Bagian XVIII

690 98 11
                                    


Di kamarnya yang dikunci rapat, Pansa duduk pada kursi kerja yang ia hadapkan pada salib di dinding. Sambil merokok, ia pandangi salib itu dengan seribu perasaan.

Kekejaman apa yang telah ia buat sehingga ia jatuh cinta pada perempuan yang bernasib hampir sama dengan ayahnya? Kutukan macam apa ini? Ia tidak terima diberi perasaan ini. Ia yang telah lama memiliki perasaan sengit kepada Tuhan kini semakin murka.

Sialan. Sialan. Seenak hati membolak-balik perasaan seseorang.

Ia jatuh hati, kepada Cinta. Ini membuatnya marah karena akan ada kemungkinan Cinta meninggalkannya sebagaimana ayahnya dulu. Di sisi lain, ia sendiri ingin menyerah akan hidupnya. Berulangkali Pansa berkeinginan untuk mati. Minum kopi tiga hingga lima gelas sehari bukan semata-mata adiksi. Itulah cara dia untuk mati agar orang-orang tidak menganggapnya sebagai bunuh diri.

Ia menyayangi Cinta. Namun, ia takut ditinggalkan. Lebih-lebih, ia takut jadi yang meninggalkan. Ia tahu rasanya ditinggalkan. Perasaannya benar-benar amburadul. Kepada Sang Penguasa Rasa, ia benar-benar murka.

Di tengah monolognya kepada Tuhan, ia mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. Ia buru-buru beranjak dari duduknya, ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Namun, tidak lekas dibukanya pintu kamar itu.

Ia adalah seorang CEO yang sering memimpin rapat, gemar memarahi tukang yang tidak melanggar K3 dan SOP, dan bertransformasi menjadi lintah darat tiap kali ada klien nakal yang tidak lekas melunasi invoice. Namun, kali ini ia tidak punya nyali untuk menyampaikan hal penting itu.

Terdengar suara langkah kaki mendekati koridor. Langkah itu semakin keras dan jelas. Pansa bergegas membuka pintu kamarnya, membuat si pemilik langkah tercekat.

"Hai, ada waktu sebentar buat ngobrol, nggak? Nggak sampai lima menit."

Cinta yang belum sempat meraih gagang pintu kamarnya mengangguk.

"Di sini saja. Kamu kapan libur?"

"Dua hari lagi."

"Mau ikut saya ke pantai? Sebenarnya ini permohonan."

"Dalam rangka?"

"Aku merasa banyak hal yang harus kita obrolkan, dan rumah ini bukan tempat yang tepat."

Jantung CInta tiba-tiba berderu keras. Ia mengangguk ragu.

"Oke, selamat bertemu dua hari lagi."

****

Pantai itu berada di Kulon Progo. Pantai berpasir hitam itu cenderung sepi pengunjung bila dibandingkan pantai lainnya yang sama-sama berada di Kulon Progo. Kedua perempuan itu duduk di garis pinggir pantai tanpa alas, membiarkan celana mereka langsung menyentuh pasir.

Lima belas menit mereka saling diam. Memandangi ombak yang mendekat dan menjauh beurlang kali. Membiarkan angin dengan sapuan kasar mengacak-acak rambut mereka.

"Almarhum Papa punya depresi mayor. Dia mengambil nyawanya sendiri." Pansa memulai pembicaraan tanpa basa-basi, membuat Cinta terbelalak.

"Beliau terpuruk setelah Mama meninggal saat usia saya tiga tahun. Sebagai anak, saya tidka tahu jika Papa begtu merindukan Mama. Saya pikir Papa baik-baik saja, meski saya pernah memergokinya menangis. Waktu SMA saya baru diberitahu Oma dan Opa jika Papa punya depresi mayor." Pansa menarik napas, ia terus memandang laut, tidak sedikit pun menengok Cinta.

"Ada banyak penyesalan sekaligus kekecewaan yang saya rasakan. Saya menyesal kenapa sebagai seorang anak tidak peka terhadap kondisi Papa. Saya memang masih kecil, tapi saya berharap bisa lebih memahami kondisi Papa kala itu. Saya juga kecewa karena Papa pergitanpa pamit, minimal mengajak saya meskipun mungkin saya nggak mau diajak. Paling tidak pamit. Tapi beliau sama sekali tidak pamit. Saya marah. Saya kecewa. Pada diri saya, padaPapa, pada Tuhan."

Kini Pansa menatap Cinta. "Waktu itu, saya memproyeksikan amarah saya terhadap Papa kepada kamu. Nggak semestinya saya berbuat demikian. Saya benar-benar minta maaf karena membentak kamu." Tatapannya sayu, tidak ada amarah, kesedihan maupun kebahagiaan yang terpancar dari manik mata itu. Cahayanya redup. "Saya benar-benar minta maaf karena bikin kamu nangis."

Cinta memandang Pansa penuh kekhawatiran dan rasa bersalah. "Itu sudah berlalu lebih dari dua minggu. Kakak nggak perlu minta maaf lagi." Ucapannya tulus, bukan sebatas formalitas.

Pansa menatap CInta cukup lama tanpa berkata apapun. "Ta, saya berantakan. Nggak ada alasan bagi kamu untuk menyukai orang seperti saya. Saya galak, kamu sudah lihat sendiri gimana waktu saya marah. You deserve someone more more more better than me."

Cinta tidak menyukai kalimat itu. Dadanya mulai terasa panas. Lidahnya kelu, ia ingin meledak.

"Kalaupun saya juga menyukai kamu, hubungan kita akan menjadi hubungan yang tidak sehat. Saya bukan orang baik, Ta."

"Kak Pansa cukup!" Cinta memotong ucapan Pansa dengan ketus. "Kalau memang Kak Pansa nggak menyukai aku, to the point saja, aku nggak papa, kok." Bohong, Cinta ingin dicintai Pansa dengan sepenuh hati.

"Tapi saya suka sama kamu. Saya sudah jatuh cinta. Sejak kapan? Saya nggak tahu. Mungkin saat di Villa di Jepang atau saat di Jawa Timur. Saat itu, saya sudah mengagumi kamu. Dan saya rasa, sekarang saya menyukai kamu."

Cinta menarik napas panjang, dipejamkannya matanya rapat-rapat, menahan tangis yang ia tahu sebentar lagi bakal meledak.

Pansa membelai rambut Cinta. "Saya nggak bisa berkomitmen, Ta. Saya nggak bisa terikat dalam hubungan apapun. Saya menyukai kamu, tapi kita jadi teman saja, ya?"

Dan Cinta menangis. Ia tidak tahu kenapa menangis. Mungkin terharu karena Pansa juga menyukainya. Mungkin hatinya tersayat karena hubungan mereka sebatas teman.

"Saya minta maaf. Status teman tidak akan mengubah fakta bahwa saya menyayangi kamu. Sangat menyayangi kamu." Pansa mengusap pipi Cinta dengan lembut.

Angin terus berdatangan. Ombak terus bergulung-gulung. Namun, pasir tidak berterbangan. Dan jarak wajah keduanya semakin dekat, kian dekat, kini hanya berjarak kurang dari lima sentimeter. Dan Pansa mengecup bibir Cinta.

Kecupan itu lembut. Berlangsung cukup lama, lebih dari sepuluh detik. Pansa menjauhkan bibir mereka yang tadi saling terkatup.

Cinta menarik napas panjang. Membuka matanya secara perlahan. Di hadapannya, Pansa tersenyum simpul dengan tatapan sayu. Tatapan yang baru ia lihat kali ini. Gadis itu tampak begitu lelah.

Pansa menempelkan keningnya pada kening Cinta. Hidung mereka bertaut. "Daisuki. Honto ni, daisuki da yo."

***

Perjalanan pulang itu hening. Cinta terlelap dengan tenang di kursi penumpang. Pansa sesekali mengalihkan pandangannya dari jalan raya kepada Cinta. Sesekali ia tersenyum sendiri. Tidak seperti kemarin-kemarin, kali ini tidak ada kegelisahan yang terpancar di wajah Cinta.

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang