37. Selamat Tinggal & Selamat Jalan

320 54 51
                                    


⚠️ Warning!! : Ada sedikit cerita tentang kekerasan terhadap anak. Mohon kebijaksanaan dari kalian semua para pembaca.

•••

"Ren, kamu marah sama Ayah?" Harju menatap lekat wajah pucat Karen, yang masih termangu menatap kosong ke depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ren, kamu marah sama Ayah?" Harju menatap lekat wajah pucat Karen, yang masih termangu menatap kosong ke depan. "Kamu marah, karena Ayah sempat melarang kamu untuk membantu Nadikta? Dan sekarang, dia justru ...,"

"Aku nggak marah, Yah." sahut Karen. "Aku nggak marah sama sekali. Aku cuma ... masih kaget aja." Bibirnya bahkan bergetar kala mengatakan itu.

"Nadikta meninggal semalam, jam 2 dini hari. Awalnya Ayah mau kasih tau kamu besok pagi, tapi ternyata kamu kebangun karena denger handphone Ayah bunyi. Jangan marah ke Sagara, karena nggak bilang langsung ke kamu. Dia pasti punya alasan kenapa justru telepon Ayah lebih dulu, di banding kamu."

"Iya, aku paham." Setelahnya, Karen kembali termenung. Detak jarum jam bergerak lambat menyentuh angka 3. Seolah dunia ikut berhenti sejenak, menunggunya untuk siap menerima fakta bahwa sebenarnya, Nadikta telah tiada.

Perlahan, Karen bergerak turun dari ranjang dan berjalan keluar. Harju mendesah, lalu mengikuti sang putra dalam diam. Terlihat Karen yang membuka pintu rumah dan lagi-lagi hanya menatap kosong pada langit malam. Tak berani mengganggu, akhirnya Harju memutuskan untuk tetap berdiri di belakang Karen.

Tindakan Nadikta memang tidak dibenarkan, Karen pun tak berharap jika cowok itu bisa bebas. Justru jika Nadikta bisa lepas dari hukum, maka ia akan kecewa. Sangat-sangat kecewa.

Akan tetapi ... bukan kabar ini yang ia mau. Yang ia mau, adalah kabar jatuhnya hukuman Nadikta sampai selesai nanti. Bukan kabar tentang kepergiannya.

Bukan. Bukan ini yang ia mau.

Jauh di sebuah desa yang agak terpencil, Nada tersentak bangun karena mimpi buruk yang menyambangi. Keringat mengucur deras membasahi kening bahkan punggungnya. Pakaiannya sudah basah karena keringat, kala Nada menyibak selimut dan meraba tubuhnya sendiri.

Sebuah rumah yang terbuat dari bambu tanpa penerangan listrik ini, membuat siluet Nada terlihat semakin jelas. Dada gadis itu masih naik-turun tak beraturan mencari oksigen. Mimpi itu seolah nyata, hingga membuatnya ketakutan luar biasa.

Setelah sedikit tenang, Nada memutuskan untuk meraih jaket yang tergantung tak jauh darinya. Melirik jam dinding yang tersorot cahaya, Nada bisa melihat bahkan jarum jam baru menunjuk pukul 3 dini hari. Udara yang dingin membuatnya sedikit menggigil, di tambah lagi karena pakaiannya sudah basah oleh keringat.

Berjalan membuka pintu, suasana yang gelap dan sepi menjadi pemandangan yang tertangkap oleh retina. Mengembuskan napas panjang, Nada menatap pada bukit yang tak jauh dari sini—seolah tengah menatap seseorang yang begitu dirinya rindukan.

Nadikta datang ke dalam mimpinya, baru saja. Dia datang, hanya untuk mengucapkan salam perpisahan.

Jordi tiba-tiba saja di bangunkan oleh seseorang di tengah tidurnya. Laki-laki itu masih belum mengumpulkan nyawanya, saat tiba-tiba saja seorang anggota polisi memberi sebuah kabar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Karen Laka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang