Bagian III

409 70 2
                                    

Kursus merangkai bunganya telah usai. Kini Cinta memulai kursus baru: menyeduh teh. Win telah mengizinkannya untuk bepergian sendirian.

Hari ini untuk kedua kalinya, ia mencoba naik bus. Bus itu agak penuh, ia tidak mendapatkan kursi. Mau tidak mau ia harus berdiri, masalahnya tangannya tidak sampai untuk menggapai pegangan tangan di atasnya. Bisa, tapi ia harus berjinjit.

Bus itu berhenti. Serombongan pelajar SMA masuk. Cinta terdorong, terpaksa harus bergeser ke bagian bus lebih dalam, menjauh dari pintu.

Tanpa sadar pandangannya jatuh ke perempuan yang sangat ia kenali wajahnya. Perempuan itu menengok ke arahnya. CInta tidak yakin apakah perempuan itu masih ingat wajahnya atau tidak, ia tersenyum kecil pada perempuan itu. Perempuan itu tidak balas tersenyum, memandangnya datar, kemudian mengangguk satu kali, kemudian mengalihkan pandangannya dari Cinta.

Cinta terdiam. Apakah orang Jepang memang tidak bisa tersenyum? Tetapi sensei dan teman-temannya di tempat kursus semuanya ramah-ramah atau mungkin karena ia dan perempuan itu sejatinya masih asing.

Tumben orang Jepang mau nolong orang asing

Ucapan Win terngiang di otaknya. Barangkali orang Jepang memang ramah, barangkali Win juga benar, meski ramah tetapi orang Jepang tidak akan seramah itu pada orang asing yang dijumpai sesaat di jalan. Cinta harus mulai terbiasa dengan hal ini.

Bus berhenti mendadak. Orang-orang hampir terjatuh termasuk Cinta. Beberapa orang masuk ke dalam bus, tetapi tidak ada yang keluar. Cinta terdorong lagi, diapit oleh beberapa laki-laki. Tiba-tiba seseorang menariknya. Perempuan itu.

Perempuan itu menarik Cinta ke belakang punggungnya. "Hold my arms or my waist, whatever easier for you." Ucapnya pada Cinta.

Cinta menuruti dengan ragu, dipegangnya baju bagian pinggang perempuan itu.

"T..thank you." Ucap Cinta lirih

Sisa perjalanan itu hening. Tidak ada percakapan lagi di antara Cinta dan perempuan itu.

***

Halte pemberhentian Cinta dan perempuan itu rupanya sama. Keduanya turun berurutan depan-belakang.

"Are you okay?" Perempuan itu bertanya

Cinta mengangguk. "Thank you."

"I think we need to separate here."

Cinta bergegas menahan perempuan itu dengan memegang pergelangan tangannya. "Your clothes...that day. Is everything okay? If you need to buy new..."

"First of all, I've cleaned it. Second, do I look like a poor woman who can't afford new clothes? Does my appearance look like a beggar?" Perempuan itu menatap Cinta dengna wajah garang, nada bicaraya terdengar kesal.

"E.., that's not what I mean." Sekejap Cinta merasa bersalah, merasa dihakimi. Buru-buru ia membuang pandangannya, menatap ujung sepatunya sendiri. "I..I'm sorry...I just."

Perempuan itu menghela napas, menyisir rambutnya dengan satu tangan. "I'm sorry. I know your intention is good. But you're annoying because it's our second meeting, and you're still asking me the same question."

Cinta teperanjat. Baru kali ini ia bertemu dengna orang yang begitu blak-blakan. Bahkan di Indonesia pun ia jarang bertemu orang seperti perempuan di hadapannya. Win benar, perempuan ini galak bukan main, apalagi untuk orang seperti Cinta yang perasaannya begitu sensitif.

Pansa memandang Cinta dengan tatapan iba tetapi kesal disaat yang bersamaan. "Adiknya, Win, kan?" Kali ini ia berbicara dengan bahasa Indonesia.

"Huh?"

"Win sudah cerita, kok." Pansa mengulurkan tangannya, "Pansa."

Cinta menjabat tangan Pansa dengna ragu. "Cinta."

"Lain kali, jangan kasih nomor HP ke orang asing. Untung kamu kasih nomornya ke saya, coba kalau some random men outside there. Ada banyak cowok freak di negara ini. Hati-hati."

Cinta tidak tahu harus menanggapi bagaimana, ia hanya memainkan ujung bajunya.

"Ya sudah, saya duluan. Hati-hati."

Pansa berlalu begitu saja. Cinta masih terdiam di tempatnya. Memandang punggung Pansa yang kian mengecil. Kemudian baru tersadar bahwa 15 menit lagi kursusnya dimulai. Ia buru-buru berlari menuju salah satu gedung yang tak jauh dari halte.

***

Cinta menatap langit-langit kamarnya. Mengingat kejadian tadi pagi. Ia belum menceritakannya pada Win: ia memang jarang suka bercerita tentang hari-harinya. Kalau Win bukan tipe kakak yang cerewet dan selalu mencoba menanyakan harinya, mungkin Cinta tidak akan pernah mengobrol dengan kakaknya itu.

Ada perasaan aneh yang dirasakannya saat memegang baju Pansa tadi pagi saat di bus. Perasaan nervous yang ia sendiri tak tahu apa penyebabnya. Saat itu, jantungnya berdekat sangat kencang, bahkan sebenarnya membuat dadanya terasa sedikit sakit tetapi ia menahannya.

Namun, ketika aroma parfum Pansa masuk ke hidungnya, ia ada ketenangan yang ia rasakan. Perasaan nervous itu perlahan menghilang. Namun, saat ini, mengingat kejadian tersebut kembali membuatnya nervous. Jantungnya kini berdetak lebih kencang, tetapi tidak sekencang saat di bus.

Apakah ia takut pada Pansa? Perempuan itu memang galak dan menyeramkan. Ya, dia pasti takut dengan Pansa. Perempuan itu kelewat garang.

***

Pansa melamun di meja kerjanya. Ia tidak tahu apa yang tadi pagi ia lakukan, kenapa tiba-tiba ia ingin melindungi Cinta agar tidak terperangkap di antara laki-laki asing. Bahkan kini ia sedikit menyesla karena tidak memberikan nomor ponselnya kepada Cinta. Pertanyaannya adalah kenapa tiba-tiba ia ingin memberikan nomor ponselnya kepada Cinta?

Pansa menggelengkan kepalanya, mencoba menyadarkan dirinya sendiri. "Cukup. Saya nggak perlu kenal orang baru. Saya nggak mau memperluas pertemanan yang sudah terlalu luas. Perempuan itu nggak penting. " Ucapnya kepada dirinya sendiri.

Mengenal Cinta artinya ia harus sering berurusan dengan Win, dan ia sudah muak bertemu Win saat bekerja, apalagi di luar itu. Pansa tidak perlu mengenal Cinta lebih dalam. 

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang