"Coba kamu ringkas video cctv nya, Kin, biar Nanti om kirim ke anak buah om."
Kinar mengangguk kecil seraya membuka kembali ponselnya. Langit setenang senja berubah menjadi malam gelap gulita. Chindy, Kinar, dan Dilan berdiri mengelilingi kotak kecil itu. Malam Minggu yang seharusnya mereka bersenang-senang hanya menjadi harapan.
"Kotaknya ngga di buka dulu?"
"Gue takut isinya bom."
"Kalo isi nya bom udah dari tadi kali meledaknya."
Dilan hanya mendengar sekilas pembicaraan dua anak muda ini. Setelah mendapati potongan video kecil cctv rumah Kinar, ia langsung mengirimkan ke anak buahnya, meminta segera di cari pria misterius itu.
Tangan Kinar hendak memegang kotak itu, namun langsung di tepis oleh Chindy.
"Kenapa?" Bingung Kinar.
"Kalo mau cepet ketemu, mending pake sarung tangan ngambil kotaknya, siapa tau ada sidik jari disitu."
Dilan membulatkan matanya atas pikiran Chindy yang benar-benar brilian. Ia menatap kagum, "Kenapa ngga kepikiran gitu aja ya tadi."
Pikiran Chindy terus beradu, kepintarannya itu memang perlu di acungi jempol. Namun suara Kinar meruntuhkan semangatnya.
"Di cctv dia pake sarung tangan, Chin.."
Chindy menghela napas kasar, "Gapapa, tetap ambil pake sarung tangan aja. Kalonya ada sidik jari lain kita interogasi aja sampai ngaku."
Dilan yang sedari tadi diam memanggil salah satu anak buahnya. Bagaikan detektif, otak mereka benar-benar bekerja hanya karena ini. Sang empu berwajah jutek tak menyangka kalau pikirannya benar-benar terbuka.
Tangan Kinar mengeluarkan rokok dari sakunya, ia mendudukkan diri di kursi teras sembari merokok dengan wajah yang serius, peluh keringat terus keluar dari pori-pori kulitnya. Dilan sedikit menjauh dari mereka, menerima sebuah telepon di sebrang sana.
Chindy masih terdiam di tempatnya, pikirannya terus berkelana, sampai sekarang ia tak tau motif pelaku melakukan hal ini karena apa?
Alih-alih mendengar pembicaraan singkat Dilan dengan sang anak buah, kaki jenjang Chindy menghampiri Kinar, mendudukkan diri di samping. Matanya terpejam seiring nafasnya berhembus berat. Tubuhnya yang lelah sengaja bersandar di kursi.
"Udah kabarin Kala?"
Pertanyaan yang selalu membuat Chindy khawatir itu teralihkan, atensinya merasa senang. Mendangar nama Kala saja letihnya memudar, apalagi kalau sang kekasih berada di depan matanya, dengan pelukan mesra.
"Belum."
"Kabarin lah."
"Lo kenapa sih sering banget nyuruh gitu?" Merasa penasaran, Chindy coba menolehkan wajahnya ke Kinar, menatap manusia di sebelahnya yang santai merokok.
"Simpel aja. Orang yang kayak lo, alias first time pacaran harus di ajarin dulu."
"Apa hubungannya?"
Mendengar nada bicara Chindy mulai ketus, Kinar menyentil rokok di tangan, membuang sisa abu rokoknya. Lalu menatap sang empu dengan bibir datar.
"Lo kan terbiasa sendiri. Gue tau kok, lo selama pacaran sama dia pasti lupa ngabarin."
Ucapan Kinar di buat fakta olehnya. Chindy hanya bisa mengangguk, membenarkan pendapat suara Kinar.
"Iya. Sering gue sepele-in, terkadang." Jawabnya degan penuh penekanan di akhir.
Suara helaan nafas terdengar dari mulut Kinar, "Gini nih kalonya pacaran sama yang baru ngerti cinta. Buat diri sendiri aja ngga bisa, apalagi buat orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
11 MIPA 3
Fiksi Remaja[Cerita di deskripsi nyambung ke chapter 1] Pernah gak sih kamu naksir sama kakak kelas yang ngambil jurusan MIPA dan ternyata ada pelajaran matematika lanjut? Otomatis dia pinter matematika dong? Jelas. Ini tentang Kala yang naksir sama kakak kelas...