Bagian XXXI

501 97 15
                                    

Pukul dua siang. Hujan deras. Guntur menggelegar. Kilat mencelat-celat. Seseorang mengetuk pintu depan dengan tidak sabar. Pansa terburu-buru membuka pintu tersebut dengan perasaan setengah kesal, tetapi perasaan itu berubah ketika mendapati Cinta berada di hadapannya dalam keadaan basah kuyup.

"Cinta?"

Tanpa aba-aba Cinta segera memeluk Pansa, yang dipeluk kebingungan.

Ada rasa kesal yang Pansa rasakan. Kenapa Cinta tidka menghubunginya terlebih dahulu? Kenapa ia nekat hujan-hujanan? Dan kenapa-kenapa lain yang ingin ia semburkan kepada Cinta. Namun, sesaat ia menyadari satu hal. Barangkali Natalia telah memberitahu Cinta persoalan yang sama yang diajukan padanya.

"Kita masuk dulu, yuk. Baju kamu basah."

Cinta mengikuti Pansa menuju kamar tidurnya. Pansa mengeluarkan pakaian bersih dan kering kepada Cinta, beserta handuk yang terlipat rapi.

"Keringin diri kamu dulu. Nanti, kita ngobrol."

Tak lama kemudian Cinta kembali mengenakan piyama kering.

Pansa duduk di pinggir tempat tidur. Menepuk-tepuk ruang kosong di sebelahnya, memberi kode kepada Cinta untuk duduk di sebelahnya.

Pansa memerhatikan Cinta. Rambutnya masih basah. Pansa mengambil handuk dari tangan Cinta, lalu membantu Cinta mengeringkan rambutnya.

"Jangan kaya gini lagi, ya? Kalau kamu sakit lagi gimana?"

"Maaf." Suaranya sangat lirih, nyaris tidak terdengar, tetapi ada isakan yang menyertainya yang tidak sanggup ia sembunyikan.

Pansa menghela napas. Ia telah selesai mengeringkan rambut Cinta, meskipun rambut itu tidak lekas kering. Ia menghela napas, menatap Cinta penuh iba. Diusapnya salah satu pipi yang agak tembam itu.

"Ada apa?"

Cinta mengigit bibirnya, memainkan bajunya, dan menghindari pandangan Pansa. Tidak tahu harus memulai dari mana.

"Mama, ya?" Pansa menebak dengna hati-hati.

Cinta mengangkat pandangannya, terbelalak. "Mama ketemu Kakak?"

Pans tersenyum simpul dan mengangguk, enggan membuat Cinta sedih. Seketika air mata Cinta tumpah.

Pansa bergegas memeluk Cinta. "Hei, jangan nangis. Mama nggak marah, kok. Beliau bicara baik-baik."

"Aku takut." Cinta terisak. "Aku takut kamu menuruti permintaan Mama."

Pansa hanya diam. Ia sendiri tidak yakin bahwa ia tidak akan menuruti permintaan Natalia. Ia menyayangi Cinta. Tetapi, ia tahu sebagai seorang ibu pasti Natalia kecewa, ia hanya tidak mau hubungan antara Cinta dan ibunya retak. Ia tidak mau dianggap sebagai penyebab kerusakan hubungan ibu dan anak itu.

Pelukan cinta menguat. "Jangan tinggalin aku."

"Aku nggak akan meninggalkan kamu." Itu hanya sebatas kalimat penghibur.

Pansa membiarkan Cinta terus terisak tanpa mengatakan kalimat penghibur lainnya. Sambil terus mengusap punggung Cinta, ia biarkan gadis itu untuk tenang dengan sendirinya.

Ketika isakan Cinta telah mereda, Pansa melepas pelukannya. Mengusap pipi Cinta yang basah. "Mau minum?" Tanyanya, Cinta menggeleng.

"Lapar nggak? Habis kehujanan pasti lapar. Aku buatkan makanan, ya."

Cinta menggeleng lagi. Menggenggam ibu jari tangan Pansa untuk mencegah gadis berhidung lancip itu pergi.

Pansa memandang Cinta prihatin. "Aku sudah mendaftarkan diri untuk pemasangan ring."

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang