu.

Lengannya justru meraih ponsel, mendial seseorang yang nama kontaknya disemat dengan kata belakang 'HRD'.

"Halo—"

"Taehyung. Kamu cari orang dapur lain, ya? Yang ini buat aku."

"Apa? Gimana maksudmu?"

Jimin masuk ke dalam lift, menekan tombol angka 9 sembari memperhatikan pemuda manis yang masih berdiri bingung di depan sana. Pria itu lalu tersenyum tipis, "Min Yoongi. Dia buatku saja."

"Sial, Park Jimin. Dia itu incaranku!"

Bip.

Sambungan diputus sepihak. Jimin pelakunya.

Dalam ruang sempit itu, Jimin terkekeh sendiri. Membayangkan sahabatnya mengumpat dan menyumpah serapahi dirinya melalui sambungan telpon yang sudah terputus.

Taehyung itu, Jimin akui, seleranya selalu bagus.

9593 TrackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang