Bagian XXIII

782 113 17
                                    


Empat hari di rumah sakit, berat badan Pansa turun cukup drastis sekitar empat kilogram. Pipi yang tadinya agak tembam kini menampakkan tulang-tulangnya. Daging bagian pundak juga sedikit menghilang, bila pundak itu dipegang tanpa perlu memencetnya, kerasnya tulang akan terasa begitu saja.

Beberapa tahun yang lalu, mestinya Pansa merasa senang ketika mendapatkan informasi bahwa dirinya mengalami serangan jantung. Bukankah ini yang selama ini ia harapkan? Mendapat serangan jantung atau gagal ginjal agar ia lekas mati tanpa perlu bunuh diri.

Namun, kali ini ia merasa takut. Apakah ia takut akan kematian? Pansa pernah minum 5 gelas kopi sehari dan merokok 3 batang sehari agar lekas mati. Namun, ia tidak juga mati. Akhirnya ia menyerah untuk bunuh diri. Terlalu lelah untuk hidup hingga akhirnya mencoba mati pun ia menyerah.

Tiba-tiba dua tahun belakangan ia mulai melihat masa depan. Ia mulai berencana untuk membangun perusahaannya sendiri. Ia ingin hidup hingga perusahaannya menjadi besar. Dan kini ia takut mati. Betapa ironis dan lucu jalan hidupnya.

Brengsek. Lagi-lagi ia menyalahkan Tuhan.

Dengan hati-hati Cinta membantu Pansa untuk turun dari mobil. Mentatih perempuan super ngeyel itu untuk masuk ke rumah.

Mbak Dewi yang berada di bangku belakang membawa tas berisi pakaian kotor yang menumpuk selama empat hari di rumah sakit.

Ketiga perempuan itu berhenti ketika sampai di depan teras. Terkejut ketika mendapati Ibu Cinta dan Win telah duduk di kursi teras. Tidak bisa masuk rumah karena seluruh pintunya telah dikunci oleh Mbak Dewi.

"Surprise." Win membentangkan kedua tangannya berharap Cinta lari ke kepelukannya.

"Mama, Kak Win. Kok, nggak kasih kabar kalau mau ke sini?" Alih-alih berlari ke pelukan kakaknya. Cinta masih memegangi kedua lengan Pansa.

"Lho, Pansa kenapa?" Ibu kakak beradik itu bertanya.

"Habis staycation di rumah sakit tante." Pansa tersenyum lebar.

Mbak Dewi buru-buru memutar arah, masuk dari pintu belakang kemudian membuka pintu depan dari dalam rumah-tidak enak jika harus melewati Win dan ibunya.

"Monggo-monggo, masuk dulu." Mbak Dewi menyambut.

"Sakit apa?" Kini Natalia membantu Cinta untuk mentatih Pansa.

"Saya nggak papa, kok, tante. Masih bisa jalan, nggak perlu repot."

"Vertigo katanya. Tapi, aku tanya obatnya apa nggak mau jawab." Cinta menjawab pertanyaan ibunya dengan nada yang terdengar kesal.

Keempatnya kini telah sampai di ruang tamu. "Tante, aku izin masuk ke kamar dulu, ya. Monggo kalau mau temu kangen sama Cinta." Pansa tersenyum kikuk, membungkuk-bungkuk lalu berlalu meninggalkan keluarga kecil itu.

Cinta menatap punggung Pansa penuh rasa khawatir bercampur kesal.

"Dia bisa sakit? Dokternya nggak ketularan pas ngerawat dia?" Win menggoda.

"Kak..." Cinta merajuk, membela kekasihnya. "Mama, kok, nggak ngabarin aku sama sekali kalau mau ke sini?"

Natalia menguspa kepala anak gadisnya. "Sengaja, biar kamu senang."

Cinta manyun kemudian memeluk ibunya dengan manjanya.

"Sakit, apa sih, dia? Kecelakaan?" Win penasaran karena melihat Pansa mesti ditatih.

"Aku nggak ketemu dokternya. Tapi, Ka Pansa mengaku kalau vertigo. Tapi, aku nggak yakin. Aku minta buat lihat obatnya, dia nggak mau kasih."

"Parah tuh berarti. Bikin mati paling makanya nggak mau ngaku."

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang