Bagian XIV

462 84 8
                                    


Jika ditanya siapa orang yang paling ia benci, jawabannya adalah ayahnya. Jika ditanya siapa orang yang paling ia sayangi, jawabannya adalah ayahnya. Bertahun-tahun Pansa bergelut dengan dirinya sendiri satu dirinya menyayangi ayahnya, dirinya yang lain begitu membenci ayahnya.

Kenapa pergi tanpa mengajaknya? Tapi kenapa ia sebagai anak tidak menyadari bahwa ayahnya mengalami depresi? Tapi ia hanya anak kecil, sebagai anak kecil yang ia tahu ayahnya sebatas sedih dan merindukan ibunya. Tidak-tidak, ia anak kecil, tetapi bukankah dia anak yang cerdas, kenapa tidak dapat memahami kondisi ayahnya yang terpuruk?

Siapa yang harus ia benci? Ayahnya yang depresi? Dirinya yang sibuk belajar belajar dan belajar hingga tidak memahami kondisi ayahnya? Oma dan Opa yang terlalu percaya pada ayahnya bahwa ayahnya baik-baik saja tiap kali ditanya "bagaimana kabarmu?" atau ibunya yang tidak sanggup melawan kanker serviks?

Ia ingin meledak. Tiap kali ia meratapi hidupnya, ia ingin membenturkan kepalanya pada dinding, pada lantai, saat mandi ingin memukulkan shower ke keningnya, saat mengendarai mobil ingin membelokkannya ke depan truk tronton, saat mengendarai motor dan melewati jembatan, rasanya ia ingin membelokkan motornya agar meluncur ke sungai.

Hidupnya baik-baik saja tiga tahun belakangan. Ia sudah mulai memaafkan semua yang terjadi dalam hidupnya. Namun, gadis bernama Cinta itu tiba-tiba datang dalam hidupnya. Satu orang dengan depresi muncul kembali dalam hidupnya. Kenapa ia harus menghadapi orang dengan depresi lagi? Apa yang sebenarnya Tuhan rencanakan? Tidak bolehkah ia hidup tenang tanpa memikirkan orang lain.

Pansa kembali ingin meledak. Tiap kali ia marah, rasanya ingin ia lepas salib di dinding kamarnya. Ia ingin melemparnya dan mengutuki Tuhan. Tuhan manapun. Bukan hanya yang tersalib. Bedebah, sialan. Seenaknya saja membuat hidupnya terpuruk.

"Win mungkin sudah menceritakan banyak tentang depressive episode yang dimiliki Cinta." Di hadapannya duduk ibu Cinta dan Win. Wanita meletakkan tanganny di atas meja makan, tangan yang satu menggenggam tangan yang lain.

"Tapi mungkin ada beberapa hal yang belum diceritakan, jadi tante akan menambahkan." Wanita itu memandang Pansa lekat. "Cinta sangat sensitif dan keras kepala. Ia tidak bisa dibentak. Namun, ia tidak mau dianggap lemah. Nak Pansa mungkin bersikap peduli dengan CInta, tetapi bisa jadi CInta menyalahpahami perbuatan itu sebagai pandangan kasihan, Cinta tidak suka dikasihani."

Pansa mencoba mengolah informasi yang baru saja diterimanya.

"Sulit, ya? Maka dari itu tante mint maaf sekali. Cinta tidak bisa dibujuk untuk resign dan pulang ke Jakara. Dua tahun mendatang pasti akan merepotkan kamu. Tante minta maaf sekali karena merepotkan kamu."

Pannsa memahami kekhawatiran wanita di hadapannya itu. "Tante nggak merepotkan saya sama sekali, kok. Bagaimanapun, saya induk semang CInta. Jadi saya punya tanggung jawab untuk mengawasi dan menjaga Cinta."

"untuk sementara waktu, saya melarang Cinta untuk menyetir sendiri. Kalau dia ngotot untuk mengendarai mobilnya sendiri, tolong dicegah, ya, Nak Pansa."

Pansa mengangguk. "Mungkin saya bisa antar dia tante. kebetulan saya masuk kerja selalu habis zuhur." Tawaran itu keluar begitu saja dari mulutnya. Sekejap disesalinya berbuatannya itu.

"Apa nggak merepotkan?"

"Nggak, kok, Tante. Tapi, tentunya kalau Cinta bersedia saya antar. "

"Dia mungkin akan menolak. Tapi, jika kondisinya memburuk mungkin kamu bisa antar dia kerja. Sekali agi tante minta maaf karena merepotkan."

Pansa mengangguk. "Tante dan Cinta sama sekali nggak merepotkan, kok. Aku malah senang kalau bisa ngantar Cinta, jadi bisa bangun pagi." Pansa tersenyum lebar, meyakinkan perempuan berusia lima puluh tahunan tersebut bahwa ia tidak merasa direpotkan.

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang