Bagian XI

520 87 9
                                    

Tidak ada yang lebih mengenal Cinta dibandingkan Win. Sementara itu, sulit bagi Win untuk membuat Cinta berkata jujur atas semua perasaannya. Sejak kecil, Cinta selalu membangun tembok yang begitu tinggi kepada siapapun, termasuk kakaknya sendiri.

Namun, selama lebih dari 20 tahun cukup bagi Win untuk memahami raut wajah dan gerak-gerik Cinta. Win percaya bahwa adiknya tengah jatuh cinta, tetapi ia harus membuktikannya untuk benar-benar meyakinkan dirinya sendiri. Ia punya cara sendiri untuk membuktikannya.

Dua hari pasca resepsi pernikahan itu, Cinta masih belum kembali ke Yogyakarta, begitu pula Win dan Prima, keduanya masih belum menyempatkan diri untuk bulan madu maupun pindah ke rumah mereka sendiri di daerah Bandung.

Win mengetuk pintu kamar Cinta yang setengah terbuka. Ia lantas membuka pintu itu lebih lebar. "Hai, boleh masuk?"

Cinta yang sedang duduk di kursi belajarnya mengangguk.

Win memandangi sekelilingnya. Sejak Cinta menjalani koas dan magang, Win tidak pernah masuk ke kamar ini sekalipun. Ia duduk di pinggir tempat tidur.

"Kakak dan Kak Prima memutuskan buat bulan madu di Jogja. Mau join nggak?"

Cinta menghentikan aktivitasnya. "Huh, masa sama aku?"

"Maksud kakak, waktu ke objek wisatanya. Nginap di hotelnya nggak perlu. Kakak dan Kak Prima mungkin juga akan main ke kostmu. Selama ini belum pernah, kan. Waktu kamu koas, kakak bahkan nggak ke kontrakan Mama."

Cinta tampak berpikir. "Aku harus lihat jadwalku dulu, kak. Mungkin cuma bisa gabung waktu aku libur atau sekadar ikut makan malam waktu dapat shift pagi."

Win mengangguk. Diam beberapa saat, mempertimbangkan apakah ia sebaiknya membahas apa yang tadinya hendak ia bicarakan. "Ta, kakak boleh tanya sesuatu?"

Cinta tidak menaruh curiga apapun. Disetujuinya permintaan Win dengan sebuah anggukan.

"Kamu dan Pansa, sudah makin akrab?"

Kedua alis Cinta terangkat. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba kakaknya membicarakan Pansa. "Nggak juga. Kami pernah keluar bareng sekali. Sebatas ke cafe dan cari bunga untuk teman Kak Pansa."

Win pernah beberapa kali ikut volunteer bersama Pansa saat masih di Jepang. Dari sana ia sedikit mengenal Pansa lebih jauh. Ia tahu betul bahwa Pansa bukan tipe orang yang senang merepotkan orang lain, apalagi dengan orang yang tidak dekat dengannya. Aneh bila Pansa mengajak adiknya untuk mencari bunga. Ia mulai merasa menaruh curiga pada orang yang salah.

"Dia kasih kamu bunga hydrangea?"

"Mama cerita, ya?"

"Mama tanya Kakak, do you have a boyfriend? Karena bunganya sudah kering, dan sampai sekarang masih kamu simpan. Anak perempuannya cuma bilang dapat dari teman Kak Win." Win menelan ludah, "do you lovc her?"

Cinta merasa tidak nyaman. Mimik wajahnya menggambarkan sejuta rasa kaget. Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa Win memilih pertanyaan yang demikian?

"Maksud kakak, ngefans?" Cinta menghindari tatapan Win, "mungkin, karena dia berulang kali menolong aku."

Win meraih tangan adiknya. Menatapnya lekat. Cinta mulai tidak menyukai momen ini.

"Ta, kakak nggak akan ngejudge kamu, kok. Kakak nggak akan marah."

Cinta balik memandang kakaknya lekat-lekat. Ada banyak pertanyaan di balik tatapan itu. "Do I?" Cinta balik bertanya, air matanya seketika tumpah.

"Aku nggak seharusnya merasakan perasaan ini, kan, kak?" Ia menarik napas panjang, "aku nggak tahu kenapa aku bisa merasakan hal ini. Aku minta maaf, aku minta maaf."

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang