Bagian XXVIII

448 99 13
                                    



Semakin tua, Pansa semakin malas membalas chat. Meskipun ia sedang dalam jaringan, ia lebih senang melihat postingan maupun cerita orang-orang di media sosial tanpa berinteraksi. Ditambah: ia selalu harus berhubungan dengan klien dan rekan-rekannya seputar pekerjaan, melakukan rutinitas ini menyedot jiwanya.

Ia telah membaca chat Cinta sejak tiga hari yang lalu, tetapi melalui pop up box yang muncul dari sisi atas layar ponselnya, tidak membuka chat tersebut. Ia tidak punya tenaga untuk membalas chatnya.

Ia berada di Jakarta telah mengunjungi proyek yang sudah berjalan selama empat hari. Kini ia berniat mengunjungi Cinta sebagai surprise. Ia telah menanyakan lokasi rumahnya kepada Win. Cinta pasti akan marah besar padanya, pikirnya.

Di sini ia sekarang, di depan pagar rumah berlantai dua. Memencet bel rumah dengan perasaan harap-harap cemas. Seseorang keluar dari rumah.

"Maaf, ini rumah Cinta bukan ya? Cinta adiknya Win."

"Oh, iya benar. Ini dengan siapa, ya?"

"Saya Pansa, temannya di Jogja."

"Neng Cintanya baru saja sampai. Masuk dulu Non."

Asisten rumah tangga itu membukakan pagar rumah. Memimpin jalan memasuki ruang tamu.

"Duduk dulu, saya panggilkan sebentar."

"Eee, anu, Mbak. Nggak usah sebutin nama saya, ya, bilang saja teman dari Jogja. Saya mau kasih surprise."

ART itu tersenyum. "Oke deh, siap. Sebentar, ya." Ia segera menghilang dari pandangan Pansa, menaiki tangga.

Tidak lama kemudian Pansa mendengar suara langkah kaki yang berderu menuruni anak tangga.

"Kak Pansa!" Cinta berseru girang.

Pansa berdiri dari duduknya, kemudian mendapat serangan pelukan dari Cinta.

Cinta memeluk Pansa erat, secara harfiah benar-benar eraat membuat Pansa sulit bernapas.

"Cinta, jangan kuat-kuat meluknya."

Cinta tidak menghiraukan ucapan Pansa. "Kemana saja tiga hari ini?"

"Maaf, aku sibuk banget. Maaf, ya." Pansa memang sibuk, tetapi ia memiliki waktu barang satu menit untuk membalas chat dari Cinta, tetapi tidak ia lakukan. Tenaganya telah habis untuk membalas chat dari para klien dan koleganya.

Cinta melepas pelukannya. Mengusap air matanya yang nyaris menetes.

"Hai, aku minta maaf. Jangan nangis." Pansa kini membantu Cinta untuk mengusap air mata yang tidak punya kesempatan untuk jatuh itu.

"Aku kangen. Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?"

"Buat surprise."

"Kamu jahat banget." Cinta memukul dada kiri Pansa dengan pelan beberapa kali. Membuat Pansa cukup kesakitan, tetapi perempuan berwajah sedikit caucasian itu menahan sekuat tenaga agar tidak tampak kesakitan.

"Aku khawatir."

"Maaf. Sekarang nggak perlu khawatir karena aku sudah di sini."

Cinta tersenyum sambil menyeka air matanya. Pansa bergegas memeluk Cinta. Diciumnya puncak kepala Cinta.

"Maaf ya, sudah bikin kamu khawatir."

"Jangan menghilang lagi."

"Iyaa, aku nggak akan seperti itu lagi."

"Kamu jahat banget."

"Nyebelin, ya?"

Cinta mengangguk.

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang