Kala terus menangis di dalam kamarnya. Sehabis pulang sekolah terasa hampa, yang biasanya ia selalu mengabari Chindy sudah tak ada lagi. Notifikasi favoritnya hilang. Tubuhnya telantang di kasur, menatap langit kamar dengan air mata yang keluar.
Beberapa panggilan terus berbunyi di luar kamar. Ramai-ramai suara pengajian terdengar mengisi kepalanya. Rasa sakit di hati Kala makin bertambah. Kehilangan Najwan, kehilangan Chindy, harus bagaimana lagi dirinya?
Sandaran tempatnya mengadu tidak ada disini. Kala menyedihkan, begitu menyedihkan karena termakan egonya sendiri. Ia tau ini salahnya yang terlalu egois, begitu haus perhatian dengan orang sekitarnya.
Tapi kenapa harus putus?
Pertanyaan tersebut terus mengisi kepalanya. Jam menunjukkan pukul 4 sore, sekedar bangkit dari kasurnya pun ia tak mampu, apalagi untuk turun ke bawah. Kala tak sanggup berkata apa-apa lagi.
***
Putung rokok berserakan dimana-mana, kotak rokok yang hanya menyisakan kulitnya tercecer di lantai, asap putih terus menggumpal di ruangan. Satu hisapan pada rokoknya, ia terbatuk, perutnya mual, tenggorokannya perih.
Chindy meletakkan rokok ke asbak. Matanya terpejam, sofa ruang tamu Kinar menjadi saksi bisu betapa kacaunya Chindy. Pikirannya terus bergulat.
Kala, kamu terlalu egois dan haus akan perhatianmu, tanpa sadar kamu menyakiti hati pujaanmu.
Padahal yang menyudahi hubungan mereka ialah Chindy, namun, kenapa dirinya yang merasa paling sakit disini? Bukan tersakiti, melainkan rasa rindunya yang tak bisa terbendungi.
Cklek
Pintu rumah utama terbuka, menampilkan Kinar yang terkejut dengan mata membulat. Makanan di tangannya terjatuh ketika melihat Chindy yang hendak mengisap rokoknya kembali. Tangan Kinar menepis rokok Chindy, rokok itu terjatuh mengenai mejanya.
"Anjing lo, Chin. Gue tinggal bentar aja udah ngabisin satu slot magnum!"
Bungkus rokok yang berwarna hitam itu di ambil alih Kinar, ia menjauhi rokoknya sebelum Chindy mengambilnya lagi. Tatapan tajam dari Kinar tertuju pada Chindy, matanya hampir keluar menatapi temannya yang seperti ini.
Karena cinta, Chindy menjadi manusia paling rasional. Tapi, logikanya tak sejalan dengan hati. Ia yang menyudahi, ia yang mati-matian merindu.
"Udah ya anjing. Stop! Lo ngerokok banyak-banyak ngga bikin lo sama Kala balik! Yang ada lo sendiri yang sakit!" Selesai berucap, Kinar mengambil lagi makanannya yang terjatuh, membawanya ke dapur sembari menghidangkan makan malam mereka.
Langkahnya kembali ke ruang tamu, mendapati Chindy yang terbaring lemas di sofa. Kinar memberikan satu porsi nasi goreng ke meja, "Noh, makan gih. Lo kalo galau ngga usah sok-sok an ngga makan dari pagi."
Sekilas netra Chindy melirik jam dinding, 21:32. Sedari pagi hingga sekarang, makanan sama sekali tak ada yang masuk ke dalam perutnya. Seleranya untuk makan hilang, semangatnya menjalani hidup tak ada, hanya kehampaan yang tersulut.
"Anjing ngga di makan," Kesal Kinar, ia menyumpal sesuap sendok makan ke mulut Chindy, "Lo kalo ngga makan gue gusur juga rumah Kala!"
"Jangan." Balas Chindy. Akhirnya ia menurut, memakan satu sendok suapan nasi dari Kinar, ia mengunyahnya tak bernafsu, sama sekali tak terasa makanan seenak ini di mulutnya.
"Kalo galau inget kesehatan juga, Chin."
Kini, Kinar makan dengan tenang di saat Chindy yang mau memakan nasinya. Suara denting sendok bertabrakan dengan piring. Chindy merasa mual, kebanyakan merokok hingga lupa makan membuat perutnya sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
11 MIPA 3
Teen Fiction[Cerita di deskripsi nyambung ke chapter 1] Pernah gak sih kamu naksir sama kakak kelas yang ngambil jurusan MIPA dan ternyata ada pelajaran matematika lanjut? Otomatis dia pinter matematika dong? Jelas. Ini tentang Kala yang naksir sama kakak kelas...