22. Pria Misterius

615 40 15
                                    

"Kamu mau jalan-jalan di sekitar gang rumah aku ngga?"

Atensi Chindy teralihkan dengan suara Kala, netranya menatap penuh arti lewat kaca spion.

"Udah malem loh, Kal. Emangnya kamu mau jalan pake apa?"

"Jalan kaki."

Chindy mengedikan bahunya merasa ngeri atas tawaran Kala yang terbilang anti mainstream. Si gadis lebih muda itu melupakan bahwa sekitar jalan rumahnya sering terjadi begal dan maling, entah apa jadinya jika Chindy menuruti kemauan Kala.

"Ngga mau."

"Ayo dong Chindyyy." Rengek Kala dengan tangan yang menarik-narik baju Chindy.

Chindy menggeleng dengan tegas, ia mematikan mesin motornya tepat di depan pagar rumah Kala.

"Mendingan kamu masuk. Gak usah ngaco kayak tadi."

Kala masih enggan untuk turun dari motor, sekilas netranya menatap ke jendela kamar orang tuanya, lampu sudah di matikan, tak ada bayangan cahaya sedikit pun. Orang tua Kala sudah tertidur lelap disana.

"Kok gak turun?"

"Ngusir nih ceritanya?"

Chindy tertawa pelan, "Masa kamu diem di motor aku trus sih?"

"Aku ngga mau pulang."

"Kenapa ngga mau?"

"Masih.. Kangen."

Kekehan kecil terdengar dari milik indera pendengaran Kala. Gadis pemilik senyuman manis itu menatap tak suka sekaligus keheranan pada si gadis lebih tua. Padahal apa yang ia katakan memang jujur adanya, perasaan rindu itu masih menggebu-gebu minta di jabarkan.

"Terus gimana? Aku kan ngga mungkin nerima ajakan kamu buat jalan kaki di sekitar sini. Aku takut kita berdua kenapa-kenapa, cantik."

Raut wajah Kala berubah cemberut seiring kaki jenjangnya menapakkan kaki di tanah. Matanya menatap sendu pada sang kekasih, sirat matanya seolah enggan jika Chindy harus pergi sekarang.

"Peluk dulu baru boleh pulang."

Lagi-lagi Chindy tertawa.

"Kamu kesambet apaan jadi manja gini?"

"Ngga tau. Intinya aku mau peluk."

Chindy menghela napas seraya membawa Kala ke dalam pelukan, mengabaikan sepasang mata yang mungkin dapat melihat aksi kemesraan mereka. Kala masih enggan untuk melepas, entah sudah menit keberapa namun Chindy tetap menerima pelukan ini.

Hanya ada tiupan angin yang mengisi kesunyian sekitar rumah Kala.

Merasa sudah cukup energinya terisi kembali, Kala melepaskan pelukan mereka secara perlahan-lahan. Telunjuk Chindy bergerak menunjuk pipinya, senyuman simpul terpampang jelas dengan raut wajah gembira.

Seolah paham dengan apa yang di inginkan Chindy, tanpa ragu Kala mencium singkat pipi sang kekasih, menimbulkan warna kemerahan di sekitar pipinya.

"Makasih ya udah nemenin aku ke rumah Kinar," Chindy mengangkat tangannya, bergerak pelan seraya mengusap lembut kepala sang gadis lebih muda dengan kasih sayang yang penuh arti, "Makasih juga buat kado sama suratnya."

"Sama-sama. Semoga suka ya."

"Aku minta maaf sama kejadian tadi. Udah marah-marah sama kamu."

"Gapapa. Semua orang berhak buat marah kalo lagi kesel."

Chindy mengangguk dengan senyuman tulus pada bibirnya. Merasa waktu semakin malam berlalu, ia memasang kembali helmnya yang sempat terlepas. Tangannya melambai sembari memutar kunci motornya. Suara motor kembali terdengar menghiasi keheningan.

11 MIPA 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang