Bagian XXXVII

367 87 22
                                    

Pansa tidak yakin dapat membahagiakan Cinta. Seberapa besarpun usaha Pansa untuk membuat Cinta bahagia, seberapa tunduk pun ia pada perintah-perintah Cinta untuk berhenti melakukan ini dan itu demi kesehatannya, Pansa tetap tidak yakin itu akan membuat Cinta senang. Sebab, ia sendiri tidak dapat membahagiakan dirinya sendiri. Pansa bahagia ketika melihat Cinta tersenyum atau ketika Cinta merajuk manja bak anak kecil. Namun kebahagiaan itu hanya bertahan sesaat.

Taksi online itu berhenti di depan rumah Cinta. Sopir taksi itu bergegas turun dari mobil, membantu Cinta menurunkan kopornya.

Pansa ikut keluar, berpamitan dengan Cinta.

"Kakak beneran nggak mau nginap sini?"

Pansa menggeleng dan tersenyum simpul. "Aku nginap hotel saja, Ta. Mama nanti marah."

Cinta menghela napas kecewa. "Besok kalau sudah berangkat ke Jogja, kabari, ya."

Pansa mengangguk sambil mengelus puncak kepala Cinta. "Ya sudah masuk, gih. Kamu harus istirahat, kamus udah menemani aku di rumah sakit dua hari."

Cinta menggeleng. "Aku mau lihat kakak pergi."

Pansa terkekeh. "Dasar anak kecil. Ya sudah, aku tinggal, ya. Jangan nangis."

Cinta merentangkan kedua tangannya. Pansa merengkuh Cinta.

"I love you." Cinta bergumam.

"Watashi mo. I love you too." Pansa melepas pelukan erat itu. "Sudah, ya. Aku berangkat sekarang." Ia mengusap puncka kepala Cinta untuk terakhir kalinya.

Pansa kembali masuk ke taksi online itu. Tak lama kemudian taksi itu meninggalkan rumah Cinta.

Tanpa keduanya ketahui, dari balik gorden jendela depan, seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan memerhatikan mereka.

***

Tania menatap Pansa lekat. Mengetuk-ketuk meja di hadapannya dengan jemari tangan kanannya. Keduanya segera bertemu begitu Pansa memberitahu Tania bahwa ia sempat mengalami cardiac arrest.

"Periksa lagi, yuk. Karena kamu punya riwayat serangan jantung, aku takut kamu mengalami gagal jantung."

"Gagal jantung harus diapakan?"

"Minum obat. Tapi nggak bisa sembuh, cuma memperingan gejala. Kamu harus dioperasi."

"Pasang ring lagi?"

"Tergantung jenis gagal jantungmu dan penyebabnya." Tania mengusap wajahnya, tak lagi kuasa menahan frustrasinya dan rasa kesalnya pada Pansa.

"Pertanyaannya, kok, bisa gagal jantung padahal kamu belum lama pasang ring? Kamu merokok lagi?"

"Cuma dikit. Nggak sebanyak dulu."

"Sudah kuduga. Ya pantes, sih. Buruan mati, gih." Tania benar-benar murka. Namun, justru membuat Pansa terbahak.

"Nanti nangis kalau aku mati beneran."

"Ya kamu nyebelin banget, sih. Ada apa lagi, sih, Sa? Perasaan sejak lulus kuliah kamu sudah bahagia-bahagia saja. Sudah sampai bikin perusahaan sendiri, apa lagi yang bikin kamu sedih? Kalau capek, kan, bisa bilang aku. Nanti kita liburan bareng."

Pansa menghela napas panjang. "Nggak tahu, Tan. Rasanya aku selalu capek. Sampai saat ini rasa capek itu masih terus ada. Mungkin aku cuma muak buat berjuang. Sejak kecil aku selalu berjuang. Rasanya aku selalu berjuang sendiri."

"Disuruh ke psikolog nggak mau."

"Aku cuma butuh dipeluk."

"Ya ngomong! Jangan malah bundir!" Nada bicara Tania kian meninggi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di Kehidupan Lain, Mari Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang