Bagian XXX

808 104 22
                                    


Kedua wanita itu berada di sebuah cafe yang berada di Jogja. Duduk berhadap-hadapan di dekat jendela kaca yang mengarah langsung ke pinggir jalan raya. Gugup, keduanya sama-sama gugup.

"Keadaan kamu sudah membaik?" Natalia memulai obrolan dengan berbasa-basi, tidak mau langsung mencecar gadis yang lebih muda di hadapannya.

"Sudah lebih baik."

"Pansa, saya langsung to the point saja, ya."

Pansa menelan ludah. Iya tidak pernah taku oleh siapapun. Bahkan dengan klien dari India yang super bebal dan menyebalkan pun, Pansa pernah hampir melempar kursi saat meeting dengan klien tersebut. Namun, entah kenapa kini ia merasa sangat gugup, ada sedikit ketakutan yang menghinggapi perasaannya.

"Tentang hubungan kamu dan Cinta. Saya boleh tahu?"

Pansa menarik napas panjang. Menatap Natalia dengan pandangan datar. Tidak mau menunjukkan rasa takutnya. "Lebih dari sahabat. Mungkin akan membuat tante marah."

Ada ledakan di dalam diri Natalia, tetapi bukan amarah. Ledakan itu menaburkan kekecewaan dan kesedihan begitu saja pada jiwanya. Natalia menutup matanya rapat-rapat, menahan emosinya.

"Sejak kapan?"

"Dua tahun yang lalu. Ketika Cinta ngekost di rumah saya. Kalau Tante mau marah, tolong marahi saya saja, Tante."

"Saya tidak marah." Natalia menarik napas panjang. Kemudian menyesap ocha yang telah ia pesan. "Saya hanya..."

Pansa menatap Natalia lekat, menunggu wanita itu melanjutkan ucapannya.

"Saya hanya, kecewa."

Kecewa. Ini lebih buruk dibandingkan amarah. Kepada siapa Natalia kecewa? Kepada Pansa? Itu tidak mungkin, Pansa bukan siapa-siapanya, tidak ada ekspektasi apapun yang mestinya Natalia letakkan pada Pansa. Tidak ada alasan apapun bagi Natalia untuk kecewa pada Pansa.

Jelas, Natalia kecewa pada Cinta. Namun, selama ini Cinta selalu mematuhi permintaan orang tuanya. Cinta tidak pernah melawan orang tuanya. Satu kesalahan saja membuat Natalia kecewa, betawa malangnya nasib Cinta. Lagi pula, apakah hubungan ini merupakan kesalahan?

"Saya boleh meminta sesuatu?" Natalia melanjutkan ucapannya. "Saya harap kamu menjauhi Cinta."

Tidak ada rasa kaget yang terpancar di wajah Pansa. Ia sudah tahu apa yang akan terjadi begitu Natalia meminta untuk bertemu berdua saja.

"Sepertinya Tante meminta pada orang yang salah. Semestinya Tante meminta hal tersebut kepada Cinta."

"Pansa..." Nada bicara Natalia berubah, terdengar tegas, tetapi ia tidak menaikkan intensitas suaranya.

"Tante tahu saya sedang sakit. Sebentar lagi mungkin akan mati. Tante tidak perlu repot meminta saya untuk menjauhi Cinta. Tante hanya perlu menunggu saya mati."

Natalia memejamkan matanya lagi. "Bukan itu maksud saya, saya tidak mengharapkan kematianmu. Tante tidak sejahat itu, Pansa."

"Tapi saya berharap."

Natalia tercekat mendengar ucapan Pansa. Atmosfer di cafe ini terasa semakin tidak nyaman bagi keduanya.

"Beri saya waktu setahun hingga dua tahun. Saya akan mati, kok."

"Pansa."

"Saya serius." Pansa menarik napas panjang, "saya nggak bisa menjauhi Cinta, sebagaimana Tante tidak bisa bertanya pada Cinta tentang hubungan kami. Kalau Tante memang berharap hubungan kami berakhir. Cinta yang seharusnya Tante pinta."

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang