Bagian XIX Part 2

874 131 21
                                    


"Hai, boleh masuk?" Pansa berdiri di ambang pinu kamar Cinta yang sedikit terbuka. Di tangannya terdapat dua buah mug.

Cinta tengah mengeringkan rambutnya secara manual menggunakan handuk, menghentikan aktivitasnya sesaat begitu Pansa memasuki kamarnya. "Kak Pansa belum tidur?"

"Biasa tidur di atas jam dua belas." Pansa menyerahkan salah satu mug pada Cinta, "cokelat hangat."

"Thanks."

Keduanya diam dalam kecanggungan.

"Ya sudah, itu saja. Cuma mau kasih kamu itu."

"Kak Pansa."

"Ya?"

"Mau ngobrol sebentar?"

Pansa melirik jam di dinding, pukul setengah sebelas. "Kamu besok nggak kerja?"

"Masuk siang."

Pansa mengangguk. "Oke." Ia tidak jadi meninggalkan kamar Cinta. "Aku boleh duduk?" Ia menatap tempat tidur Cinta.

"Ini, kan, rumah Kakak. Kenapa harus izin segala?"

"Tapi, ini kamar kamu. Kamu sudah bayar sewa."

Cinta tersenyum, kemudia mengangguk. "Duduk saja, Kak."

Pansa kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Pansa diam, memerhatikan sekelilingnya. "Kami bisa balet?" Tanyanya setelah melihat foto masa kecil Cinta yang dibingkai dan diletakkan pada meja di samping tempat tidur.

"Dulu waktu kecil sempat ikut les, cuma sampai kelas dua SD."

"Kenapa bilang nggak bisa nari?"

"Aku memang nggak bisa dansa."

"Tapi, kamu bilangnya nggak bisa nari." Pansa mendebat.

Cinta tidak mau menjadikan obrolan ini sebagai debat sengit. "Itu sudah lama sekali. Badanku sudah kaku, dan aku lupa banyak gerakan."

Pansa kini mengalihkan pandangannya pada turntable di meja kerja Cinta.. "Wow, ada vinyl player." Pansa tampak antusias, ia meletakkan mug ditangannya pada meja kecil di samping tempat tidur. Mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada pemutar piringam hitam itu.

"Kok, aku nggak pernah dengar kamu putar musik?"

"Aku putar, kok. Tapi volumenya aku kecilkan, takut ganggu apa."

"Dengarkan band atau penyanyi apa?"

"Musik klasik."

"Berarti tepat ya, judgemental-ku tadi ke kamu." Pansa mencoba bergurau.

Cinta tersenyum lebar tanpa memperlihatkan gigi-giginya. "Yeah. Sangat benar. Thank you for brought me there."

Perhatian Pansa kini terpusat pada koleksi piringan hitam di samping pemutarnya. "Boleh setel salah satu?" Pansa bertanya setengah memohon. Cinta mengangguk.

Pansa asal mengambil, tidak membaca judul pada bungkus piringan hitam itu. Terputar Where The Lemon Trees Grow, Op. 364 milik Straus II.

"Mau dansa lagi? Tadi, kan, nggak ada musiknya." Pansa menawarkan mengulurkan tangan kanannya. Tangan kirinya ia letakkan di belakang punggung. Berlagak bak bangsawan era Reinassance.

Cinta tersenyum menahan geli, sekaligus gembira. Ia mengangguk, menerima uluran tangan Pansa. Cinta meletakkan salah satu tangannya pada pundak Pansa, sementara tangan lainnya bergenggaman dengan tangan perempuan yang jauh lebih tinggi darinya itu.

Keduanya lantas bergerak ke kanan dan kiri mengikuti irama musik. Sesekali Cinta berputar. Sesekali diletakkan kedua tangannya melingkar pada tengkuk Pansa. Keduanya terus tesenyum sepanjang berdansa.

Mereka tidak menari hingga musik habis. Hanya menghabiskan separuh dari musik itu. Keduanya berhenti menari, tetapi masih berdiri. Keduanya saling menatap lekat tepat di kedua bola mata satu sama lain. Wajah mereka dekat. Sangat dekat. Pansa lantas memegang salah satu pipi Cinta. Diusapnya pipi berkulit halus itu. Tak lama kemudian ditempelkannya bibirnya pada bibir Cinta. Mata Cinta segera tertutup.

Pansa membuka bibirnya yang terkatup, perlahan melumat bibiar atas Cinta. Cinta tidak dapat melawan, ia membiarkan Pansa melumat bibirnya dengan lembut, membalas lumatan itu dengan sedikit ragu dan malu-malu.

Bibir keduanya berhenti bersua, Pansa yang menghentikannya. Ia membiarkan Cinta untuk megambil napas. Ditatapnya Cinta yang kini tidak berani menatap kedua matanya. Gadis itu tampak terengah-engah. Dielusnya lagi pipi nan halus itu.

Setelah yakin bahwa napas Cinta telah kembali normal, Pansa kembali mempertemukan bibir mereka. Kini bibir mereka yang berdansa.

"Kak.." Cinta memegang tangan Pansa yang menahan kepalanya. Menjauh satu langkah. Napasnya kembali tersengal.

"I'm sorry." Pansa berbisik lembut. Ia membelai rambut Cinta. Mengecup pelipisnya. Kemudian merengkuh gadis itu dalam pelukannya. Dihirupnya aroma sampo dari rambut Cinta yang masih setengah basah. Dikecupnya puncak kepala Cinta.

Cinta memejamkan kedua matanya. Dipeluknya erat Pansa. Jantungnya berdebar kencang, tetapi perasaannya sangat tenang. Ia tidak pernah merasa setenang ini sepanjang hidupnya. 

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang