Selamat membaca, tandai jika ada kesalahan dalam menulis.
✯✯✯
Ada yang bilang, tempat paling nyaman yaitu rumah sendiri. Dirumah kita bisa mengekspresikan segala hal, bisa menceritakan bagaimana beratnya hari yang dijalani seraya menikmati kue buatan ibu atau hal lainnya. Namun itu semua tak berlaku bagi Anin. 'Rumah' yang harusnya jadi tempat ternyaman bagaikan nereka dunia. Cacian, bentakan bahkan suara pecahan sudah seperti makanan sehari-hari.
Memilih acuh, Anin meraih earphone memasangkan ditelinga menikmati alunan musik yang tengah berputar. Tapi sayangnya, itu semua tak mempan. Dilemparnya earphone yang menggantung ditelinga, mengadahkan kedua tangan lalu mengeluarkan isak tangis yang sedari tadi ditahan.
Kepala terangkat, tangan bergerak membuka laci meja meraih suatu benda kecil. Kekehan pelan terdengar saat puluhan garis tercetak jelas di tangan. Anin meraih sebuah botol obat meminum tiga pil dengan varian yang sama menggunakan satu tegukan air. Tak lama dari itu, ia tertidur pulas dengan tangan yang masih terus mengeluarkan darah.
Sedangkan disisi lain, Shaka tengah menikmati tontonan kartun yang berputar lewat televisi di ruang keluarga.
Martabak telur kuah kari menemani waktu bersama mereka, sejak dua jam lalu kedua orangtuanya telah kembali dari menjemput Acel. Banyak makanan yang dibawa, bahkan ada satu kotak donat yang disisihkan dikulkas untuk diberikan kepada Anin esok hari.
Tadinya Lara mengira teman belajar putranya belum pulang, tapi ternyata salah. Alhasil donat yang ingin diberikan untuk Anin bawa pulang kerumah dimasukkan kedalam kulkas. Biarkan esok saja diberikan kepada gadis itu.
Ada alasan sendiri mengapa Lara dengan baiknya ingin memberikan Anin bingkisan, yaitu karena ia itu menyukai Anin. Bukan hanya itu saja, Lara teringat kata-kata yang diucapkan anaknya tempo lalu yang mengatakan bahwa siapa saja yang ia bawa kerumah, baik itu pria maupun wanita harus diperlakukan dengan baik agar mereka betah, sebenarnya tak harus diingatkan, tanpa disuruh pun ia akan melakukan hal itu.
"Tumben abang bawa cewek kerumah, ada sebab apa?" celetuk Lara usai meneguk air minum hingga tandas.
Acel yang tengah asik menikmati kue lantas menatap abang-nya heran, mata mengerjab lucu lalu berucap, "Pacar abang, ya?"
Shaka tersenyum tipis seraya menggeleng, "Bukan kok, ma. Dia temen kelas abang."
"Lagi kerja kelompok, ya? Tapi masa berdua doang?" ujar Lara lagi.
Shaka menggeleng, "Abang di amanahin pak Damar buat ngerubah dia." tutur Shaka, "Dia tuh bandel, nilainya juga jelek jadi abang disuruh bantuin dia belajar."
Lara mengangguk paham, "Cantik-cantik bandel tapi mama suka." ucap Lara seraya menikmati elusan yang terus terasa dikepalanya.
Shaka menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia bingung harus merespon apa. "Awalnya abang keberatan buat ngerubah dia, tapi abang gak enak sama pak Damar." keluh Shaka menyandarkan kepalanya pada pembatas sofa.
"Kenapa keberatan?"
Shaka menghela nafas, "Abang tuh pusing, dia bandel banget, ngobrol aja harus pake tenaga biar didengerin." ujar Shaka, "Tapi bersyukur abang punya kesabaran seluas samudra." lanjutnya bangga.
"Nurun dari papa itu," celetuk Alva.
Shaka tertawa kecil, "Bener." jawabnya.
Hampir delapan belas tahun mereka tinggal bersama, satu kalipun tak pernah Shaka mendengar kedua orangtuanya beradu argumen. Shaka tau betul perangai sang papa yang sangat mencintai mama-nya. Entah ada cerita apa dimasa lalu mengenai mereka berdua, yang jelas Shaka sangat bersyukur bisa terlahir dari keluarga ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOGYAKARTA | ARSHAKA
Teen FictionMenjabat sebagai ketua kelas dan memiliki predikat selalu mendapat juara satu pararel membuat Shaka harus berurusan dengan Anindya-teman kelas sekaligus murid yang dijuluki preman sekolah. Hari yang dulu selalu berjalan flat berubah sedikit berwarna...