Bagian XXXVI

520 108 10
                                    

Cincin itu belum ia berikan. Pansa tidak tahu bagaimana cara memberikannya, dan ia takut Cinta menyalahpahami pemeberiannya. Ia tidak bermaksud untuk melamar Cinta. Ia hanya ingin memiliki cincin couple dengan kekasihnya.

Di ruang tunggu Bandara Internasional keduanya duduk bersebelahan, diselimuti keheningan di antara keduanya. Mungkin ini momen yang tepat, piki Pansa.

Pansa merogoh saku celananya, kemudian mengeluarkan sebuah kotak cincin. "Aku kemarin beli cicin couple." Pansa membuka pembicaraan. Cinta yang sedari tadi hanyut menatap layar ponselnya kini mengalihka pandangannya pada Pansa.

"Taraaa." Pansa mengambil cincin yang lebih kecil, cincin dengan mahkota berbentuk matahari. "Aku nggak tahu ukuran jari manismu. Mungkin kebesaran, mungkin juga kekecilan." Pansa meraih tangan kiri Cinta, lalu memasangkan cincin tersebut pada jari manis gadis itu, sedikit kebesaran.

Cinta masih terpana, Kemudian ia tatap cincin pada jari manisnya. "Mungkin cukup di jari telunjukku." Ia segera memindahkan cincin tersebut ke jari telunjuk tangan kirinya.

"Pas." Cinta tersenyum sambil melihatkan jemarinya pada Pansa.

"Punyaku bentuk bumi." Pansa bercerita seperti anak kecil pamer mainan baru. Ia memasang sendiri cincin tersebut pada jari manisnya. "Pas juga."

"Tahu, nggak? Cincinku sama cincinmu bisa dijadikan satu." Pansa melepas cincinnya dan cincin di jari Cinta. Kemudian menyambungkan mahkota kedua cincin tersebut.

"Jadi satu, kan? Lucu."

Cinta tidak terpana pada cincin itu. Ia terpana dengan bagaimana Pansa berbicara. Ia terlihat sangat ceria, berbeda dari biasanya. Ia tersenyum semringah.

"Kamu lucu." Cinta usap pipi Pansa. Membuat Pansa bingung.

"Aku sedang nggak melucu."

"Iya, aku tahu. Tapi, tetap, kamu lucu."

"Menggemaskan maksudnya?"

Cinta mengangguk seraya tersenyum. Y}ang dipuji pipinya memerah. Perubahan warna pipi itu membuat Cinta terkekeh.

Cinta lantas memeluk Pansa. "Makasih, ya, Kak buat cincinnya."

"Uh, sebentar." Pansa melepaskan pelukan Cinta. "Intensinya cuma sebatas pengin punya cincin couple sama kamu doang, nggak lebih." Pansa bicara tanpa basa-basi. Sesaat kemudian merasa bersalah.

"Maksudku, aku pasti kasih cincin dengan makna lain suatu hari nanti, kalau aku sudah siap. Kalau kita semua sudah siap."

Cinta tersenyum lembut. "Iya, aku paham. Aku sangat paham."

"Nggak marah, kan?"

Cinta menggeleng dengan tetap tersenyum meskipu Pansa tidak ada romantis-romantisnya sama sekali.

***

Mereka tiba di Bandara Soekarno Hatta. Pansa mendoron troley berisi dua kopor berukuran besar miliknya dan Cinta. Cinta ingin membantu, tetapi Pansa melarangnya.

"Nanti kamu capek."

"Kamu juga capek."

"Kamu nggak punya tenaga, Cinta. Nanti capeknya sia-sia." Kalimat itu sukses membuat Cinta cemberut.

Pansa tiba-tiba berhenti berjalan. Napasnya tersengal-sengal. Cinta yang berada di depannya sadar bahwa Pansa tidak lagi berjalan karena suara roda=roda troley tidak lagi terdengar. Cinta menengok, menyusul Pansa yang ternyata tertinggal cukup jauh di belakang.

