Seperti biasa, pagi ini Echa menjalani aktivitasnya sebagai mahasiswa semester 6. Setelah libur semester selama satu bulan lebih, kini ia harus kembali menapakkan kaki di kampus tempat ia menimba ilmu.
Echa terlahir dari keluarga yang sederhana, bahkan ia bersyukur bisa berkuliah dengan beasiswa dari pemerintah. Echa juga satu-satunya dari anggota keluarga yang kuliah. Orangtuanya sangat mendukung Echa. Gadis itu berjanji jika ia sudah sukses, ia tidak akan membiarkan orangtuanya yang sudah berumur itu untuk bekerja.
Sambil memeluk tas berisi laptop ia berjalan menyusuri koridor kampus.
“Cha!” merasa ada yang memanggilnya, segera Echa menengok ke belakang dan menemukan Selly yang berlari ke arahnya.
“Astaga Sel, ngapain pake lari, aku bakal tunggu kok.” ucapnya seraya tersenyum kecil.
“Takut kamu tidak dengar, Cha, hehe..” Selly tertawa pelan.
“Yasudah, ayo masuk kelas.”
Kedua gadis itu berjalan beriringan sambil berbincang mengenai liburan mereka. Sampai di persimpangan koridor, mereka melihat banyak mahasiswa yang berlari berbondong-bondong menuju salah satu kelas.
“Ada apa sih? kok mereka lari-lari ke kelas anak perhotelan.” Echa hanya mengangkat kedua bahunya acuh menanggapi pertanyaan Selly.
“Eh Radit! Ada apa?!” Selly lantas memanggil Radit, teman sekelasnya yang melintas seperti ingin melihat kerumunan itu.
“Mas Evan kating pemasaran mukul Dimas anak perhotelan.” setelah itu Radit langsung lanjut berlari ke kerumunan.
“Mas Evan yang ganteng itu? ayok kita lihat, Cha.”
Tanpa aba-aba Selly menarik lengan Echa berlari mendekati kerumunan yang tampak ricuh. Echa yang masih mencerna perkataan Radit hanya bisa pasrah saat Selly menarik kencang lengannya. Sebenarnya Echa tidak suka melihat perkelahian.
Sesampainya di kerumunan, Echa melihat dari celah-celah mahasiswa ada dua orang lelaki yang saling memukul satu sama lain. Ralat, ternyata hanya satu orang yang tampak memukul dan ia tidak tahu itu siapa.
“Bajingan! Sudah saya peringatkan berkali-kali jangan ganggu Cantika.”
Kira-kira begitulah Echa mendengar suara dari salah satu pemuda yang kini duduk di badan seseorang, Echa yakini bernama Dimas sambil memukul wajahnya berkali-kali.
“Evan sudah, hentikan!” seorang gadis dari tadi mencoba menghentikan perbuatan Evan dengan wajah yang bercucuran air mata.
Akhirnya perkelahiannya itu berhenti saat salah satu dosen datang untuk melerai keduanya. Tak lama Dimas dibawa ke ruang medis, dan Evan mengikuti dosen berserta perempuan yang menangis tadi.
Setelah dibubarkan, semua mahasiswa menuju kelasnya masing-masing. Begitu pula dengan Echa dan Selly.
“Cha, kamu tahu tidak Mas Evan, kating pemasaran yang ganteng tadi?” Echa menggeleng sebagai jawaban membuat Selly mendengus. Ia lupa kalau temannya ini sangat introvert.
“Kamu harus tahu Cha! dia itu manis sekali dengan Mbak Cantika. Satu vokasi pun sudah tahu keromantisan mereka, masa kamu tidak tahu sih?”
“Aku tidak pernah mau tahu hal seperti itu Sel, tidak ada gunanya juga buat aku.” Selly melengos mendengar jawaban Echa.
“Yasudah terserah kamu, pokoknya Mas Evan itu keren, Cha. Kamu dengar kan tadi dia bela Mbak Cantika.” kini giliran Echa yang menatap malas pada Selly yang menurutnya terlalu berlebihan.
“Yang namanya perkelahian mana ada keren-kerennya sih, Sel. Asal kamu tahu, tidak semua masalah itu diselesaikan dengan berkelahi.”
Selly menghela nafas pelan, ia harus sabar memiliki teman yang kurang pergaulan.
“Tapi kan kita tidak tahu penyebab Mas Evan sampai seperti itu, kita tidak boleh memberikan penilaian sebelah mata.” ucap Selly.
“Ya ya, terserah kamu. Ingat, mas-mas itu sudah punya orang, jangan berlebihan kamu mengagumi, Sel.”
“Sudah yuk masuk kelas sebelum Pak Andi datang.” ajak Echa membuat Selly mengangguk lemas, apa salahnya ia mengagumi. Toh hanya sebatas itu, tidak ingin memiliki juga, dasar Echa manusia serius.
***
“Langsung pulang, Cha? Masih jam sebelas ini?” tanya Selly saat pembelajaran mata kuliah mereka telah selesai.
“Aku mau ke perpustakaan sebentar, cari jurnal-jurnal buat mapping metode penelitian di repository. Kamu mau ikut?” ajak Echa.
Selly menggeleng tidak percaya, temannya ini memang kutu buku, bahkan tugas itu baru saja diberikan oleh Pak Andi beberapa waktu lalu. Kini Echa sudah sibuk mencari jurnal referensi, sedangkan deadline masih satu minggu lagi.
“Aku langsung pulang saja Cha, masih pusing sama metode penelitian tadi. Kamu ke perpus sendiri tidak apa-apa?” Echa terkekeh kecil. Ia sudah hafal dengan teman masa ospeknya ini. Memang Selly tipe mahasiswa yang santai dan tidak terlalu pusing dengan tugas, pasti nanti akhirnya cari jasa joki, jangan dicontoh ya teman-teman.
“Yasudah kalau begitu, kamu hati-hati pulangnya. Aku sudah biasa sendiri, tidak apa-apa.”
Terkadang Selly merasa bersalah tidak pernah menemani Echa, tapi jujur saja ia tidak bisa mengimbangi kemampuan Echa, ia akui Echa merupakan gadis yang sangat pintar, bahkan ipk nya tidak pernah di bawah 3,9. Dan untungnya gadis itu bisa memahami keterbatasan Selly.
“Maaf ya Cha, kapan-kapan aku akan temani kamu, oke.” ucap Selly.
“Iya Selly, kalau begitu aku ke perpustakaan dulu ya, sampai jumpa.”
Setelah mendapat anggukan dari Selly, Echa lantas berjalan menuju perpustakaan yang sudah menjadi tempat ia menghabiskan waktu di kampus. Ya, sebagian besar waktunya habis di perpustakaan, entah itu untuk belajar, mengerjakan tugas, ataupun merenung.
Perpustakaan menjadi saksi bisu perjuangan Echa selama mengenyam bangku perkuliahan.
Echa mengeluarkan kartu tanda mahasiswanya untuk masuk ke perpustakaan. Setelah berhasil meng-scan kartu tanda mahasiswa, ia pun masuk mencari ruang repository.
Saat menemukan ruang yang di cari, baru satu langkah, ponselnya tiba-tiba berdering. Tidak ingin menjadi pusat perhatian, Echa langsung mengangkat telepon yang ternyata dari sang ibu.
“Echa, kondisi Ayah drop lagi, sesak nafas. Tapi kamu tidak perlu khawatir, ini Ibu sudah bawa Ayah ke RSUD sama Mas Bayu. Ibu hanya ingin menyampaikan agar kamu tidak terkejut nanti.” Echa terdiam sejenak sebelum berjalan berbalik arah.
“Ibu tidak perlu berfikir macam-macam, Echa segera ke sana ya, Buk.”
Setelah mematikan ponsel, Echa segera berlari menuruni tangga sampai ia tidak sengaja menabrak bahu seseorang hingga ia sedikit terhuyung ke belakang.
Echa segera membungkukkan badan dan mengucap kata maaf berkali-kali tanpa melihat siapa yang ditabrak dan segera berlari menuju pintu keluar. Tujuannya hanya satu, ia harus cepat sampai di rumah sakit.
Sementara itu, seorang pemuda tampak membenarkan posisi tas ransel yang ada di pundak kanannya. Ia menoleh ke belakang melihat gadis yang menabrak bahunya dan berlalu begitu saja setelah mengucapkan kata maaf.
Saat akan melanjutkan langkah, pemuda itu melihat sebuah kartu yang tergeletak di depan sepatunya. Dengan hati yang bertanya-tanya ia mengambil kartu tanda mahasiswa itu.
“Echa Paramitha, perkantoran digital, angkatan dua puluh satu.” ejanya dengan mata menyipit.
“Evan ayo, kamu tunggu apa di situ?” mendengar suara sang pujaan hati yang telah jauh di depannya, pemuda itu lantas memasukkan kartu milik Echa ke dalam saku celana.
“Ah maaf, ayo.” ajaknya menyamakan langkah sambil menggenggam tangan sang gadis.
______
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
PRADHANA
FanfictionBagaimana jika hidupmu hanya berputar pada seorang Evan, pemuda yang kerap kali bersikap dingin pada gadis semanis Echa. Namun perlahan semuanya berubah, satu-persatu kepingan puzzle itu menjadi satu merangkai sebuah cerita yang tidak terduga. Mungk...