"Is everything okay?"

Pansa mengangguk sambil menegak air mineralnya. "Aku cuma agak capek dan haus."

"Makanya jangan sombong. Mau dibantuin malah nggak boleh." Cinta masih dendam.

Pansa tersenyum lebar. "Ya udah, deh. Sekarang bantuin."

Keduanya kini mendorong troley tersebut bersamaan. Ketika mereka hampir sampai pintu keluar, Pansa tiba-tiba terjatuh, pandangannya seketika gelap. Tidak ada suara yang ia dengar.

"Kak Pansa!" Cinta berteriak.

***

Cinta menggigiti kukunya, cemas menunggu dokter selesai memeriksa Pansa. Ia telah membayangkan kemungkinan terburuk, tetapi ia takut jika kemungkinan itu menjadi nyata.

Seorang dokter laki-laki menghampiri Cinta. "Cardiac arrest. Pertolongan pertamanya berhasil. Saat ini kondisinya masih lemah, tetapi sudah bisa pindah ke bangsal."

Cinta mengembuskan napas panjang. Ada kelegaan yang ia rasakan. Namun, di saat yang bersamaan ia masih merasa cemas.

Cinta kemudian menghampiri Pansa yang sudah tersadar. Pansa berusaha untuk duduk dengan kepayahan.

"Apa kata dokter?" Pansa bertanya, suaranya terdengar lemah.

"Cardiac arrest." Cinta menjawab dengan suara yang terdengar lelah.

"Apaan itu?"

"Sejenis serangan jantung mendadak."

"Sudah boleh pulang?"

"Belum. Habis ini pindah ke bangsal rawat inap."

"Kok, gitu? Tapi, aku merasa sudah baik-baik saja."

"Kak, berhenti keras kepala!" Cinta setengah berteriak. "Kamu nggak tahu gimana cemasnya aku tadi." Ucapannya ketus, penuh kekesalan.

"Maaf." Pansa merentangkan tangan kirinya, berniat mengusap kepala Cinta. Cinta yang peka akan hal itu mendekatkan kepalanya, membiarkan Pansa mengusap kepalanya–seperti kucing.

"Kalau capek jangan sok kuat. Jangan olahraga yang berat-berat dulu."

"Iya, aku nggak akan sok kuat. Tapi, cardiac arrest bisa sembuh, kan?"

"Kamu sudah sembuh. Cuma kondisimu masih lemah. Makanya belum boleh pulang."

"Maaf, ya, selalu bikin kamu cemas. Pasti kamu capek banget. Sini peluk."

Tanpa mengulur wakut, Cinta masuk dalam dekapan Pansa.

"Aku khawatir. Aku takut. Jangan tinggalin aku." Cinta memohon.

"Aku nggak akan meninggalkan kamu, Cinta." Bohong, ia selalu membayangkan untuk mengakhiri hidupnya. Jauh sebelum ia mengenal Cinta, bahkan sampai sekarang.

Cinta melepaskan pelukannya. "Janji?"

Pansa menatap Cinta ragu. "Dengan sengaja, aku nggak akan meninggalkan kamu. Tapi, kalau aku meninggal, aku nggak janji nggak akan meninggalkanmu."

"Kamu nggak akan meninggal dalam waktu dekat. Besok, 50 tahun lagi baru akan meninggal." Cinta merajuk seperti anak kecil yang tidak mau ditinggalkan orang tuanya.

"Ta, kita bukan Tuhan."

Cinta menahan amarah dan rasa kesalnya. "Aku akan bilang Tuhan agar kamu nggak pergi meninggalkan aku."

Pansa tersenyum geli. "Kamu kaya anak kecil."

"Janji nggak akan pergi?" Cinta mengulurkan kelingkingnya lagi.

Pansa meraih kelingking kecil itu dengan kelingkingnya. "Kamu juga harus buat janji dengan Tuhan."

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang